are never natural.Â
(Benedict Anderson)
Bicara keanekaragaman Indonesia adalah contoh nyata. Beribu pulau, beratus bahasa daerah, beratus suku, dan serbaneka budaya daerah merupakan label yang melekat pada Indonesia. Keanekaragaman merupakan berkat terberi dari sang pencipta untuk Indonesia.
Jika ada pihak-pihak yang menafikan keberagaman di Indonesia, maka mereka sudah lupa akan pengorbanan para pejuang yang bersatu-padu serta tidak mempermasalahkan latar belakang kesukuan, agama, dan budaya demi memerdekakan Indonesia.
Dalam pidato penutupan Asian Youth Day, 6 Agustus 2017 di Yogyakarta, Jusuf Kalla mengungkapkan bahwa mari bersyukur bahwa Indonesia dengan keberagamannya masih menjaga toleransinya satu sama lain, meskipun masih ada kelompok kecil yang menimbulkan riak --riak konflik. Â
Indonesia itu kita. Indonesia itu adalah perwujudan sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. Sebelum diproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sudah ada kerinduan dari beragam suku di Indonesia untuk bersatu. Adanya musuh bersama, yaitu: kolonialisme, semakin mengkristalkan rasa untuk menyatukan diri dalam satu bangsa. Persatuan yang dapat mengusir kolonialisme. Sebab politik divide et impera yang dilakukan oleh penjajah, memecah belah suku-suku, golongan, dan menimbulkan stratifikasi sosial di Indonesia.
Rasa senasib sepenanggungan akibat kolonialisme membangkitkan nasionalisme pada rakyat. Padahal sebelumnya mereka terpisah. Mereka merasa berbeda latar belakang (agama, budaya, suku). Kemampuan rakyat mengatasi beragam perbedaan tersebut dilandasi oleh imagined communities (komunitas terimaji) sehingga mereka perlu kerja bersama mengatasi kolonialisme. Â
Komunitas terimaji tersebut lambat laun melahirkan nasionalisme. Nasionalisme yang membangkitkan kehendak untuk bersatu. Kehendak bersatu yang membutuhkan pengorbanan menyisihkan ragam perbedaan.
Selain merasa senasib sepenanggungan akibat kolonialisme, hal yang dapat menyatukan adalah agama. Kesadaran berbangsa dan bernegara yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia salah satu faktor pendukungnya adalah agama. Kekuatan agama dalam kehidupan rakyat Indonesia disadari oleh Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno.
Untuk mencegah kembalinya pasukan Belanda, Bung Karno memohon fatwa hukum untuk mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam. Pada 17 September 1945 Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad yang berisikan ijtihad  bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fisabilillah.
Berkat fatwa tersebut, maka rakyat mudah dimobilisasi untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Dilandasi oleh fatwa tersebut membuat rakyat semakin berani untuk siap mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan.