Mohon tunggu...
Bonavantura Sampurna
Bonavantura Sampurna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi menulis sastra dan karya ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Presiden Kita

12 Februari 2023   08:00 Diperbarui: 12 Februari 2023   08:02 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 suatu hari di musim hujan

di saat sulur-sulur mulai tumbuh merambat mencari kehidupan

anak-anak bermain lumpur di tepian jalan yang tak pernah bertepi kepada sepi 

genangan air menggenangi jalan 

sedang semesta menyanyikan rinai hujan musim dureng yang akrab,

lelaki kurus itu singsingkan baju

berbekas pengalaman yang mapan,

ia menggagahi waktu melawan animo orang-orang kota yang ogah dinodai alam

 keriput wajahnya dipolesi senyum sapa yang hangat

mengejutkan si kecil yang dibungkus lampin, berteduh di bawah kardus bekas yang mulai koyak dalam rintikan hujan 

wajahnya yang lusuh terlihat ranum disuguhkan perjumpaan yang tak terkatakan

ia mengakar kepada rakyat, merakyat pada kekuasaan

beberapa tahun berlalu,

jalan-jalan ibukota tampak megah dengan riasan spanduk kampanye yang dipajang di tepian jalan

beberapa wajah tampak akrab denagn visi misi yang terpampang di setiap lekukan raut muka mereka

lelaki paruh baya yang dulu mengais biang keladi kemacetan kota tampak sumringah di antara pajangan foto lain dirinya

tahun kedua menahkodai ibukota, kini menahkodai Nusantara

ia merajai bangsa, mentahtai kekuasaan

ia masih sama,

melafal bait-bait doa di antara kerumunan rakyat yang dilempar terasing 

mencicipi hidangan kesederhaan yang ditawarkan  para pejuang recehan

menjajaki bumi lapang hingga Timur yang terlupakan tanpa sofa mewah penghuni istana

ia rindu melukis tawa yang renyah di antara sekian tubuh yang butuh dibahu, wajah yang kehausan dan lapar akan sapaan penguasa tahta

kini, 

kita hampir tiba diujung sampai

satu dekade menyisakan tanya yang mendalam tentang kiblat bangsa yang semakin diguncang perubahan

kata-kata para calon terdengar lebih kaya dari malam, lebih mulia dari sang surya yang menggagahi semesta

dan rakyat kita mungkin masih terlelap dalam pengetahuan atau kenyang dengan sekotak nasi bungkus yang dilemparkan orang-orang tak dikenal

semoga di antara 2 dan 2 pada 2024 kita tidak mendua kepada mamon dan sogok. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun