Selamat Tahun Baru 2025
Tahun baru kali ini, aku berencana menghabiskan liburan di Jakarta. Sejak gagal merantau di kota itu dua puluh tahun yang lalu, aku belum pernah lagi menginjakkan kakiku di ibu kota negara Indonesia itu. Setelah berembuk dengan anak dan istri berkaitan dengan persiapan materi dan siapa yang harus menjaga rumah selama kami pergi, akhirnya kami memutuskan untuk naik kereta api. Sebenarnya, sejak Tol Jakarta-Surabaya selesai dibangun lima tahun yang lalu, jarak kedua kota besar di Pulau Jawa tidak lagi terasa sangat jauh. Namun, aku sudah terlalu tua untuk menyetir mobil selama 8 jam nonstop. Soal rumah, kami memutuskan untuk menyuruh Aisyiah, tetangga yang biasa membantu urusan kebersihan rumah.
Kami segera membagi tugas. Aku menugaskan Alang, anak sulungku untuk mencari enam tiket kereta api jurusan Surabaya-Jakarta. Aku tekankan kepadanya: kelas ekonomi. Dan uangnya minta ke ibumu. Tugas Afrizal, anak keduaku, menghubungi omnya, Om Memed, yang bekerja sebagai kontraktor di Jakarta agar menyiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan kami berenam. Sedang tugas Hanifa dan Naura adalah membantu ibunya menyiapkan tas, pakaian, makanan kecil, dan minuman yang akan kami bawa besok.
Baru juga hendak  pergi untuk mengambil uang di ATM, si sulung menelepon.
"Pak, mau pilih yang berangkat pukul berapa?"
"Paling pagi pukul berapa?"
"Pukul 06.00, Pak. Ada dua kereta. Argo Bromo Anggrek dan Merapi Indah."
"Yang kelas ekonomi apa?"
"Merapi Indah, Pak."
Aku tidak segera mengambil keputusan. Dari situs resmi KAI aku mengetahui bahwa dalam 24 jam ada 20 kereta api dari Stasiun Pasar Turi yang berangkat ke Jakarta, yang berarti hampir setiap jam ada kereta. Setelah selesainya pembangunan double track rel kereta, jarak tempuh Surabaya-Jakarta rata-rata hanya sekitar 7 jam.. Artinya jika kami berangkat pukul 06.00, kami akan tiba di Jakarta pukul 13.00. Jadi ada waktu istirahat 4 jam, sebelum nanti kami memaksa Om Memed memandu kami berkeliling Jakarta pada sore harinya. Â Â
"Bagaimana, Pak?"
"Ya, ambil yang Merapi Indah, Pastikan dulu: kelas ekonomi!"
"Sudah pasti, Pak. Ini saya di depan out let penjualan karcis online di dekat Maymart."
"Ok. Ambil!"
Anak-anakku termasuk generasi yang tidak beruntung karena tidak sempat menyaksikan kehebohan naik kereta api. Mereka tidak merasakan kebanggaan karena berhasil masuk kereta lewat jendela di tengah-tengah berjubelnya orang-orang yang hendak masuk dan keluar pintu kereta dalam waktu yang bersamaan. Mereka tidak sempat merasakan keasyikan main kucing-kucingan dengan masinis kereta akibat naik tanpa tiket.Â
Mereka juga tidak punya kesempatan dirayu para calo yang menggunakan segala macam cara agar tiketnya laku terjual. Mereka juga tak akan pernah tahu kehiruk-pikukan barisan para pengasong dan pencopet yang menyerbu gerbong kereta saat memasuki stasiun. Itu semua adalah masa lalu. Aneh, memang jika aku justru merindukan masa-masa itu.
Barangkali, sekali-kali seseorang memang butuh petualangan. Apa tantanganya jika untuk membeli tiket kereta api orang hanya tinggal memasukkan hurup dan angka lalu kemudian tiket keluar sendiri semacam itu? Itu pun ada di hampir semua tempat dan tanpa harus ngantri. Bayangkan kegigihan angkatan kami yang harus antri mulai Subuh dan loket baru dibuka 20 menit karcis sudah habis. Bayangkan untuk dapat mudik dan balik selama  lebaran kami harus pesan karcis 2 bulan sebelumnya.Â
Itu pun tak ada jaminan bahwa kami akan dapat tempat duduk sesuai nomor yang tertera di tiket. Kalaupun dapat tempat duduk masih untung. Yang paling sering, kursi itu sudah diduduki orang lain dan kita tidak bisa mengusirnya. Yang pertama karena kasihan, yang kedua, ini yang paling sering, karena takut.
      Setelah salat Subuh, kami segera berangkat ke Stasiun Turi.  Mobil tua yang sudah menemani keluarga kami selama 10 tahun saya bawa. Nanti akan kami parkir di tempat parkir bawah tanah yang ada di stasiun agar tidak kehujanan dan kepanasan biar tidak ngadat nantinya.
Begitu memasuki pelataran stasiun, mata kami disambut dengan keramahan petugas pintu masuk stasiun, kebersihan lingkungan, keindahan taman, dan lampu warna-warni yang menyejukkan hati. Â Beberapa calon penumpang dan petugas KAI tampak keluar dari mushola yang indah dan luas usai melaksanakan salat subuh. Tempat parkir di depan stasiun sangat luas dan tertata rapi dengan garis-garis lajur yang teratur dan menjanjikan keamanan, tapi kami memilih parkir di ruang bawah tanah saja karena kami berencana akan meninggalkan si tua kurang lebih tiga hari.
Papan nama stasiun tampak gagah dalam warna putih hitam dikemas secara mewah di atas pintu masuk stasiun. Di depan stasiun tampak berjajar gerai-gerai penjual makanan dan minuman yang tertata rapi. Ada juga di tempat itu beberapa ATM dan 3 buah mesin pencetak boarding pass karcis dengan papan informasi yang jelas di dekatnya. Â Si sulung segera menuju ke salah satu mesin tersebut. Ia menempelkan satu persatu lembaran tiket pada bagian bar code. Setelah memastikan data yang tertera di layar monitor sesuai, ia segera memencet tombol print. Tak lama kemudian ia melambaikan enam kertas warna merah keemasan kepada kami.Â
Dengan ramah petugas memeriksa boarding pass dan kartu keluarga yang kami tunjukkkan. Setelah semua beres, petugas tersebut mempersilakan kami memasuki peron yang menurut aku bukan sebuah peron kereta api, tapi lobby sebuah hotel. Kursi-kursi empuk dalam balutan sofa mewah tampak berderet famaliar berselang-seling dengan pot berisi bunga krisan. Dari pengeras suara terdengar musik instrumentalia yang diselang-seling dengan suara lembut wanita yang mengumumkan berbagai informasi tentang kereta yang akan masuk dan akan keluar stasiun.
Tepat pukul 05.45 kereta api kami sudah memasuki jalurnya. Petugas memberi tahu agar para penumpang jurusan Surabaya, Pasar Turi -- Jakarta, Gambir segera memasuki kereta. Dengan tertib para penumpang memasuki gerbong kereta. Beberapa petugas tampak membantu para penumpang yang repot dengan barang bawaannya. Petugas yang lain membantu penumpang difabel memasuki gerbong melalui pintu khusus bagi penyadang cacat tubuh. Sebelum memasuki gerbong aku sempat menghitung seluruh rangkaian kereta: 9 gerbong penumpang,, 2 gerbong restoran, 1 gerbong pembangkit kistrik, dan 1 gerbong mushola.
Begitu masuk ke gerbong, kami disambut dengan kenyamanan AC central dan interior didesain yang menggunakan alumunium extruction pada atap dan bagian atas gerbong. Ada juga gordin dan sun shading pelindung dari silau sinar matahari dengan warna yang serasi dengan warna dinding dan kursi kereta. Di tiap gerbong dilengkapi enam televisi dengan siaran yang berasal dari TV kabel berlangganan. Layaknya pesawat, bagian atas kursi juga dilengkapi laci penyimpanan tas, lampu baca dan colokan di tiap kursi yang diset 2-2 itu. Ada juga CCTV di masing-masing gerbongnya. Pada saat melewati toilet yang terbuka sedikit, aku sempat melihat toilet jongkok dan wastafel berwarna hijau muda dan tampak bersih.
      Kami berenam duduk di deretan yang berurutan dan semuanya menghadap ke depan. Aku dan ibunya anak-anak paling depan,  Naura dam Afrizal di tengah, serta Hanifa dan Alang paling belakang. Kursinya sangat empuk dan bisa dirotasi serta diatur kemiringannya. Biar pun joknya dari kulit imitasi tapi tampak berkelas dan terasa nyaman saat menyentuh kulit tubuh.
Tepat pukul 06.00 PPKA memberikan aba-aba Reglemen 3 sebagai semboyan 40 yaitu dengan cara mengangkat tongkat besi berukuran pendek dengan ujung terdapat plat lingkaran berwarna hijau. Kepala Kondektur membalas isyarat itu dengan meniup peluit panjang. Setelah itu terdengar  suara klakson lokomotif yang terdengar nyaring dan panjang yang dibunyikan oleh masinis kereta. Kami pun meninggalkan Stasiun Turi Surabaya menuju Jakarta.
Belum juga lima menit kereta api berangkat dari arah restoran keluar secara beriringan petugas yang berseragam mirip pramugari pesawat sambil mendorong meja saji. Hebat, ada wellcome drink, batinku. Memang benar, pramugari yang cantik-cantik itu menawarkan minuman apa yang ingin kami inginkan untuk membuka hari ini. Aku memilih kopi dan cemilan berupa kacang mete. Istriku dan anak-anakku memilih teh dan kue kering. Kami meletakkan cangkir kopi dan piring plastik kecil  itu dengan cara membuka tatakan yang terletak di bagian belakang kursi di depan kami. Tatakan itu cukup kuat, bahkan untuk meletakkan laptop di atasnya.
Belum juga kopi dan cemilan habis, petugas lain membagikan bantal dan selimut. Â Aku tidak hendak tidur dan kursi sudah cukup empuk dan nyaman untuk aku duduki dan meletakkan punggungku. Tapi AC central di kereta ini lebih ingin dari AC di rumah kami dan siapa tahu aku nanti ngantuk di perjalanan. Akhirnya selimut yang tebal dan lembut dan bantal empuk bermotof batik itu aku terima dengan senang hati.
Aku masih terjaga saat kereta api memasuki melewati Lamongan, Babat, Bojonegoro, Cepu, Randublatung, dan Ngrombo. Kuisi waktu dengan membaca novel lawas Alexander Dumas, The Count Of Monte Cristo. Perubahan sistem bantalan rel yang mengadopsi Belanda membuat laju kereta terasa nyaman dan mulus hampir tanpa hentakan apalagi lonjakan.Â
Mulus lus. Belum lagi AC yang senyaman udara di pegunungan. Aku tak menghiraukan televisi yang sedang  menayangkan film Hollywood terbaru dari HBO. Tahu-tahu aku sudah tertidur . Aku tak tahu ketika kereta melewati Semarang, Weleri, Pekalongan, Tegal, Cirebon, dan Bekasi. Ketika bangun, tahu-tahu aku sudah sampai di Stasiun Gambir, Jakarta.  Dari jendela kereta aku melihat balon udara milik sebuah bank negera bergoyang ditiup angin di Lapangan Monas. Pada ekor balon tersebut terdapat tulisan sangat besar: Selamat Tahun Baru 2025.
Kajen, 24 September 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H