Hume membagi persepsi menjadi dua bagian: kesan-kesan (impressions) dan ide-ide (ideas).[2] Kesan-kesan adalah apa yang diperoleh secara langsung dari pengalaman.Â
Kesan-kesan ini bersifat hidup dan langsung sama seperti ketika kita mendengar, melihat, merasa, mencintai, membenci, menginginkan atau menghendaki. Adapun ide-ide adalah apa yang secara tidak langsung diperoleh dari pengalaman. Ide-ide itu kurang jelas dan kurang hidup dibandingkan dengan kesan-kesan. Misalnya ketika kita menyentuh api, rasa panas pada tangan jauh terasa lebih jelas dan hidup daripada kalau rasa panas itu diingat kembali oleh kita sebagai sebuah ide.Â
Sementara itu, Ide itu muncul dari kesan-kesan yang pernah kita miliki. Kalau kita memikirkan pohon maka dalam pikiran kita mengenai pohon itu mesti ada kesan-kesan yang membentuk ide atau pikiran kita mengenai pohon. Kesan-kesan itu misalnya batang, daun, bunga atau buahnya. Semua kesan ini kemudian tersatukan dalam ide mengenai pohon.Â
Sama halnya kalau kita memiliki ide tentang bola, maka pasti karena sebelumnya kita telah punya kesan-kesan (misalnya) mengenai kebulatan, kelenturan, dan lain-lain. Karena itu setiap ide merupakan tiruan sekaligus kesatuan dari kesan-kesan sebelumnya. Karena pengetahuan dihasilkan melalui kesan dan ide, maka semua ilmu pengetahuan manusia berasal dari pengalaman atau kesan-kesan indrawi.
Untuk membuktikan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman, Hume mengajukan dua argumen : pertama, kalau kita menganalisa ide kita maka setiap ide itu selalu dapat dibagi-bagi atau dipilah-pilah ke dalam ide-ide tunggal dan sederhana (simple ideas) yang berasal dari kesan-kesan indrawi yang pernah kita peroleh. Kedua, orang yang mengalami masalah dalam hal indra, misalnya orang buta, tidak memiliki ide mengenai sesuatu yang hanya dapat diperoleh melalui organ tersebut. Orang buta itu tidak punya ide mengenai warna, dan seorang tuli tidak punya ide mengenai suara. Ini membuktikan bahwa ide itu hanya bisa berasal dari kesan-kesan indrawi.
Kemudian, Hume mengatakan bahwa pengetahuan muncul karena kita menyatukan ide-ide dalam sebuah konsep mengenai sesuatu. Dengan kata lain, pengetahuan terbentuk sebagai hasil sintesa ide-ide.Â
Tindakan menyatukan ide-ide dari kesan-kesan indrawi yang terjadi dalam pikiran kita itu disebut Hume dengan asosiasi dan berlangsung berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Menurut Hume, prinsip-prinsip tersebut adalah kemiripan (resemblance), kedekatan (contiguity) dan sebab atau akibat (cause and effect).
Pemikiran Hume yang terkenal lainnya adalah tentang prinsip kausalitas. Bagi Hume, tidak ada prinsip kausalitas. Apabila kita melihat bahwa air mendidih sesudah dipanasi api, maka kita akan menyimpulkan bahwa air mendidih karena dipanasi api.Â
Namun Hume mempertanyakan kesimpulan ini: Apakah kita dapat mengalami adanya suatu "karena" yang diandaikan sebagai penghubung gejala di atas? Jawabannya adalah tidak. Karena itu pengetahuan mengenai hal tersebut tidak diperoleh berdasarkan penalaran rasional, melainkan melalui pengalaman empiris. Apa yang kita lihat dalam pengalaman hanyalah rangkaian "setelah", dan bukan rangkaian "sebab-akibat".Â
Dalam pandangan Hume, hubungan antara api dan air mendidih sebenarnya terdapat dalam pikiran kita, dan bukan pada benda atau peristiwa itu sendiri, karena alam tidak menyajikan kepada kita relasi kausalitas demikian. Pengetahuan yang kita dapat dan bahkan kita terapkan untuk masa depan bukan dari relasi kausalitas tetapi dari kebiasaan (custom). Karena kita melihat bahwa air biasanya mendidih setelah dipanasi api, maka pengetahuan itu pasti dan akan terjadi di masa depan.
Singkatnya, relasi kausalitas itu adalah hasil imajinasi kita berdasarkan kebiasaan yang selalu kita lihat di masa lalu mengenai dua peristiwa yang selalu terjadi berurutan.Â