Mohon tunggu...
Bona Ventura Ventura
Bona Ventura Ventura Mohon Tunggu... Guru - Kontributor buku antologi: Presiden Jokowi: Harapan Baru Indonesia, Elex Media, 2014 - 3 Tahun Pencapaian Jokowi, Bening Pustaka, 2017 | Mengampu mapel Bahasa Indonesia, Menulis Kreatif, dan media digital

#Dear TwitterBook, #LoveJourneyBook @leutikaprio

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berkeindonesiaan Penuh Kesadaran

10 Agustus 2023   08:06 Diperbarui: 10 Agustus 2023   08:14 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini keindonesiaan mulai kembali dipertanyakan. Isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) mudah memecah belah warga. Isu SARA kembali marak seiring banyaknya gelaran pilkada dan menuju pemilu 2024 (pileg dan pilpres). Isu SARA mudah diembuskan, karena isu yang mudah menimbulkan sentimen dan kecurigaan satu sama lain.

Hembusan isu SARA mudah dan cepat menuai hasil. Hasil yang sudah diprediksi oleh para kontestan pemilu. Isu SARA kerap digunakan oleh para kontestan pemilu yang cenderung lemah dari sisi program.

Isu SARA dalam gelaran pilkada semakin menegaskan politik identitas di Indonesia. Jika pola ini terus digunakan dalam politik, rakyat mudah menggunakan isu SARA untuk mencapai tujuan jangka pendek. Mereka menafikan persatuan dan kesatuan Indonesia demi pemuasan hasrat politik.

Politik identitas dalam konteks pemilu cukup mengkhawatirkan. Rakyat mudah terbelah, bahkan dalam keluarga pun dapat saling kontra satu sama lain akibat berbeda pilihan. Keterbelahan dalam masyarakat dapat menciptakan kerawanan sosial.

Politisi yang menggunakan isu SARA dalam kontestasi pemilu bagai mengkhianati tetesan darah dan korban nyawa para pejuang. Pejuang-pejuang rela mempersembahkan nyawa demi kemerdekaan ibu pertiwi, tetapi kini para politisi mengobral janji-janji yang sesungguhnya lebih mementingkan pencapaian target pribadi, partai atau golongannya. Mereka mengesampingkan etika dalam bernegara dan berbangsa.

Perilaku politisi tersebut tidak mencerminkan nasionalisme. Menurut mendiang Indonesianis, Ben Anderson, menjadi satu bangsa itu memerlukan pengorbanan, namun bukan dengan mengorbankan orang lain. Apalagi dengan mengorbankan sesama saudara sebangsa untuk pemuasan tujuan pribadi, partai atau golongan.

Para politisi tersebut mempertontonkan dengan nyata, power tend to corrupt. Kekuasaan itu cenderung korup. Pernyataan legendaris dari Lord Acton menegaskan bahwa korupsi dan kekuasaan, berjalan beriringan. Korupsi yang berkelindan dengan kekuasaan mencederai kemanusian yang adil beradab dan persatuan Indonesia.

Keindonesiaan yang Diperjuangkan

Nations, however, have no clearly identifiable births, 

and their deaths, if they ever happen, 

are never natural. 

(Benedict Anderson)

Bicara keanekaragaman Indonesia adalah contoh nyata. Beribu pulau, beratus bahasa daerah, beratus suku, dan serbaneka budaya daerah merupakan label yang melekat pada Indonesia. Keanekaragaman merupakan berkat terberi dari sang pencipta untuk Indonesia.

Jika ada pihak-pihak yang menafikan keberagaman di Indonesia, maka mereka sudah lupa akan pengorbanan para pejuang yang bersatu-padu serta tidak mempermasalahkan latar belakang kesukuan, agama, dan budaya demi memerdekakan Indonesia.

Dalam pidato penutupan Asian Youth Day, 6 Agustus 2017 di Yogyakarta, Jusuf Kalla mengungkapkan bahwa mari bersyukur bahwa Indonesia dengan keberagamannya masih menjaga toleransinya satu sama lain, meskipun masih ada kelompok kecil yang menimbulkan riak --riak konflik.  

Indonesia itu kita. Indonesia itu adalah perwujudan sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. Sebelum diproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sudah ada kerinduan dari beragam suku di Indonesia untuk bersatu. Adanya musuh bersama, yaitu: kolonialisme, semakin mengkristalkan rasa untuk menyatukan diri dalam satu bangsa. Persatuan yang dapat mengusir kolonialisme. Sebab politik divide et impera yang dilakukan oleh penjajah, memecah belah suku-suku, golongan, dan menimbulkan stratifikasi sosial di Indonesia.

Rasa senasib sepenanggungan akibat kolonialisme membangkitkan nasionalisme pada rakyat. Padahal sebelumnya mereka terpisah. Mereka merasa berbeda latar belakang (agama, budaya, suku). Kemampuan rakyat mengatasi beragam perbedaan tersebut dilandasi oleh imagined communities (komunitas terimaji) sehingga mereka perlu kerja bersama mengatasi kolonialisme.  

Komunitas terimaji tersebut lambat laun melahirkan nasionalisme. Nasionalisme yang membangkitkan kehendak untuk bersatu. Kehendak bersatu yang membutuhkan pengorbanan menyisihkan ragam perbedaan.

