Alice hanya diam saja. Aku mendekatkan kepalaku untuk mencium pipinya. Tiba-tiba dia menoleh. Ya Tuhan ...!!! Â Wajah anakku berubah menjadi putih pucat dan tanpa bulatan hitam di tengah matanya. Rambutnya pun menjadi lebih panjang dan kusut. Bau apek pun tercium di hidungku.
"Andung senang di sini." Terdengar suara serak dan berat dari mulut Alice.
Aku terkejut dan gemetaran ketakutan menghadapinya. Jantungku seperti meloncat dan hilang entah ke mana. Darahku seolah berhenti mengalir. Ketakutanku membuat tubuhku diam terpaku di tempat tidur dan dingin membeku bagaikan salju di puncak pegunungan Jaya Wijaya. Aku berusaha memberontak sekuat tenaga dan meloncat turun dari tempat tidur. Segera kuambil seblak kasur dan kuayunkan ke arah tubuh Alice. Tapi segera kuhentikan ketika terdengar suara lembut dari belakangku.
"Yah, sudah diseblaki tempat tidurku?"Â Aku menoleh dan kulihat Alice di sana tersenyum melihatku.
"Alice ...? Bukankah kamu tadi sudah tidur di sana?" tanyaku sambil menoleh ke tempat tidurnya. Tapi tidak kulihat siapa-siapa di sana.
"Ayah, aku dari tadi masih di ruang tamu, sedang belajar ...."
"Sama Andung?" Aku memotong perkataannya dengan pertanyaan penasaranku.
"Iya, Yah. Kok Ayah tahu Mbak Andung?" Alice balik bertanya keheranan karena selama ini dia tidak pernah cerita tentang temannya itu padaku.
"Sekarang di mana Mbak Andungmu?"
"Dia sudah pergi. Katanya takut dengan seblak kasur," kata Alice sambil berjalan menuju tempat tidur. Diambilnya boneka kesayangannya dan dia merebahkan tubuhnya menghadap ke tembok.
Ingin kucium lagi pipinya dan Aku elus punggunggnya sebelum tidur. Tapi kuurungkan niatku. Karena Aku takut Alice akan berubah menjadi sesosok lelembut itu lagi. Kutarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan Aku segera pergi meninggalkan kamarnya dengan masih menggenggam seblak sapu lidi di tanganku.