"Sudah selesai PR-nya?"
Aku perhatikan Alice, anak ragilku yang baru berumur enam tahun. Dia sedang belajar sendirian di ruang tamu. Alice duduk di belakang meja kecilnya sambil sesekali memandang ke depan dan tersenyum sendiri. Entah dengan siapa dia tersenyum. Aku jadi penasaran dan merasa takut akan terjadi sesuatu pada dirinya.
"Belum, Yah," jawabnya tanpa menoleh ke arahku.
Beberapa hari ini Alice selalu begitu kalau sedang belajar. Seperti ada yang menunggui di depannya. Tatapan matanya memperhatikan sesuatu yang begitu dekat dengannya. Tapi aku tidak bisa melihat apa yang sedang dia perhatikan saat itu.
Sejenak Alice menghentikan aktivitas belajarnya. Dia membuka kotak pensil dan mengambil salah satu pensilnya. Kemudian menyobek sebagian kecil kertas pada halaman belakang bukunya. Perlahan-lahan dia menyodorkan kertas dan pensil itu ke depan. Pandangan mataku belum beralih darinya. Aku terkejut dan detak jantungku seolah berhenti saat kulihat Alice melepaskan pensil itu. Benda kecil panjang itu berdiri tegak di atas kertas dan perlahan bergoyang seperti ada yang sedang menggerakkannya. Pensil itu menulis sendiri ....
"Sudah selesai ...?" tanyaku seolah tidak percaya dengan apa yang kulihat saat itu. Seketika pensil itu jatuh tergeletak di meja. Alice pun terkejut dan menoleh ke arahku sambil tersenyum. Aku beranjak dari tempat dudukku dan mendekatinya. Tidak kulihat sebuah tulisan pun di kertas itu. Mungkin hanya Alice saja yang bisa melihatnya.
"Sebentar lagi, Yah," jawabnya sambil mengambil pensil dan sobekan kertas itu kemudian memasukkan ke dalam kotak pensilnya kembali.
"Kalau ada yang sulit biar ayah bantu." Alice menggelengkan kepalanya.
"Jangan tidur terlalu malam biar besok tidak bangun kesiangan," ajakku. Dia hanya mengangguk. Sekali lagi Aku mendapati Alice seperti menatap seseorang yang begitu dekat di depannya. Sebentar dia menoleh ke arahku dan tersenyum kemudian melanjutkan mengerjakan PR-nya kembali.
Aku menutup pintu rumah kemudian berjalan menuju ke kamar Alice. Kuambil seblak kasur dari sapu lidi untuk membersihkan serta merapikan tempat tidurnya.
"Alice ... kalau sudah selesai cepat tidur," kataku sambil duduk di tepi pembaringan dan memperhatikan sapu lidi yang sedang kupegang. Aku teringat kejadian beberapa bulan lalu ....
"Anakmu itu ... sepertinya dapat melihat lelembut," kata Eyang saat itu.
"Alice ... maksud eyang?" tanyaku sambil menoleh ke arah Eyang. Beliau mengangguk dan ikut duduk bersama kami yang waktu itu sedang santai melihat acara televisi di ruang depan.Â
Aku pun menceritakan kejadian mistis lain yang pernah dialami Alice pada Eyang. Belum lama ini kami bermalam di rumah saudara dan tidur di kamar tengah. Kami dikejutkan dengan suara tangisan Alice yang tiba-tiba terbangun. Dia terlihat ketakutan.
"Darah ... darah, ada orang berdarah di sana!"
Alice mengatakan ada seseorang di balik jendela kamar itu. Seseorang yang hanya terlihat separuh badan itu berambut hitam panjang acak-acakan. Sepasang mata putih dengan sedikit bintik hitam di tengah terlihat menempel pada wajah seramnya. Kulitnya rusak mengelupas dan banyak darah keluar dari tubuhnya. Sesekali Alice melihat ke arah jendela tapi buru-buru dia menyembunyikan lagi wajahnya karena makhluk itu tetap ada di sana untuk beberapa saat lamanya.Â
"Kenapa tidak kamu gunakan seblak untuk mengusirnya?" tanya Eyang menyela ceritaku.
"Seblak kasur itu ...?"
"Iya, seblak itu ... sapu lidi untuk membersihkan seprei kasur. Benda itu dapat digunakan untuk mengusir lelembut."
"Benarkah? Aku malah tidak tahu."
"Tidak tahu ... atau kamu tidak percaya?" Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan Eyang.
Menurut penuturan Eyang, seblak sapu lidi dalam adat Jawa dipercaya untuk mengusir lelembut. Terutama lelembut yang mengganggu anak kecil. Sapu lidi itu biasa disebut juga dengan nama 'sodo gerang'.
Tapi untunglah kejadian itu tidak berlangsung lama. Meskipun aku tidak menggunakan seblak sapu lidi untuk mengusirnya. Lelembut atau makhluk halus itu pergi dengan sendirinya. Sepertinya dia cuma ingin menyapa Alice yang baru pertama kali bermalam di sana.
"Yah, sudah diseblaki tempat tidurku?" Pertanyaan itu membuyarkan ingatanku dan kulihat Alice telah berdiri di dekatku.
"Sudah, ayo tidur," jawabku sambil mengusap lembut kepalanya.
Alice segera naik ke tempat tidurnya. Tetapi dia tidak segera merebahkan tubuhnya dan hanya duduk di sampingku. Pandangan matanya mengarah ke pintu kamar dan sesekali beralih ke seblak kasur sapu lidi yang masih Aku pegang.
"Yah, bolehkah Mbak Andung tidur bersamaku?"Â
"Si ... siapa? Mbak Andung? Mbak Andung siapa?" tanyaku gugup dan agak merinding. Karena Aku sudah bisa menebak siapa sebenarnya Mbak Andung itu.
"Dia temanku, Yah," jawab Alice sambil menunjuk ke arah pintu kamar. Tetapi Aku tidak melihat siapa pun di sana.
"Tidak! Dia tidak boleh tidur di sini. Suruh dia pulang atau ayah akan usir dengan seblak ini!" Aku semakin merinding karena harus berhadapan dengan lelembut yang belum pernah Aku lihat wujudnya.
"Jangan, Yah, Mbak Andung sudah pulang ...." kata Alice sambil menunduk sedih.
Dia segera merebahkan tubuhnya menghadap ke tembok sambil memeluk boneka kesayangannya. Kuusap lembut punggungnya untuk menenangkannya.
"Katakan pada Mbak Andung jangan sering-sering main ke sini. Tempatnya bukan di sini. Dia punya rumah sendiri di sana."
Alice hanya diam saja. Aku mendekatkan kepalaku untuk mencium pipinya. Tiba-tiba dia menoleh. Ya Tuhan ...!!! Â Wajah anakku berubah menjadi putih pucat dan tanpa bulatan hitam di tengah matanya. Rambutnya pun menjadi lebih panjang dan kusut. Bau apek pun tercium di hidungku.
"Andung senang di sini." Terdengar suara serak dan berat dari mulut Alice.
Aku terkejut dan gemetaran ketakutan menghadapinya. Jantungku seperti meloncat dan hilang entah ke mana. Darahku seolah berhenti mengalir. Ketakutanku membuat tubuhku diam terpaku di tempat tidur dan dingin membeku bagaikan salju di puncak pegunungan Jaya Wijaya. Aku berusaha memberontak sekuat tenaga dan meloncat turun dari tempat tidur. Segera kuambil seblak kasur dan kuayunkan ke arah tubuh Alice. Tapi segera kuhentikan ketika terdengar suara lembut dari belakangku.
"Yah, sudah diseblaki tempat tidurku?"Â Aku menoleh dan kulihat Alice di sana tersenyum melihatku.
"Alice ...? Bukankah kamu tadi sudah tidur di sana?" tanyaku sambil menoleh ke tempat tidurnya. Tapi tidak kulihat siapa-siapa di sana.
"Ayah, aku dari tadi masih di ruang tamu, sedang belajar ...."
"Sama Andung?" Aku memotong perkataannya dengan pertanyaan penasaranku.
"Iya, Yah. Kok Ayah tahu Mbak Andung?" Alice balik bertanya keheranan karena selama ini dia tidak pernah cerita tentang temannya itu padaku.
"Sekarang di mana Mbak Andungmu?"
"Dia sudah pergi. Katanya takut dengan seblak kasur," kata Alice sambil berjalan menuju tempat tidur. Diambilnya boneka kesayangannya dan dia merebahkan tubuhnya menghadap ke tembok.
Ingin kucium lagi pipinya dan Aku elus punggunggnya sebelum tidur. Tapi kuurungkan niatku. Karena Aku takut Alice akan berubah menjadi sesosok lelembut itu lagi. Kutarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan Aku segera pergi meninggalkan kamarnya dengan masih menggenggam seblak sapu lidi di tanganku.
Aku kembali ke ruang tamu. Perlahan kubuka tempat pensil milik Alice dan kulihat sebuah tulisan di sobekan kertas itu ... Andung. Angin dingin berhembus pelan meniup belakang leherku. Seketika merinding lagi bulu kudukku.
"Aku menyukai Alice ...."
Terdengar suara menggema berkali-kali disela-sela tawa seorang anak kecil di ruang tamu. Aku pun bersiap mengayunkan seblak sapu lidi tersebut seandainya Mbak Andung tiba-tiba muncul di hadapanku. Tapi perlahan-lahan suara dan tawa itu menjauh dan menghilang ditelan keheningan serta dinginnya udara malam itu. Mungkin Mbak Andung benar-benar takut dengan seblak sapu lidiku ....
Solo.06.08.2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H