"Alex bermaksud membunuh John saudaranya sendiri untuk menguasai harta warisan peninggalan ayahnya. Dia minta bantuan Allena salah satu penghuni Rumah Atlanta, rumah kontrakan milik John. Tapi semua rencananya berantakan.
Apa yang terjadi dengan Allena kemudian?"
***
Part sebelumnya [klik di sini]
Part 2. Rencana Alex
Namun sore harinya, ketika aku selesai mandi, pintu kamarku dibuka oleh Ijo, penjaga Rumah Atlanta. Dia datang bersama seorang laki-laki tampan setinggi John tapi dengan potongan rambut lurus dan berkulit bersih. Mereka terkejut dan tertegun sejenak melihat kondisi tubuhku yang hanya berbalut handuk.
"Ada apa, Jo?" tanyaku dengan santai.
"Ee ... Allena, ini Pak Alex. Sa ... saudara Pak John. Dialah yang mengurusi bisnis Pak John selama ini. Ee ... Pak Alex ini ... ini Allena," jawab Paijo gugup.
"Ee ... Jo, kenapa ... kenapa kamu ... membawaku ke sini. Ke tempat Allena?" tanya Alex tak kalah gugup juga.
"Sudah, sudah, tenang. Tarik napas panjang. Kalian aman di sini," kataku dengan senyum lebar, "sebentar, aku berpakaian dulu."
Sejenak suasana kamarku menjadi hening. Paijo dan Alex masih memperhatikan aku. Aku segera menyahut piyama dan kupakai untuk menutupi tubuhku yang sejak tadi hanya berbalut handuk.
"Ee ... Alex .... Aku tidak terbiasa memanggil pak. Jadi aku panggil Alex saja," kataku memecah keheningan.
"Tidak apa-apa. Terserah kamu saja," sahut Alex yang sudah terlihat tenang.
"Aku Allena. Kamu saudara John? Kenapa datang juga?" tanyaku pada Alex.
Alex mengangguk. Aku kemudian mengulurkan tanganku. Alex pun menyambutnya. Sengaja aku membuat gestur tubuh genit untuk menarik perhatian Alex. Dan sambil tersenyum manja aku meremas lembut tangannya. Sekilas aku melihat Alex menjadi salah tingkah di hadapanku.
"Ee ... waktu itu, aku ... aku memang tidak serta merta menyanggupi permintaan John," jawab Alex kembali gugup sambil melepas genggaman tanganku.
"Aku ... aku datang secara sembunyi-sembunyi ... dengan bantuan Ijo ... ee ... tanpa sepengetahuan John untuk mengamati keadaan di sini," lanjutnya.
"Kenapa kamu lakukan itu?" tanyaku lagi.
Alex tidak segera menjawab. Dia melirik ke arah Paijo yang berdiri menempel padaku. Dan aku paham maksud Alex.
"Ee ... Jo, tinggalkan aku bersama Alex," kataku pada Paijo. Tapi Paijo tidak segera pergi. Dia menatapku dalam-dalam.
"Kalian mau apa?" tanya Paijo penuh selidik.
"Alex mau ngomong masalah John dan Nick. Kamu tahukan masalah mereka berdua?" jawabku.
"Aku tidak boleh tahu?" tanya Paijo lagi.
"Tidak ada hubungannya denganmu, Jo. Tapi nanti aku akan minta tolong bantuanmu juga," sahut Alex.
Aku memperhatikan Paijo. Dia masih termangu sejenak. Kemudian segera keluar dari kamar. Aku pun beralih pada Alex. Dia sedang memperhatikan aku dengan seksama. Aku menyuruhnya duduk di tempat tidur karena di kamarku memang tidak ada kursi.
"Alex, apa yang bisa aku bantu?" Aku ikut duduk di samping Alex. Karena ada gerakan, handuk yang melilit tubuhku pun terangkat. Sementara piyama yang aku pakai membuka di bagian bawah sehingga memperlihatkan sebagian pahaku.
"Ee ... Allena, kini aku tahu mengapa John dan Nick saling berseteru," kata Alex sambil melirik ke arah bawah. Sebentar kemudian mengarahkan pandangannya ke mataku.
"O ya? Apa coba?" Aku tersenyum menggodanya.
"Kamu ... karena kamu. Meski aku belum mengenal penghuni Atlanta lainnya, aku pastikan kamu cewek paling menarik di Rumah Atlanta ini. Bahkan aku berani taruhan kalau Ijo pun tak akan rela jika kamu memilih salah satu di antara mereka," lanjut Alex.
"O ya? Sebegitunyakah aku?" Aku tertawa lebar mendengar penjelasan Alex.
Aku pun berkenalan dengan Alex lebih dalam. Dia cowok yang menarik. Masih muda dan tak kalah tampan dari John. Maklumlah merekakan masih saudara jadi ada mirip-miripnya. Cuma Alex kalah tajir aja meski dia yang menjalankan bisnis John.
