Pagi masih muda. Ame Lalong baru saja usai sarapan. Nasi putih dengan lauk daging rusa bakar. Daging rusa kiriman keluarga Ine Lalong, istrinya, di gunung. Kakak laki-laki Ine Lalong memang jago berburu rusa. Tiapkali mendapat buruan, pasti beberapa dendeng dagingnya dikirim untuk Ame Lalong sekeluarga. Kadang juga lengkap dengan tanduknya. Dan Ame Lalong menjualnya ke turis. Sebagai balasan, jika di gunung sudah paceklik buruan, Ame Lalong akan mengirimi keluarga istrinya itu berikat-berikat ikan kering.
Pagi itu, seuai sarapan, Ine Lalong langsung ke sawah. Melihat-lihat padi yang mulai menguning juga melihat sayur-mayur yang ditanam dikebun kecil dekat selokan. Ame Lalong tak ikut. Ia sudah bersiap dengan Honda Revo-nya untuk mutar-mutar Labuan Bajo. Musim Kemarau begini, Labuan Bajo banyak turis. Siapa tau ada yang hendak ke Lembor, Danau Sano Nggoang, atau Cunca Rami. Sekali jalan PP sudah bisa membelikan jilbab bagus untuk Ine Lalong dan susu untuk Lalong, anaknya yang masih kecil. Apalagi kalau turis, kadang bayarnya lebih. Walau kadang juga ada yang pelit. Jangan pikir Ame Lalong pintar bahasa Inggris, apalagi Bahasa Jerman. Setiap transaksi dengan turis selalu menggunakan bahasa isyarat saja. Kadang juga turis yang dia antar sudah bisa menyebut angka ratusan dan ribuan dalam bahasa Indonesia. Naluri tukang ojek bertemu dengan turis yang membutuhkan tumpangan terpercaya.
Ia pun menghidupkan mesin Revonya. dari kampungnya di seberang Wae Mese, menyusuri jalan poros menuju Labuan Bajo. Memasuki kampung Wae Mata, Ia perlahan melaju motornya. Tiap ada orang yang berdiri di pinggir jalan, ia berteriak,
"Ojek,,..?"
Begitu seterusnya sepanjang jalan.
Di perempatan Wae Kesambi, lampu merah menyala. Ia dilema. Antara terus ke arah Kantor Bupati, lalu terus ke Kantor DPRD atau belok kanan ke arah kantor-kantor pemerintahan daerah lainnya, atau belok kiri, ke arah SMP Negeri 1 Komodo, lalu belok kanan ke Bandara Komodo atau terus ke Pelabuhan lalu ke Pantai Pede?
"Ah pagi-pagi begni belum jam pulang kantor. Di kantor Bupati, DPRD, mana ada penumpang", Ame Lalong bergumam.
Lampu perempatan menyala kuning. Ame Lalong belum punya keputusan. Lampu hijau. Dan Ame Lalong akhirnya memilih belok kiri. Tapi kini tujuannya ada dua. Ke Bandara atau Pelabuhan lalu terus ke Pantai Pede?
"Ah, bandara jam segini mana ada pesawat turun. Lagian mana ada penumpang pesawat mau naik ojek? Atau sekedar melihat perkembangan pelebaran bandara?", ia kembali berdialog dengan pikirannya.
Ia ingat, beberapa minggu terakhir Bandara kecil itu kini tengah diperlebar. Kabar yang ia dengar dari Pak Frans, tetangga rumahnya yang mengajar di Sekolah Menengah Industri Pariwisata (SMIP) Labuan Bajo, bandara itu diperlebar menyambut Sail Komodo. Supaya pesawat besar seperti Garuda bisa masuk. Sekarang Labuan Bajo sudah jadi perhatian pusat juga dunia. Pintu masuk ke Pulau Komodo, yang beberapa waktu lalu masuk satu dari tujuh keajaiban dunia kategori alam. Dan masih menurut pak Frans, Sail Komodo akan dilakasanakan minggu depan. Presiden SBY akan datang. Banyak turis.
Revo Ame Lalong terus melaju. Sesekali ia berteriak ke orang2 dan juga bule-bule yang berjalan kaki.
"Ojek..?"
Tak ada jawaban.
Di perempatan penurunan dari SMPN 1 Komodo, ia memilih jalan terus. Kini tujuannya jelas. Menuju TPI, dermaga Feri, dermaga Pelni, menyusuri jalanan kota lama yang banyak bule lalu terus ke Pantai Pede.
"Jika sepanjang perjalananan tak ada juga penumpang, ia akan mutar lagi. Siapatau ada, dan langsung carter ke Ruteng", begitu hatinya bergumam.
Kini ia melewati pertigaan kantor TNK, belok kanan, melewati sekolah Mts dan Aliyah Negeri yang kini sudah memiliki gedung sendiri. Beberapa tahun lalu, Aliyah Labuan Bajo masih menggunakan gedung MTs. Kini sudah memiliki gedung sendiri dan sudah menjadi Alyah Negeri.
Di tikungan, tepat di kaki puncak Waringin, ia berhenti sejenak. Ini tempat spesial. dari sini kota lama labuan bajo dan dermaga/pelabuhan terlihat cantik jauh dibawah sana. Juga beberapa kapal berlayar. Kapal-kapal diving para turis juga terlihat parkir jumawa. Fery yang baru tiba dari Bima-Sumbawa baru hendak merapat ke Dermaga.
"Labuan Bajo, kini banyak berubah. Semakin maju. Sudah ada pelabuhan Pelni. Dulu sewaktu merantau ke Ujung pandang, Kapal Tilong Kabila hanya sampai ditengah, lewat sedikit Pulau Monyet. Semua penumpang harus menggunakan perahu motor untuk bisa ke kapal. Mulut perahu motor bercium dengan tanggal kapal. Penumpang berebutan naik. Riuh dan sesak. Tak jarang tas dan beras karungan jatuh ke laut tanpa bisa ditolong", Ame Lalong mengenang masa awal perantauannya.
Ame Lalong menoleh ke kiri. Tepat sebelum tikungan. Sebuah hotel kecil. Dengan papan nama Bahasa Inggris lengkap dengan gambar Komodo.
"Dulu, tempat ini juga masih hutan. Kini ada hotel. Ah, Labuan bajo kini sudah banyak hotel. Puluhan. Dan tiap hari penghuninya bule-bule semua"
Lalu Ame Lalong mendongak ke atas. Lereng Puncak waringin. Sudah berdiri vila-vila disana. Menatap dermaga dari sana tentu sangat indah.
Ame Lalong kembali menatap dermaga dibawah sana. Jauh ia menatap. Pulau-pulau kecil jauh disana. Ia pernah dengar, beberapa pulau kecil itu sudah dibeli bule. Ada juga dikontrak selama sekian puluh tahun. Lalu bulenya memasang bendera negaranya di tengah pulau itu dan melarang nelayan Labuan bajo menangkap ikan disekitarnya.
"Tapi ah, itu kan kabar-kabari. Obrolan dirumah-rumah kalau musim hujan"
Puas berisitirahat dan menatap dermaga, Ame Lalong melanjutkan perjalanan.
Ia melewati TPI, kampung kuliner Ujung. Tenda-tenda warung kuliner berdiri sepi. Tiap malam ditempat ini ramainya bukan main. sepanjang jalan warung-warung yang menjual aneka sea food dan gorengan ramai pengunjung.
Ikan bakar segar menjadi primadona. Lalu gorengan, jus, kopi, dan banyak lagi.
Beberapa kali Ame Lalong dan beberapa teman ojeknya nongkrong disalahsatu tenda disitu. Menyeruput kopi sambil melihat orang-orang.
Ada bule banyak dan orang-orang kaya, mahasiswa yg tengah pulang libur dr makassar, jogja, mataram, Bali, dan Jakarta. semuanya membentuk grup-grup kecil di masing-masing tenda warung.
Ia terus berjalan, melewati dermaga fery. Dermaga lama yang sudah puluhan tahun melayani penumpang yang menyebrang ke Sape, Pulau Sumbawa dan sebaliknya. Dulu waktu SMA di Bima, Ame Lalong menjadi pelanggans setia fery penyebrangan. Jarang ia beli tiket. Sampai didalam kapal, ia bernego dengan petugas pemeriksa karcis. Paling dikasih lima ribu untuk beli rokok.
Melewati dermaga Fery, revonya terus melaju. Kini ia menyusri Jl Soekarno-Hatta, kota lama Labuan Bajo. Gerbang pelabuhan pelni juga sudah lewat.
Sepanjang Jalan soekarno-Hatta, disisi kiri-kanan jalan, ada banyak tourism informatioin center. Tempat informasi diving ke Pulau Komodo dan beberapa pulau di sekitarnya, info tracking ke Gunung Mbeliling, Danau sano Nggoang, info desa Wisata ke Wae Rebo, batu Cermin, dan banyak lagi. Dijaga dan dilayani guide-guide. Ada juga anak SMIP yang praktek. Selain tourism info center, juga ada tempat kursus diving, ah, pokonya lengkaapppp. Juga hotel2 kecil, penginapan, restoran, dans sejenisnya. Papan nama sepanjang jalan ini, bau bule semua. Bahasa Inggris. Hanya satu dua dalam bahasa Indonesia. jangan harap dalam bahasa Manggarai. Bule-bule berkeliaran keluar masuk. Berseliweran sepanjang jalan. Ada yang berpakaian jeans dan oblong, ada juga yang hanya mengenakan tank top dan kaos tanpa lengan.
Menyusuri sepanjang Jalan soekarno-Hatta di kota lama, serasa menonton gambar2 bergerak dalam film-film luar negeri.
bersambung................
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H