Selain merasa senasib sepenanggungan akibat kolonialisme, hal yang dapat menyatukan adalah agama. Kesadaran berbangsa dan bernegara yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia salah satu faktor pendukungnya adalah agama. Kekuatan agama dalam kehidupan rakyat Indonesia disadari oleh Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno.

Untuk mencegah kembalinya pasukan Belanda, Bung Karno memohon fatwa hukum untuk mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam. Pada 17 September 1945 Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad yang berisikan ijtihad  bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fisabilillah.

Berkat fatwa tersebut, maka rakyat mudah dimobilisasi untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Dilandasi oleh fatwa tersebut membuat rakyat semakin berani untuk siap mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan.

Betapa pentingnya faktor agama sebagai salah satu daya penggerak. Fatwa (19 September 1945) dan Resolusi Jihad (22 Oktober 1945) dari NU mampu menjadi pembakar semangat rakyat untuk rela berjuang, bahkan siap mati membela tanah air dan mengusir penjajah yang hendak kembali lagi.

Agama dalam kehidupan rakyat Indonesia sungguh menjadi pegangan. Tepat sekali sila pertama dalam Pancasila menyatakan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa. Landasan keimanan atau keberagamaan menempati posisi pertama dari semua hal penting dalam konteks kehidupan rakyat Indonesia.

Contoh Fatwa dan Resolusi Jihad NU mengambarkan bahwa agama tidak bertentangan dengan nasionalisme, bahkan agama bisa menjadi perekat bangsa dan menciptakan solidaritas yang kuat antar warga dalam memperjuangkan agenda bangsa atau agenda yang memaslahatkan umat.

Merawat Kemerdekaan Indonesia

Persatuan Indonesia wajib terus diperjuangkan oleh setiap warga bangsa. Dahulu warga bangsa bersatu mengusir kolonialisme. Kini bangsa Indonesia sedang dirongrong kerawanan sosial akibat penggunaan politik identitas. Perbedaan dalam masyarakat dibenturkan. Dicari dalil-dalil yang semakin meruncingkan perbedaan. Terbelahlah masyarakat dalam minoritas dan mayoritas.

Ada pihak-pihak yang hendak meniadakan eksistensi keberagaman di Indonesia. Mereka terang-terangan menyatakan Pancasila tidak lagi relevan. Dalam kesempatan raker dengan Komisi III DPR, 6 September 2012, Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Ansyad Mbai menyampaikan fakta mengejutkan berdasarkan hasil penelitian LIPI pada lima universitas ternama di Jawa bahwa 86% mahasiswanya menolak Pancasila sebagai dasar negara (Danusubroto,2016).

Pemimpin tertinggi Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib menyatakan bahwa dalam tinjauan kebangsaan dan kewargaanegaraan, tidak wajar ada istilah mayoritas dan minoritas karena semua telah sama dalam kewargaan negara dan lebur dalam kebangsaan yang sama.

Tirani mayoritas tergoda untuk menggunakan kekuasaan sesuai dengan yang dituju. Mereka mengorupsi kekuasaan dengan mengikis hak-hak minoritas. Bagi mereka sila ketiga, Persatuan Indonesia sudah tiada memiliki makna.

Merawat Indonesia adalah mensyukuri anugerah keberagaman. Bhinneka Tunggal Ika. Meskipun berbeda-beda tetap satu jua. Prof. Quraish Shihab menegaskan bahwa sebagai satu bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa perlu menyadari keragaman dan perbedaan adalah keniscayaan yang dikehendaki Allah untuk seluruh makhluk, termasuk manusia.

Penegasan Prof. Quraish tersebut dilandasi oleh Q.S. Al-Maidah ayat 48: Seandainya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikannya satu umat saja, tetapi (tidak demikian kehendak-Nya). Itu untuk menguji kamu menyangkut apa yang dianugerahkan-Nya kepada kamu. Karena itu berlomba-lombalah dalam kebajikan.

Semakin beriman seseorang, maka semakin ia cinta tanah air. hubbu al-wathan minal iman, cinta tanah air adalah manifestasi dan dampak keimanan. Tanah air Indonesia perlu terus diolah dan dikelola dengan baik agar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tercapai.

Merawat kemerdekaan bagi para pejabat negara adalah menghapus kemiskinan, mengikis ketidakadilan, dan menghapus korupsi. Basuki Tjahaya Purnama mengingatkan bahwa tugas pejabat negara hanya ada tiga: mewujudkan keadilan sosial, mengadministrasikan keadilan sosial, dan menjaga keadilan sosial agar sesuai koridor hukum.

Meningkatkan solidaritas kebangsaan juga merupakan salah satu cara merawat kemerdekaan. Lunturnya rasa solidaritas kebangsaan akibat penggunaan isu SARA dan politik identitas wajib diperangi oleh tiap warga bangsa. Melemahnya solidaritas kebangsaan dapat mengikis nasionalisme.

Egosentrisme berbasis isu SARA dan politik identitas akan memunculkan chauvinisme. Singkatnya, lunturnya semangat nasionalisme, bukan terjadi karena tiada lagi kolonialisme, melainkan justru dikreasi dengan sadar oleh penguasa pemerintahan yang mempunyai akses ke kebijakan publik. Ego penguasa yang dapat menenggelamkan bangsa ke tubir kepunahan.

#KitauntukIndonesia

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun