Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen Jogja 1990] Dua Sahabat

9 Oktober 2018   07:53 Diperbarui: 9 April 2019   00:11 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang anak remaja berpakaian rapi turun dari sepeda dan menuntunnya ke arah seorang ibu yang sedang asyik menyapu di bawah pohon sawo kecik di halaman depan pendopo rumahnya.

"Bu, badhe kepanggih Sono ...." kata anak itu sambil sedikit membungkukkan badannya.

Ibu itu berhenti menyapu dan sedikit terkejut sambil menepuk pundak anak itu.

"Oh, kowe to, Le," kata ibu.

"Inggih, Bu."

"Lha kui, masuk sana ...." Ibu itu menunjuk seorang anak yang sedang mencuci sepeda di samping rumah joglo di belakang pendopo.

"Matur nuwun, Bu ...."

Anak itu kembali mengayuh sepedanya masuk ke halaman melintas di samping pendopo di depan rumah Joglo, tempat tinggal Sono, sahabatnya. Sebuah rumah adat Jawa yang masih banyak dijumpai di daerah Jogja dan sekitarnya.

Disebuah kampung kota Jogja bagian utara itu mereka lahir dan tumbuh menjadi remaja usia belasan tahun. Mereka mempunyai latar belakang keluarga yang berbeda status ekonominya. Sifat dan watak yang bertolak belakang pada diri mereka tidak mampu membuat jarak bagi persahabatan mereka. Bahkan mereka bisa saling melengkapi sebagai seorang sahabat sejati.

Mereka bertemu saat menempuh pendidikan dasar di kampungnya. Selama enam tahun mereka tumbuh, bermain bersama, dan bersekolah ditempat yang sama membuat ikatan batin yang kuat. Sebuah ikatan dua sahabat. Dan sekarang mereka pun masih menempuh pendidikan di sekolah lanjutan pertama yang sama di kampungnya.

Jogja merupakan sebuah kota pelajar yang penuh dengan dinamikanya. Dengan berbagai karakter orang dari Sabang sampai Merauke yang terkadang bertolak belakang dengan sifat dan watak orang Jogja sendiri yang 'alon-alon waton kelakon'. Sebuah falsafah hidup yang selaras dengan irama alunan gending-gending Jawa untuk memahami makna hidup yang sesungguhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun