Mohon tunggu...
Fiksiana

Selamat Tahun Baru 2025

22 September 2017   21:57 Diperbarui: 22 September 2017   22:22 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ya, ambil yang Merapi Indah, Pastikan dulu: kelas ekonomi!"

"Sudah pasti, Pak. Ini saya di depan out let penjualan karcis online di dekat Maymart."

"Ok. Ambil!"

Anak-anakku termasuk generasi yang tidak beruntung karena tidak sempat menyaksikan kehebohan naik kereta api. Mereka tidak merasakan kebanggaan karena berhasil masuk kereta lewat jendela di tengah-tengah berjubelnya orang-orang yang hendak masuk dan keluar pintu kereta dalam waktu yang bersamaan. Mereka tidak sempat merasakan keasyikan main kucing-kucingan dengan masinis kereta akibat naik tanpa tiket. 

Mereka juga tidak punya kesempatan dirayu para calo yang menggunakan segala macam cara agar tiketnya laku terjual. Mereka juga tak akan pernah tahu kehiruk-pikukan barisan para pengasong dan pencopet yang menyerbu gerbong kereta saat memasuki stasiun. Itu semua adalah masa lalu. Aneh, memang jika aku justru merindukan masa-masa itu.

Barangkali, sekali-kali seseorang memang butuh petualangan. Apa tantanganya jika untuk membeli tiket kereta api orang hanya tinggal memasukkan hurup dan angka lalu kemudian tiket keluar sendiri semacam itu? Itu pun ada di hampir semua tempat dan tanpa harus ngantri. Bayangkan kegigihan angkatan kami yang harus antri mulai Subuh dan loket baru dibuka 20 menit karcis sudah habis. Bayangkan untuk dapat mudik dan balik selama  lebaran kami harus pesan karcis 2 bulan sebelumnya. 

Itu pun tak ada jaminan bahwa kami akan dapat tempat duduk sesuai nomor yang tertera di tiket. Kalaupun dapat tempat duduk masih untung. Yang paling sering, kursi itu sudah diduduki orang lain dan kita tidak bisa mengusirnya. Yang pertama karena kasihan, yang kedua, ini yang paling sering, karena takut.

            Setelah salat Subuh, kami segera berangkat ke Stasiun Turi.  Mobil tua yang sudah menemani keluarga kami selama 10 tahun saya bawa. Nanti akan kami parkir di tempat parkir bawah tanah yang ada di stasiun agar tidak kehujanan dan kepanasan biar tidak ngadat nantinya.

Begitu memasuki pelataran stasiun, mata kami disambut dengan keramahan petugas pintu masuk stasiun, kebersihan lingkungan, keindahan taman, dan lampu warna-warni yang menyejukkan hati.  Beberapa calon penumpang dan petugas KAI tampak keluar dari mushola yang indah dan luas usai melaksanakan salat subuh. Tempat parkir di depan stasiun sangat luas dan tertata rapi dengan garis-garis lajur yang teratur dan menjanjikan keamanan, tapi kami memilih parkir di ruang bawah tanah saja karena kami berencana akan meninggalkan si tua kurang lebih tiga hari.

Papan nama stasiun tampak gagah dalam warna putih hitam dikemas secara mewah di atas pintu masuk stasiun. Di depan stasiun tampak berjajar gerai-gerai penjual makanan dan minuman yang tertata rapi. Ada juga di tempat itu beberapa ATM dan 3 buah mesin pencetak boarding pass karcis dengan papan informasi yang jelas di dekatnya.  Si sulung segera menuju ke salah satu mesin tersebut. Ia menempelkan satu persatu lembaran tiket pada bagian bar code. Setelah memastikan data yang tertera di layar monitor sesuai, ia segera memencet tombol print. Tak lama kemudian ia melambaikan enam kertas warna merah keemasan kepada kami. 

Dengan ramah petugas memeriksa boarding pass dan kartu keluarga yang kami tunjukkkan. Setelah semua beres, petugas tersebut mempersilakan kami memasuki peron yang menurut aku bukan sebuah peron kereta api, tapi lobby sebuah hotel. Kursi-kursi empuk dalam balutan sofa mewah tampak berderet famaliar berselang-seling dengan pot berisi bunga krisan. Dari pengeras suara terdengar musik instrumentalia yang diselang-seling dengan suara lembut wanita yang mengumumkan berbagai informasi tentang kereta yang akan masuk dan akan keluar stasiun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun