Mohon tunggu...
Bonifasius Dwi Vilas
Bonifasius Dwi Vilas Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta

Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tentang David Hume

29 Mei 2019   08:50 Diperbarui: 29 Mei 2019   09:10 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

DAVID HUME

David Hume lahir sebagai anak bungsu dari Joseph Hume di Edinburgh, Skotlandia pada tahun 1711. Pada awalnya, keluarganya menginginkan dia menjadi seorang pengacara namun dia lebih tertarik pada bidang sastra dan Filsafat. Namun kondisi finansial keluarganya tidak dapat mengakomodasi cita-citanya untuk bergelut dengan dunia sastra dan filsafat. 

Karena itu, ia terjun ke dunia bisnis terlebih dahulu di Bristol. Sayangnya usaha bisnis ini tidak berhasil. Kemudian ia pergi ke Perancis dan mendedikasikan diri untuk terjun ke dunia sastra. Di Perancis inilah, Hume menulis karyanya yang populer, A Treatise of Human Nature, yang diterbitkan dalam tiga volume. Setelah kembali dari Perancis, Hume tinggal di Skotlandia bersama dengan ibunya dan saudaranya pada tahun 1737.

Pada tahun 1741, Hume menerbitkan sebuah esai yang berjudul Moral and Political. Esainya ini berhasil menarik penggemar di kalangan publik. Karena itu, Hume menulis kembali karya Treatise-nya dengan harapan dapat lebih diterima di kalangan publik. Pada tahun 1745, Hume bekerja sebagai guru privat setelah ditolak untuk mengajar di Universitas Edinburgh karena reputasinya sebagai seorang yang skeptis dan ateis. 

Setelah itu, ia bekerja sebagai sekretaris di St. Clair. Pada masa itu, Hume menulis ulang karyanya sebanyak dua kali dan pada hasil final, ia memberi judul An Inquiry concerning Human Understanding. Pada tahun yang sama, dia menerbitkan An Enquiry concerning The Principles of Morals. Pada tahun 1752, dia menerbitkan tulisan yang akan membuat dirinya semakin dipercaya yakni Political Discourses.[1]

 

Kemudian ia menjadi seorang pustakawan di fakultas advokasi di Edinburgh. Di sana, ia menuliskan beberapa karya tentang sejarah Inggris, dimulai dari penobatan James I hingga kematian Charles I. Pada tahun 1763, Hume pergi ke Paris dan menjalin relasi dengan salah satu kelompok filsuf Perancis yang terasosiasi dengan kelompok Encyclopedia. Kemudian ia pergi ke London. Pada tahun 1769, ia kembali ke Edinburgh dan meninggal di sana pada tahun 1776.

Seperti Descartes, Hume tidak pernah menikah sekalipun ia memiliki teman dekat beberapa wanita. Karena pernah tinggal di Prancis, Hume berteman dengan filsuf Prancis, Jean-Jacques Rousseau. Namun persabatan keduanya tidak bertahan lama karena Rousseau menuduh bahwa Hume diam-diam mencoba memfitnahnya. Tapi tampaknya tuduhan itu muncul karena Rousseau mengidap paranoia, sebab tidak ada bukti bahwa Hume melakukan apa yang dituduhkan Rousseau itu.

David Hume sendiri termasuk penganut ajaran empirisme yakni suatu ajaran yang mengatakan bahwa pengalaman (empeiria) merupakan sumber utama pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. Rasio bukanlah sumber pengetahuan, tetapi ia bertugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman untuk dijadikan pengetahuan. Metodenya bersifat induktif. Salah satu contohnya adalah ilmu pengetahuan.

 Dalam teori pengetahuannya, Ia berusaha menjawab pertanyaan bagaimana manusia dapat memperoleh pengetahuan. Hume berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan atas pengalaman indrawi. 

Pengalaman indrawi itu disebut persepsi. Jadi persepsi adalah objek pengetahuan manusia dengan catatan bahwa Hume tidak mengatakan bahwa objek pengetahuan adalah benda empiris yang ada di luar diri kita. Ia mengatakan bahwa objek pengetahuan adalah persepsi, dan persepsi terbentuk sebagai tiruan dari benda empiris.

 Hume membagi persepsi menjadi dua bagian: kesan-kesan (impressions) dan ide-ide (ideas).[2] Kesan-kesan adalah apa yang diperoleh secara langsung dari pengalaman. 

Kesan-kesan ini bersifat hidup dan langsung sama seperti ketika kita mendengar, melihat, merasa, mencintai, membenci, menginginkan atau menghendaki. Adapun ide-ide adalah apa yang secara tidak langsung diperoleh dari pengalaman. Ide-ide itu kurang jelas dan kurang hidup dibandingkan dengan kesan-kesan. Misalnya ketika kita menyentuh api, rasa panas pada tangan jauh terasa lebih jelas dan hidup daripada kalau rasa panas itu diingat kembali oleh kita sebagai sebuah ide. 

Sementara itu, Ide itu muncul dari kesan-kesan yang pernah kita miliki. Kalau kita memikirkan pohon maka dalam pikiran kita mengenai pohon itu mesti ada kesan-kesan yang membentuk ide atau pikiran kita mengenai pohon. Kesan-kesan itu misalnya batang, daun, bunga atau buahnya. Semua kesan ini kemudian tersatukan dalam ide mengenai pohon. 

Sama halnya kalau kita memiliki ide tentang bola, maka pasti karena sebelumnya kita telah punya kesan-kesan (misalnya) mengenai kebulatan, kelenturan, dan lain-lain. Karena itu setiap ide merupakan tiruan sekaligus kesatuan dari kesan-kesan sebelumnya. Karena pengetahuan dihasilkan melalui kesan dan ide, maka semua ilmu pengetahuan manusia berasal dari pengalaman atau kesan-kesan indrawi.

Untuk membuktikan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman, Hume mengajukan dua argumen : pertama, kalau kita menganalisa ide kita maka setiap ide itu selalu dapat dibagi-bagi atau dipilah-pilah ke dalam ide-ide tunggal dan sederhana (simple ideas) yang berasal dari kesan-kesan indrawi yang pernah kita peroleh. Kedua, orang yang mengalami masalah dalam hal indra, misalnya orang buta, tidak memiliki ide mengenai sesuatu yang hanya dapat diperoleh melalui organ tersebut. Orang buta itu tidak punya ide mengenai warna, dan seorang tuli tidak punya ide mengenai suara. Ini membuktikan bahwa ide itu hanya bisa berasal dari kesan-kesan indrawi.

Kemudian, Hume mengatakan bahwa pengetahuan muncul karena kita menyatukan ide-ide dalam sebuah konsep mengenai sesuatu. Dengan kata lain, pengetahuan terbentuk sebagai hasil sintesa ide-ide. 

Tindakan menyatukan ide-ide dari kesan-kesan indrawi yang terjadi dalam pikiran kita itu disebut Hume dengan asosiasi dan berlangsung berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Menurut Hume, prinsip-prinsip tersebut adalah kemiripan (resemblance), kedekatan (contiguity) dan sebab atau akibat (cause and effect).

Pemikiran Hume yang terkenal lainnya adalah tentang prinsip kausalitas. Bagi Hume, tidak ada prinsip kausalitas. Apabila kita melihat bahwa air mendidih sesudah dipanasi api, maka kita akan menyimpulkan bahwa air mendidih karena dipanasi api. 

Namun Hume mempertanyakan kesimpulan ini: Apakah kita dapat mengalami adanya suatu "karena" yang diandaikan sebagai penghubung gejala di atas? Jawabannya adalah tidak. Karena itu pengetahuan mengenai hal tersebut tidak diperoleh berdasarkan penalaran rasional, melainkan melalui pengalaman empiris. Apa yang kita lihat dalam pengalaman hanyalah rangkaian "setelah", dan bukan rangkaian "sebab-akibat". 

Dalam pandangan Hume, hubungan antara api dan air mendidih sebenarnya terdapat dalam pikiran kita, dan bukan pada benda atau peristiwa itu sendiri, karena alam tidak menyajikan kepada kita relasi kausalitas demikian. Pengetahuan yang kita dapat dan bahkan kita terapkan untuk masa depan bukan dari relasi kausalitas tetapi dari kebiasaan (custom). Karena kita melihat bahwa air biasanya mendidih setelah dipanasi api, maka pengetahuan itu pasti dan akan terjadi di masa depan.

Singkatnya, relasi kausalitas itu adalah hasil imajinasi kita berdasarkan kebiasaan yang selalu kita lihat di masa lalu mengenai dua peristiwa yang selalu terjadi berurutan. 

Lalu prinsip-prinsip ilmu alam yang juga bersifat kausalitas dan dirumuskan secara induktif itu tidak pasti. Jadi, air mendidih bukan karena dipanaskan, melainkan air mendidih setelah api dinyalakan.

Pemikiran ini lantas membuat Hume menjadi penganut skeptisisme yang adalah paham yang mengatakan bahwa kita tidak pernah dapat memperoleh pengetahuan yang pasti; pengetahuan kita hanya berupa kemungkinan-kemungkinan. 

Pemikiran Hume ini tidak hanya menyerang ilmu-ilmu alam yang mendasarkan diri pada penyimpulan induktif dan prinsip kausalitas, namun juga menyerang agama dan Tuhan.

Dalam bidang etika, Hume memiliki argumen bahwa rasio manusia bukanlah penentu tindakan manusia. Argumen ini hendak melawan para rasionalis yang berpendapat bahwa kemampuan membedakan yang benar dan yang salah sudah tereksistensi dalam rasio manusia. Manusia, menurutnya, tidak diatur dan dikendalikan oleh akal budinya (reason), melainkan oleh keinginan atau nafsu-nafsunya (passions). 

Jika kita memutuskan untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan, kita melakukannya karena rasa-perasaan kita bukan karena daya nalar kita. Hume juga mengatakan bahwa setiap orang memiliki perasaan simpatik terhadap penderitaan orang lain sehingga setiap orang memiliki kapasitas untuk berbela rasa dengan orang lain.

 


Daftar  Pustaka

Copleston, Frederick. A History Of Philosophy. New York :  Doubleday, 1994

Hume, David. An Enquiry Concerning Human Understanding. ed. Tom L. Oxford :Oxford University Press. 1999.

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun