Di bagian Alun-Alun Utara yang lain ....
Gadis kecil itu berkali-kali menoleh ke belakang ....
"Ada apa, Putri? Ayo cepat sedikit. Ibu masih takut sama anak-anak pencopet tadi."
"Iya, Bu."
Mereka adalah seorang Ibu bersama anak gadisnya yang baru saja menjadi korban pencopetan di arena Sekaten. Dan beruntung ada sepasang sahabat yang tidak sengaja menolong mereka. Hingga terjadi perkenalan singkat dengan anak gadisnya.Â
Tetapi sang gadis kecil belum sempat mengetahui nama sepasang dewa penolongnya. Hal itu membuatnya jadi penasaran.
Putri mempercepat langkah mengikuti ibunya. Tetapi tetap saja dia sering menoleh kebelakang.
"Kakak, di manakah engkau? Tidakkah engkau lewat jalan ini jika hendak pulang? Aku belum tahu nama dan rumahmu?" kata Putri dalam hati berharap dapat bertemu lagi dengan dewa penolongnya, Sono dan Tono.
Kerlap-kerlip cahaya bintang di langit malam dan gemerlapnya lampu yang ada di sana tidak dapat menutupi kegalauan hatinya. Dia seperti merasa kehilangan setelah perpisahannya dengan salah seorang dewa penolongnya.Â
Cowok ganteng itu telah mencuri perhatian sang gadis kecil periang berwajah manis. Panah asmara begitu kuat menancap dan mengikat dua hati yang baru saja bertemu.
Sepertinya Dewi Asmara lagi mabok hingga telah salah alamat dengan melontarkan panahnya pada sepasang remaja usia muda belia itu.Â
Bukankah hanya akan terjadi cinta monyet saja diantara mereka berdua? Tetapi Dewi Asmara tetap pada keputusannya dan tidak akan mencabut panah asmaranya. Sehingga Putri juga merasakan apa yang dirasakan Sono saat itu ... jatuh hati pada pandangan pertama.
Tak lama kemudian Ibu dan Putri sampai di jalan beraspal di depan Alun-Alun Utara. Sebuah angkot kuning Kobutri penuh penumpang datang mendekat.
"Mari, Bu, naik. Belakang masih kosong," kata kernetnya.
"Mana kosong? Penuh sesak gitu di bilang kosong!" kata Putri cemberut.
Sang Ibu hanya geleng kepala tanda tidak mau menaiki angkot tersebut. Mereka tetap berdiri di samping barang-barang belanjaannya. Sementara Putri masih saja tengak-tengok dan berharap dapat menemukan dewa penolongnya.
Pengunjung Sekaten masih berdatangan dan berhilir mudik melewati jalan itu. Para pedagang pun masih setia menawarkan barang dagangannya.Â
Geliat aktivitas pasar malam ini sepertinya mencapai puncaknya pada malam itu. Tidak lama kemudian sebuah andong lewat dan berhenti di depan mereka.
"Mau pulang, Bu? Mari saya antar," kata sopir andong dengan sopan.
Terlihat sopir andong berpakaian adat Jawa. Kemeja lurik lengan panjang. Celana hitam panjang, dan memakai blangkon di kepala.
"Ke Wirobrajan ya, Pak," kata Ibu sambil menaikkan barang-barang belanjaannya.
"Mari, Bu," kata Pak Kusir.
Andong berjalan pelan ke arah utara meninggalkan Alun-Alun. Malam itu jalanan masih ramai. Kendaraan roda dua berjajar di sepanjang jalan itu. Dan para pedagang kaki lima memenuhi trotoar hingga menyulitkan para pengunjung saat berjalan di sana.
Sampai di simpang empat bundaran air mancur Pak Kusir membelokkan andongnya ke kiri. Dia melecutkan cemetinya di samping kudanya agar berjalan lebih cepat lagi.Â
Sang kuda terkejut dan segera menghentakkan kakinya. Terdengar suara tapal kuda yang beradu dengan jalan beraspal. Dan juga terdengar sayup-sayup alunan irama musik Jawa dari radio milik Pak Kusir.
Andong mengantarkan Ibu dan Putri menyusuri jalanan menuju Wirobrajan. Putri duduk di depan di samping Pak Kusir. Angin dingin bertiup sepoi-sepoi membelai lembut helaian rambut panjang milik Putri.Â
Pandangan matanya menerawang jauh menyusuri jalanan di depannya. Angannya melayang kembali mengingat kejadian itu dan berharap secepatnya dapat bertemu kembali dengan cowok pujaan hatinya.
Semakin ke barat jalanan mulai terasa sepi. Bunyi tapal kuda pun terdengar nyaring di telinga Putri. Dia mengarahkan pandangan matanya pada kuda di depannya. Seekor kuda berwarna coklat kemerahan begitu gagah menarik sebuah andong.Â
Seikat bulu ayam berwarna merah muda diikat di atas kepalanya. Rambut leher yang panjang dan berwarna lebih gelap tampak bergoyang-goyang seirama langkah-langkah kakinya. Setelah melewati sebuah jembatan, andong tiba di perempatan lampu merah.
"Belok kanan, Pak Kusir. Nanti ada gang pertama kiri jalan berhenti," kata Ibu.
"Baik, Bu," jawab Pak Kusir.
Andong berjalan pelan menuju sebuah gang di samping penjual bakmi Jawa. Sesaat kemudian Pak Kusir menarik tali kendali kudanya. Sang kuda pun berhenti tepat di depan gang tersebut.
"Di sini, Bu?" tanya Pak Kusir.
"Iya, Pak. Terimakasih banyak," jawab Ibu sambil menyerahkan sejumlah uang. Sementara Putri menurunkan barang-barang bawaannya.
Lega rasanya sampai di rumah. Putri segera masuk kamar dan menaruh gangsingan pemberian cowok itu di atas meja belajarnya. Dia rebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya menerawang ke langit-langit kamar. Sejenak dia terpejam dan larut dalam mimpi indahnya.
"Putri di manakah rumahmu?"
Di alam bawah sadarnya Putri seperti mendengar suara menggema memenuhi rongga kepalanya. Dia terkejut dan bangun dari tidurnya. Hatinya berdebar-debar. Putri duduk di tepi pembaringan. Pandangan matanya tertuju pada gangsingannya.
"Aku seperti mendengar suara Kakak. Dia hadir dalam mimpiku. Kenapa tidak kau sebut nama dan rumahmu pada perkenalan singkat kita?" Putri makin penasaran.
"Tapi kenapa juga kau berikan gangsingan ini? Dan kau berjanji akan menemuiku. Kapan dan di mana kita akan bertemu lagi?"
Putri masih galau dan tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Pandangan matanya menerawang jauh seolah-olah menembus dinding-dinding tembok kamarnya. Sono ... cowok pendiam tetapi jago berkelahi itu telah memikat hatinya. Tanpa sadar Putri tersenyum sendiri mengingat kejadian itu.
"Bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya dan di manakah kita akan bisa bertemu kembali? Apakah kamu akan mencariku dengan gangsinganmu? Seandainya kamu satu sekolah denganku ...." kata Putri dalam hati.
Pertanyaan itu berkecamuk memenuhi rongga kepala dan menyesakkan dadanya. Rasa penasaran, galau, dan capek menyelimuti pikirannya. Putri hanya bisa menghela nafas panjang dan membiarkan sang waktu yang akan menuntunnya.
***
Waktu terus berjalan sesuai kehendak Sang Pemiliknya. Dan seiring bergantinya siang dan malam berakhir pula Pasar Malam Perayaan Sekaten di Alun-Alun Utara Jogja. Â Para pedagang pun mulai mengemasi dan membongkar lapak-lapak dagangan mereka.Â
Suasana Alun-Alun Utara kembali sepi. Tinggal satu dua pedagang saja yang masih bertahan berjualan di sana. Dan sebuah kenangan manis tak terlupakan bagi Sono.
Perkenalan singkatnya dengan Putri benar-benar memberi kesan yang dalam. Remaja Sono yang belum pernah berurusan dengan masalah cinta seperti menemukan jodohnya.Â
Dewi Asmara yang bersemayam di hati Putri rupanya terlalu terburu-buru ingin menjodohkan mereka berdua yang masih bersekolah di tingkat lanjutan pertama itu.Â
Meskipun begitu Dewi Asmara mempunyai perhitungan sendiri sehingga tak segan untuk melepas panah asmaranya. Kini anak panah itu telah menusuk jantung hati Sono tepat di tengahnya.
Begitulah cinta, meskipun baru cinta monyet, dia akan menemukan jalannya sendiri. Sehingga Sono begitu berani memberikan salah satu gangsingannya dan berjanji akan mencari Putri di manapun dia berada.Â
Padahal dia sendiri belum tahu di mana rumah Putri. Dia lupa menanyakan hal itu atau memang cinta itu dapat membuat ceroboh bagi yang terkena panah asmaranya.
Dan bagi Tono pertemuannya dengan seorang anak genk akan membuat sebuah cerita panjang yang tidak akan mudah diakhiri. Sifatnya yang sabar dan penuh perhitungan memberikan intuisi untuk itu.Â
Ancaman yang diberikan anak genk tersebut membuat risau hatinya. Perkelahian itu memang tidak disengaja terjadi di antara mereka.Â
Tetapi ibarat genderang perang yang telah ditabuh, Sono dan Tono harus bersiap menghadapi anak-anak Genk Butterfly jika suatu saat bertemu di jalanan.
Kini Sono dan Tono disibukan dengan urusan sekolahnya masing-masing. Meskipun begitu sebagai dua orang sahabat mereka masih sering bertemu untuk latihan rutin ataupun sekedar bersepeda santai ke kota menikmati hari libur sekolah.
... bersambung ...
Solo.20.01.19
~Bomowica~
*) cerita ini diambil dari ebook 'Sepasang Gangsingan'Â (google play book)
Kisah sebelumnya di Cerpen Jogja 1990 Â :
1. Dua Sahabat
3. Sekaten
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H