Ditonton oleh belasan bocah-bocah, kau meneguk airnya dan menyeruput isinya. Kita duduk bersisian. Aku di kiri dan kau di kanan. Sesekali aku melihatmu makan kemudian tersenyum.
Tuhan, bolehkah aku menjadi air kelapa muda saja?
Lama kita singgah di pondokan kecil itu. Bersama belasan bocah, tiga biji kelapa muda, dan suka cita yang berenang bersama itik-itik di permukaan danau.
Kau terlihat sangat menikmati. Niscayanya tiap pejalan, tentu tiap perjumpaan dengan hal-hal baru adalah perayaan. Pun diriku, aku menikmati. Walau pondokan itu tempat yang sering kusinggahi, namun hari itu, ada kebahagiaan lain yang datang bersama hembusan angin Poco Dedeng, pegunungan yang menyanggah danau itu.
Gadis, bisakah kita berpacaran saja?
***
Tepian danau adalah tempat yang membetahkan. Bersamamu, tak ada kehendak untuk pulang. Inginnya waktu berjalan apa adanya saja, dan kita melewatinya berdua bersama rasa senang hingga petang.
Namun, kita harus pulang. Balik ke Labuan Bajo dan membawa pulang ingatan. Tentang nyanyian bersama Danau dan itik-itik yang mengapung di permukaan. Tentang dedaunan kelapa yang menari menunjuk awan-awan nakal. Â Tentang jumpaku denganmu yang ku tak tahu akan berakhir seperti apa. Tentang perasaan yang mulai berubah rupa.
Sepanjang jalan pulang, disiram hujan yang membuat kuyup, aku bermain bersama banyak pertanyaan.
Kau, membuat senyumku bersembunyi di balik helm yang basah. Â Perasaan riangku bermain bersama genangan-genangan air sepanjang jalan. Dan pada aspal jalanan, aku hanya berharap, kau dan aku menjadi pejalan yang bahagia. Namun aku sedikiti marah, kau tidak juga memelukku. Kau menggemaskan.
Gadis, .tidakkah kau tau, dingin sebab hujan itu butuh kehangatan?