Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Laki-Laki Bersayap

10 Maret 2019   13:41 Diperbarui: 10 Maret 2019   13:49 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rintik hujan turun membasahi bumi menghentikan langkahku. Ke mana lagi Aku akan mencari para pembuat trompet di muka bumi ini? Sudah sebelas purnama Aku menghabiskan waktuku, tapi tidak pernah kutemukan lagi seorang pun diantara mereka. Mereka hilang bagai ditelan bumi. Dahulu begitu mudahnya Aku menjumpai mereka walau keadaan hujan lebat sekalipun. Mereka dengan semangat menawarkan bermacam-macam trompet kepadaku.

Sekarang Aku hanya bisa terduduk lesu disebuah bangku di teras gubuk tua yang sudah lama ditinggal penghuninya. Sambil berteduh menunggu hujan reda Aku memperhatikan sekelilingku. Di gubuk tua ini ternyata banyak berserakan bekas serutan kayu, potongan kertas putih dan warna-warni yang telah usang, benang-benang bekas, serta kaleng bekas tempat lem.

"Bukankah bahan-bahan ini untuk membuat trompet?" Aku bertanya pada diriku sendiri.

Berarti Aku telah sampai di tempat para pembuat trompet. Tapi di manakah mereka  dan penghuni gubuk ini? Mengapa mereka meninggalkannya dan tidak mau merawatnya kembali? Aku harus mencari mereka. Aku meloncat kegirangan dan hendak berlari keluar dari gubuk. Tapi langkahku terhenti di pintu gubuk karena hujan belum reda. Terbesit dalam benakku untuk membuat trompet sendiri dengan bahan-bahan yang ada di gubuk tua ini.

"Tuhan ... bolehkah aku membuat trompet sendiri untukku?" Aku bertanya dalam hati. Tanpa menunggu jawaban dari Tuhan, Aku membalikkan badan dan mengumpulkan bahan-bahan yang masih bisa digunakan.

"Tidak boleh!" Tiba-tiba terdengar suara menggelegar mengagetkanku. Serta merta kulempar kembali bahan-bahan itu dan berserakan lagi di lantai gubuk.

"Mengapa tidak boleh?"

"Tugasmu hanya mencari di mana para pembuat trompet dan laki-laki itu!" kata Tuhan.

"Baiklah." Aku duduk lagi di bangku menunggu hujan reda.

Udara dingin membuat metabolisme tubuhku berjalan lebih cepat. Aku pun mulai merasa lapar. Kubuka tas kain kumalku. Tinggal sepotong roti di sana cukup untuk sedikit mengganjal perut kosongku. Kemudian Aku mengambil kantong kulit tempat air minum dari pinggangku. Kutuangkan ke dalam mulutku. Tes ... tes ... tes ... hanya tersisa tiga tetes air. Tidak mungkin dapat mengobati rasa hausku.

"Tuhan, hentikanlah hujan ini sejenak. Aku akan mencari makanan dan minuman di perkampungan itu sambil menanyakan keberadaan para pembuat trompet," pintaku pada Tuhan.

Seketika hujan pun berhenti. Aku segera berlari menuju perkampungan. Tapi perkampungan ini sepi. Di manakah orang-orangnya? Hanya kulihat beberapa saja, itu pun mereka tidak sedang membuat trompet. Dan bahan-bahan sisa untuk membuat trompet masih berserakan tidak terawat. Trompet-trompet usang yang masih tersisa pun tergantung di depan rumah-rumah mereka.

"Aku membutuhkan trompet baru. Masih adakah tersisa?" Tidak ada jawaban dari mereka. Hanya pandangan wajah tanpa ekspresi kearahku. Bahkan sebagian dari mereka menghindariku. Aku terus berjalan hingga masuk ke dalam perkampungan. Di sana Aku dapati orang-orang mondar-mandir sibuk dengan urusan dan pekerjaannya masing-masing tanpa seorang pun yang bekerja sebagai pembuat trompet.

Perjalananku sampai pada sebuah halaman rumah yang cukup luas. Aku berhenti di sana dan kulihat sebuah trompet tergantung di depan rumah tersebut. Trompet itu sama dengan trompet milikku yang Aku gantungkan di dada. Sama-sama usang.

"Di manakah para pembuat trompet? Aku butuh trompet baru. Adakah yang bisa membuatkannya untukku?" Tidak ada jawaban juga. Sekali lagi orang-orang itu hanya memandangiku sejenak tanpa ekspresi apa pun.

"Di manakah engkau wahai para pembuat trompet?" teriakku dengan lantang. Tiba-tiba pintu rumah itu terbuka dan keluarlah seorang tua dengan trompet di tangannya.

"Apakah engkau pembuat trompet itu wahai orang tua?" Aku bertanya sambil memperhatikan trompet baru di tangannya.

"Benar, anak muda. Tinggal aku dan beberapa orang saja yang masih tersisa di perkampungan ini."

"Di manakah yang lainnya?"

"Semenjak kepergian laki-laki itu, banyak diantara kami yang meninggalkan pekerjaan ini dan tidak suka meniup trompet. Karena tidak ada lagi yang bisa mengajari kami membuat dan meniup trompet semerdu suara trompet buatan laki-laki itu," jawab orang tua.

"Siapa laki-laki itu? Apakah dia laki-laki bersayap yang sedang aku cari? Dan ke manakah dia pergi?" Aku bertanya dalam hati.

Orang tua itu mempersilakan Aku masuk ke dalam. Beberapa orang sudah ada di dalam rumah. Dan kulihat banyak trompet-trompet baru yang telah dibuatnya bersama orang-orang itu.

"Mengapa engkau tetap membuat begitu banyak trompet, wahai orang tua?"

"Laki-laki itu berpesan kepadaku agar terus membuat trompet dan kelak di malam purnama kedua belas dia akan datang lagi. Dia akan meniup trompet-trompet itu bersama orang-orang di kampung ini."

Saat purnama kedua belas? Saat itu turunnya para bidadari malam ke langit bumi. Dan sudah menjadi kebiasaan laki-laki bersayap di Negeri Langit, dia akan menyambut dan menyaksikan para bidadari malam itu menari-nari mengelilingi purnama kedua belas hingga terbit fajar. Mungkin benar dugaanku bahwa laki-laki itu yang sedang Aku cari.

"Bukankah orang-orang sudah tidak menyukai trompet karena suaranya tidak merdu lagi? Lantas ... siapakah nantinya yang akan meniup trompet-trompet ini?"

"Entahlah ... aku sendiri juga tidak tahu," jawab orang tua itu tertunduk lesu.

"Sekarang di manakah laki-laki itu? Kenapa dia meninggalkan perkampungan ini?"

"Dia mengatakan untuk sementara waktu  bersembunyi karena akan ada seseorang yang datang mencarinya dan memaksanya pulang ke asalnya."

Tidak ada yang tahu pasti dari mana asal laki-laki itu. Konon kabarnya laki-laki itu berasal dari Negeri Langit. Dia turun karena sering mendengar bunyi trompet penduduk bumi. Dia juga mengajari penduduk bumi untuk membuat dan meniup trompet agar bisa semerdu tiupan trompetnya. Tapi tetap saja tidak ada yang bisa semerdu bunyi trompet buatan laki-laki itu. Dan setiap malam purnama kedua belas dia mengajak seluruh penduduk bumi meniup trompet untuk menyambut turunnya para bidadari malam ke langit bumi.

"Apakah laki-laki itu bersayap?" tanyaku penasaran.

"Konon ketika turun dari langit laki-laki itu terbang dengan sayapnya. Dan sayap itu menghilang setelah dia menginjakkan kakinya ke bumi. Hingga sekarang tidak pernah terlihat sepasang sayap pada diri laki-laki itu," jawab orang tua.

Dia tidak bersayap lagi? Mungkin dia bermaksud menyamarkan identitasnya pada penduduk bumi. Dengan kekuatan dari Negeri Langit yang dimilikinya dia bisa menyembunyikan sayapnya.

Tibalah malam yang dijanjikan laki-laki itu, malam purnama kedua belas. Tapi malam itu cuaca sedang tidak bersahabat. Mendung tebal menggantung di langit. Udara dingin menyelimuti perkampungan itu. Sesaat kemudian rintik hujan turun membasahi bumi dan purnama pun enggan menampakkan dirinya. Dengan harap-harap cemas aku menunggu hingga hampir tengah malam. Saat kulihat seseorang datang dan berdiri di tengah halaman rumah orang tua itu.

"Engkau telah datang anak muda!" sapa orang tua.

"Benar, orang tua. Ke mana orang-orang kampung ini? Apakah kalian sudah tidak mau meniup trompet bersamaku?"

"Semenjak kepergianmu, banyak di antara kami yang enggan meniup trompet karena tidak bisa semerdu tiupan trompetmu. Cuaca malam ini juga tidak bersahabat. Mendung tebal dan hujan membuat mereka enggan untuk keluar rumah," jawab orang tua.

"Baiklah, akan aku buat cuaca malam ini cerah dan purnama dapat bersinar kembali."

Laki-laki itu mengambil posisi sikap sempurna. Dia menarik nafas panjang sambil mengangkat tangannya lurus ke atas. Kemudian perlahan-lahan diturunkan dengan menahan napasnya. Terlihat otot bahu dan punggungnya menegang. Sungguh ajaib!!! Punggung laki-laki itu terbelah kecil di tempat kedua tulang belikatnya. Dan dari sana perlahan-lahan muncul sepasang sayap putih yang semakin lama semakin besar hingga seukuran halaman rumah itu.

Laki-laki itu kemudian mengepak-ngepakkan sayapnya sehingga timbul hembusan angin yang sangat kuat. Pohon-pohon berguncang, debu-debu dan daun-daun gugur beterbangan ke sana ke mari. Hujan dan mendung sirna terbawa hembusan angin itu. Purnama kedua belas pun muncul dengan cahaya indahnya.

Orang tua dan beberapa orang pembuat trompet yang berada di sana dibuat terpana oleh pemandangan itu. Sosok laki-laki bersayap yang belum pernah terlintas dalam angan-angan mereka selama ini berada di depan mata. Dan di bawah cahaya purnama, sepasang sayap putih itu terlihat begitu indah berkilauan.

"Akan aku undang orang-orang kampung ini untuk menyambut datangnya bidadari malam," kata laki-laki itu sambil mengangkat trompet siap ditiupnya. Dalam genggaman tangannya trompet itu terlihat semakin lama semakin besar bentuknya.

"Laki-laki bersayap! Dialah yang selama ini aku cari. Tuhan ... aku telah menemukan dia."

"Tahan dia agar tidak meniup trompetnya dan perintahkan untuk segera kembali ke Negeri Langit," kata Tuhan kepadaku. Aku mendekat dan berdiri di hadapan laki-laki itu untuk menyampaikan perintah Tuhan.

"Jangan kau tiup trompet itu wahai laki-laki bersayap!"

"Kenapa, anak muda? Kau takut suara trompetku tidak akan semerdu dulu lagi?"

"Benar ... bahkan suara trompetmu akan memporak-porandakan bumi dan seisinya."

"Benarkah demikian? Bukankah ini sudah aku lakukan sejak dahulu kala dan tidak terjadi apa-apa dengan bumi?"

"Lihatlah trompet di tanganmu itu ... semakin lama semakin besar bentuknya. Ketahuilah ... dengan adanya sepasang sayap pada dirimu, kau telah berubah menjadi penduduk Negeri Langit dengan segala kekuatan yang menyertaimu. Malam ini aku membawa perintah Tuhanmu. Pulanglah ke Negeri Langit untuk kembali mengemban tugas dari Tuhanmu ... menjaga trompet sangkakala."

Laki-laki bersayap sungguh kecewa. Dia hanya bisa tertunduk lesu sambil memperhatikan trompet yang tidak jadi ditiupnya. Kemudian dipandanginya langit malam. Terlihat olehnya para bidadari malam telah turun ke langit bumi dan terbang menari-nari mengitari purnama kedua belas.

"Jika aku kembali ke Negeri Langit masih bisakah aku meniup trompet untuk menyambut para bidadari malam itu? Tuhan, bolehkah aku..." dia mencoba menyampaikan isi hatinya pada Tuhan.

"Bawalah serta trompet itu untuk menemani rasa sepimu di Negeri Langit dan tiuplah sesuka hatimu, hingga tiba waktunya engkau boleh meniup trompet sangkakala-Ku," jawab Tuhan mengerti isi hati laki-laki bersayap itu.

Laki-laki bersayap tersenyum lega dan segera mengepakkan sayapnya terbang menuju Negeri Langit.

Solo.10.03.2019

Bomowica

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun