Besar harapan kita, menyaksikan anak-anak muda tampil di panggung-panggung politik. Mereka tampil agresif di media, nyaris setiap waktu muncul baik di kolom-kolom politik koran harian, televisi, dan portal online. Apalagi di sosial media yang hampir tak punya etik secara mainstream mengatur konten.
Di perhelatan pemilihan walikota Makassar yang tengah berlangsung ini tak ketinggalan. Hampir di semua tim calon yang berhadapan, di tengah-tengahnya hadir anak-anak muda dengan peran-peran prestisius, seperti juru bicara dan tim media. Mereka adalah corong bagi para kandidat dalam proses politik dan elektoral di Makassar. Mereka bak selebriti yang dicari-cari pewarta. Celoteh-celotehannya menjadi bahan berita populis, “bad news is good news”.
Memang, seiring dengan perhelatan politik dalam dua tahun terakhir di Sulawesi Selatan, politik dan elektoral adalah bahan berita paling top. Sentimen tersebut dapat diukur melalui peningkatan konten-konten politik di surat kabar, program televisi lokal dan di dunia maya, muncul beragam media online berbasis politik. Dari sisi waktu, hampir setiap menit, berita-berita politik tumpah ruah bak air mengalir di ruang media.
Hal itu kian terasa dengan berbagai corak iklan politik yang penuhi kolom media massa kita. Baik dalam bentuk advertorial maupun banner. Tak jarang berisi pesan kampanye negatif pula.
Dari sisi industri, politik dan elektoral memang telah jadi komoditas ekonomi bagi media massa. Terutama memanfaatkan posisinya sebagai wahana informasi massif yang langsung ke tangan publik. Tentu saja, sangat tepat bagi media pencitraan kandidat.
Gambaran itu dapat disaksikan melalui trend pembengkakan biaya sosialisasi yang ditanggung tiap kandidat dalam pemilihan dari tahun ke tahun. Seperti yang terungkap dalam focus discussion group Center Election Political Party Universitas Indonesia yang dihadiri beberapa anggota DPR RI dan tokoh akademisi seperit Jeffrey Winters dari Australia baru-baru ini. Bahwa, tahun 2004 lalu, biaya politik dan elektoral yang dikeluarkan personal, berkisar pada angka 2 ratus hingga 3 ratus juta. Ditakar dari pengeluaran para mantan aktivis atau orang-orang yang punya modal sosial yang ikut dalam Pemilukada.
Tahun 2009, jadi 8 Ratus juta hingga 1 Miliar Rupiah. Peserta berlatar belakang pengusaha, bahkan mengeluarkan biaya 6 sampai 22 miliar saat itu. Sekarang, di tahun 2013 boleh jadi beban itu makin meningkat. Di Makassar, beredar kabar biaya dikeluarkan calon ada yang telah melebih 50 miliar rupiah. Diproyeksikan, tahun 2014 beban biaya calon untuk Pemilukada bakal meroket. Termasuk pada pemilihan legislatif. Asumsi tersebut berdasarkan sistem proporsional terbuka yang berlaku dimana kekuatan personal lebih dominan dari mesin partai.
Itu satu data, dari lembaga lain mungkin banyak perspektif lagi. Dari hal tersebut, dipastikan biaya sosialisasi terutama alokasi iklan untuk media makin bertambah. Karena para calon dituntut me-rias diri. Nah, pada poin ini, para juru bicara dan tim media calon atau kandidat-kandidat yang bertarung memiliki tempat. Dan, anak muda ada disana.
Pionir Marketing Politik
Seperti telah dipaparkan sebelumnya, konsekuensi nyata multi partai yaitu terjadinya persaingan elit secara luas di pentas politik. Apalagi dengan sistim proporsional tertutup yang bakal terjadi di pemilihan legislatif. Kenyataan itu mendorong partai dan para elit melakukan gerakan inovasi dalam menghadapi proses politik dan elektoral.