Mohon tunggu...
Abdul Chalid Bibbi Pariwa
Abdul Chalid Bibbi Pariwa Mohon Tunggu... -

Warga di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebahagiaan Anak Muda dan Politik Elektoral

15 September 2013   15:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:51 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tragis, hal itu berefek domino. Individualisasi atau personalisasi mengubur kharisma partai. Ia tak lebih sebagai jalan formal, alat transaksi bagi proses politik dan elektoral yang berlangsung. Proses politik lebih cenderung mengarah pada penguatan kharisma individu, baik melalui usaha sistematis yang didukung modal uang.

Pemilihan di tahun 2009 setidaknya memberikan kita peta dan jalan perpolitikan ke arah itu. Maka populerlah apa yang disebut dengan marketing politik. Satu konsep pemenangan dalam politik ini merupakan praktik yang telah berkembang di Amerika Serikat di awal abad 20 (Rothschild 1978). Cita rasa pragmatismenya lebih dominan, seperti model shopping oleh sales-sales produk.

Sekarang, di kota kita tercinta, Makassar, juga terjadi. Partai politik sekadar jalan bagi sejumlah elit-tengok perpecahan elit dan konstituen dialami beberapa partai. Sebab itu, marketing politik jadi satu keharusan (necessary-condition). Tak dapat dihindari sebagai dampak demokrasi Indonesia yang tengah mencari arah.

Seperti di tahun 2009, anak-anak muda banyak tampil sebagai pionir marketing politik. Mereka tampil sangat ovensif di media massa. Sebut saja misalnya tiga bersaudara Mallarangeng dan Anas Urbaningrum.  Di Partai Demokrat, mereka memiliki andil besar “menjual” ketuanya, presiden sekarang, Susilo Bambang Yudoyhono sebagai figur favorit bagi ibu-ibu dan anak-anak muda.

Di satu sisi me-rias SBY, tapi di sisi lain sesekali menyerang program kandidat lawan. Bahkan tak jarang mencoba mengunci elektabilitas lawan dengan agenda setting dan wacana. Misalnya saja, betapa populer sitiran Alifian terhadap JK dalam kampanye tertutup menyambut Pemilihan Presiden 2009-2014 di Gedung Olah Raga Andi Mattalatta, lalu. Katanya,” belum saatnya orang bugis jadi presiden”.

Di partai-partai lain itu terdapat sosok muda. Seperti Priyo Budi Santoso di Partai Golkar, Budiman Sujatmiko di PDIP, dan seabrek lagi.

Dalam “lingkaran setan”

Dalam membangun demokrasi dan kehidupan bernegara yang lebih baik, tentu tak haram anak muda berpolitik. Besar harapan kita, kehadirannya membawa perubahan besar demokrasi  elektoral menuju arah lebih baik.  Dengan catatan, anak muda memiliki  bargaining dari segi visi, bukan hanya tenaga tapi sumbangsih pemikiran konstruktif. Bukan sebaliknya, mengacaukan tatanan ideal politik sebagai jalan bagi lahirnya pemimpin negara.

Belum lekang diingatan kita, bagaimana euforia anak-anak muda saat duduk dalam kursi empuk pusaran kekuasaan pasca 2009. Setelah  sukses memenangkan pertarungan, mereka kemudian mendapat tempat lebih besar, menempati posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan partai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun