Ketika langit merah menghiasi cakrawala di ufuk baratÂ
Terdengar suara adzan pertanda rinduku
Seteguk air teh hangat cukup sudah menghapus dahagaku seharian
Itu dulu sebelum gema takbir hari raya berkumandang
Sekarang semua seakan tidak terkendali ketika nafsuku telah menghapus jejak-jejak kemuliaannya
Ramadhan datang dengan kemuliaan
Namun ujian dan cobaan yang dia berikan
Terasa biasa saja dan tak ada yang istimewa saat menyambutnyaÂ
Meskipun dia menjanjikan kemenangan besar dan kekalahan nafsu
Karena kesibukanku dan aku yang merasa sombong
Di hari-hari terakhir pertempuranÂ
Di diantara malam-malam seribu bulan
Menghilang sesaat dari hingar bingar gemerlapnya kehidupan duniaÂ
Tersesat dalam keindahan dan keheningan semesta
Menjadikan malam itu penuh kemuliaan hingga terbit fajar
Hati ini merintih menjerit merobek langit memanggil namanyaÂ
Tapi tidak juga dia mendekat merantai tetes-tetes embun di hatiku
Aku ingin sejenak kembali terlena bersamanya di batas cakrawala
Namun dia tetap pergi selangkah demi selangkah meninggalkanku
Aku tidak bisa menaklukkan diriku sendiri
Karena nafsu meningkat di penghujung Ramadhan
Kembali fitrah hanya di mulut saja
Karena hati terbelenggu kembali oleh gemerlapnya perhiasan duniaÂ
Dan nafsu untuk memenuhi kehendak dua pertiga perut
Aku di penghujung Ramadhan
Menjaga hati agar tetap bergetar saat mengumandangkan takbirÂ
Merasuk ke dalam jiwaku meskipun hanya sedikit
Kelak dia akan datang lagiÂ
Menjadi suatu masa ketika tiada lagi jarak antara aku dan Tuhanku
Tuhan ... masihkah Engkau mencintaiku.
Solo.30.05.2019
Bomowica
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H