Pada kesempatan itu juga Alex mengutarakan maksud kedatangan yang sebenarnya ke Rumah Atlanta padaku. Dia bukan ingin membantu masalah John dengan Nick tetapi ingin menyelesaikan masalahnya sendiri dengan John.
"Masalahmu dengan John? Bukannya kamu selama ini membantu bisnis John?" tanyaku.
"Iya, tapi aku masih sakit hati padanya. Dan aku akan membalasnya!" jawab Alex.
"Aku tidak ingin ada korban."
"Tapi kamu nanti bisa menikmati semua kekayaan John ... bersamaku. Maukah kamu membantuku, Allena?"
Alex memintaku untuk membantunya dengan janji imbalan yang besar. Meski merasa tidak tega karena harus merelakan John, tapi aku menerima tawarannya. Aku pikir Alex boleh juga untuk masa depanku.
"Satu lagi, Allena. Berjanjilah padaku untuk tidak memberitahu imbalan ini pada siapapun. Termasuk pada Ijo. Karena dia hanya pelengkap rencanaku saja meski nanti aku akan minta bantuannya juga," kata Alex. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
Tak terasa hari telah menjelang malam. Ijo kemudian memberitahu kalau Nick telah datang dan disambut oleh ke tiga temanku. Aku segera berganti pakaian pesta kemudian keluar kamar meninggalkan Alex dan Ijo untuk menemui Nick.
***
"Allena ...!" teriak Nick ketika melihat aku.
"Mari kita berpesta. Besok aku tidak bisa mengunjungi kalian. Aku akan pergi ke Eropa untuk urusan bisnis," lanjut Nick sambil memberikan beberapa botol wisky, anggur merah, makanan serta satu slop rokok putih kesukaan aku dan teman-teman.
"Ijo ...! Siapkan meja!" teriak ke tiga temanku serentak sambil tertawa riang.
Ijo, tukang kebun merangkap pelayan di Rumah Atlanta segera menata botol-botol minuman wisky dan anggur merah serta beberapa gelas di meja bar. Dia kemudian meletakkan makanan ringan dan satu slop rokok putih di meja tamu serta menata kursi-kursi sofa. Semua telah siap di tempat pesta. Nick duduk di kursi bar dengan ke dua tangannya merangkul pinggangku dan Alexis yang berdiri di sampingnya.
"Berapa lama kamu akan pergi?" tanya Alexis.
Dari sudut mata aku melihat Alexis bergelayut manja di pundak kiri Nick.
Sementara itu Dolly dan Cindy yang duduk di sofa terpisah memperhatikannya dengan tatapan sinis.
"Mungkin satu atau dua minggu, Sayang," jawab Nick sambil melepaskan pelukannya.
Aku memperhatikan Nick yang segera berdiri kemudian berjalan mendatangi Cindy yang masih duduk di sofa. Nick merangkulnya dari belakang. Sebuah kecupan mendarat di pipi Cindy. Melihat itu, Dolly segera beranjak dari kursi sofanya. Dia berjalan mendekati pria playboy paruh baya itu sambil membawa segelas wisky. Diminumkannya wisky itu pada Nick sambil mengelus rambut hitamnya. Nick kemudian merengkuh tubuh Dolly dalam pelukannya.
Sepanjang malam hingga larut dini hari aroma anggur merah, wisky dan sedikit syahwat berpadu dengan hentakan-hentakan musik lawas rock'n roll memenuhi Rumah Atlanta. Rolling Stones dan Beatles memang menjadi kegemaran kami. Kami berpesta bergembira ria memperebutkan sang pria playboy tajir setengah baya itu. Hingga tak terasa malam semakin merangkak tinggi. Waktu pun mendekati pukul dua dini hari.
"Cukup untuk hari ini, Nick! Sudah hampir pukul dua," kataku pada Nick sambil melirik ke jam dinding.
"Aku akan pergi cukup lama. Aku ingin pesta ini sampai pagi," sahut Nick.
"Sebentar lagi John pasti datang. Malam ini aku tidak mau kamu ribut lagi dengan John," lanjutku.
Tak berselang lama aku melihat John benar-benar datang. Dia membuka pintu dengan kasar dan langsung menghampiri Nick.
"Nick ...!" panggil John.
"Huuhh! Kau lagi! Kurang kerjaan aja! Nggak tahu kesenangan orang!" gerutu Nick.
"Aku tak akan bosan memperingatkanmu! Taati aturan bertamu di kampungku. Sudah pukul dua, pulanglah!" seru John pada Nick.
"Persetan dengan semua aturan di kampungmu ini! Aku bisa saja mengambil alih rumahmu! Bahkan kampung ini! Kamu dan orang-orang kampung angkat kaki dari sini!"
"Kamu mau menyuruh preman untuk mengusirku dan orang-orang dari kampung ini? Aku tidak takut! Dan itu tidak akan mungkin, Nick! Sekarang juga tinggalkan tempat ini!"
"Kamu lihat saja nanti!" ancam Nick.
[Bersambung] [klik di sini]
~Masbom~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H