Yang harus dipertanyakan adalah, mengapa belum ada Pernyataan Legal jelas dan tegas terhadap Nona Gloria berdasarkan Pernyataan Legal yang diterbitkan MenkumHam bukan surat balasan yang tidak merujuk Pasal 29 UU No. 12/2006 ? Karena UU yang lama dan UU yang baru memberi waktu kepada seorang anak untuk mencapai usia tertentu yakni 18 Tahun untuk membuat keputusannya sendiri, bukan karena pihak lain atau orang tuanya. Dan, mekanisme itu jelas menurut UU yang menganut asas keterbukaan, asas publisitas dan perlindungan HAM.
ISU KEWARGANGERAAN PAK ARCANDRA
Beliau singkatnya diketahui lahir di Indonesia, anak dari perkawinan ayah dan ibu adalah WNI, sudah kawin serta sudah tinggal di Luar Negeri sekitar 20 Tahun lamanya. Lalu, kembali ke Indonesia dengan paspor Indonesia yang masih berlaku dan selanjutnya diangkat menjadi menteri, namun kemudian harus diberhentikan secara hormat.
untuk Pak Arcandra cukup berbeda dengan Nona Gloria, karena Pak Arcandra sudah dewasa sehingga tunduk pada pengaturan orang dewasa dalam UU. Ketentuan yang menjadi polemik adalah otomatisnya kehilangan kewarganegaran RI menurut ketentuan Pasal 23 UU No. 12/2006, Secara kasuistis, Pak Arcandra diketahui memiliki Paspor Amerika Serikat akan tetapi disaat Pak Arcandra memiliki Paspor Amerika tersebut dan sampai saat ini, Menteri Hukum dan HAM belum mengumumkan dalam Berita Negara sebagaimana diamatkan Pasal 29 UU No. 12/2006. Kenapa ?
Jika mencermati Pasal "otomatis" 23 tentang kehilangan kewarganegaraan RI dan Peraturan Pemerintah 2 Tahun 2007, tidak ada ketentuan yang jelas apabila kehilangan kewarganegaraan itu bisa berlaku otomatis tanpa ada Keputusan Menteri (lihat, Pasal 32-34 PP 2/2007), bahkan diperlukan adanya Laporan yang memenuhi ketentuan Pasal 33 PP No. 2/2007 bahkan ada pendapat yang menterjemahkan ketentuan Pasal 23 itu sebenarnya memberi kesempatan bagi Pak Arcandra untuk memilih kewarganegaraannya sumber: http://nasional.kompas.com/read/2016/08/16/14242441/gaduh.kewarganegaraan.ri
Sebenarnya, pendapat tersebut semakin membuktikan ketentuan Pasal 23 tersebut membutuhkan penterjemahan lebih baik dari apa yang dinyatakan dalam PP No. 2/2007, karena baik di UU No. 12/2006 maupun PP No. 2/2007 tidak jelas apakah alasan atau keadaan yang dirumuskan tersebut bersifat kumulasi atau opsional atau boleh memilih sesuka hatinya ?Â
Pada akhirnya, kehilangan kewarganegaraan adalah sesuatu yang tidak disukai, dan tidak dimaksudkan terjadi begitu saja secara diam-diam melainkan harus tegas jelas dan terdeklarasi dalam pernyataan legal.
STATUS HUKUM WN ASING ATAU WNI ATAU DWIKEWARGANEGARAAN ATAU STATELESS ?
Apabila kita mengamati melalui pendapat di media dari beberapa pengamat terkenal, ahli hukum tata negara dan ahli hukum Internasional terhadap kedua orang tersebut didapatkan bahwa terhadap Pak Arcandra disimpulkan beliau adalah stateless alias tidak memiliki kewarganegaraan apapun, dan terhadap Nona Gloria disimpulkan tidak diakui sebagai WNI dikarenakan tidak dilakukan pelaporan yang diwajibkan oleh Undang-Undang. Meskipun demikian, keduanya disimpulkan secara singkat telah diperlakukan apa adanya sesuai UU.
Sekilas, sepertinya simpulan terhadap kedua orang tersebut sudah sesuai dengan rumusan UU, akan tetapi mencermati asas-asas yang dianut dan alasan filosofis maupun sosiologis yang melandasi pembentukan UU tersebut penerapan pasal-pasal tentang status kewarganegaraan seseorang menjadi sia-sia belaka terutama mengenai perlindungan atas hak-hak asasi manusia.
Kenapa ? bagaimana mungkin Negara membiarkan seseorang yang lahir, besar dan memiliki riwayat atau sejarah lebih banyak di Indonesia, pada saat dirinya memutuskan untuk berada di Indonesia justru dinyatakan kehilangan WNInya dan menjadi stateless ? Apa yang keliru terhadap perumusan dan pengaplikasian pasal-pasal tersebut ?Â