Sudah gelap di luar, senja berganti menjadi nuansa hitam yang cukup pekat disini. Aku dan Solihin keluar mencari hewan moluska sebagai pengisi perut malam hari. Solihin mulai berceloteh kembali tentang masalah organisasi dan partai, aku sangat muak, tapi emosi masih berada dalam jarak kendali. Kau mau berkoar apa lagi Hin?
Air di bawah kami terlihat mengkilap terkena sapuan rembulan yang gamang , di atas sana apakah akan terjadi seperti di bawah, di bumi yang kusinari ketika kegelapan muncul?
Sementara aku terbuai memperhatikan gerak alam ini, Solihin terus berbicara, hampir sayup sayup karena posisinya tak di dekatku persis, ada 200 meter. Ada kayu yang teronggok, sepertinya kayu ini masih cukup keras kalau kalau aku memerlukan menghantam kepala Solihin, jika ia tak henti berbicara. Sedang asyik mencungkil cungkil remah tanah di balik bebatuan siapa tau siput kecil ada bersembunyi di baliknya, baguslah, setidaknya harus beginilah cara hidupku , aku tak keberatan walau harus begini bertahun tahun. Aku saja, sendirian, ditemani lelap gelap alam ini, aku tak ingin ada cahaya yang menganggu tenteramku, disini aku bisa membangun cangkang sendiri, apalah, atau untuk apa sajalah, hidup seperti ini sungguh, jika kita benar benar menghayati, sangat nyaman. Sampailah aku dikejutkan pada suara renyah Solihin, renyah sekaligus ingin sekali kuremuk, lagi lagi ia menganggu teduh yang sedang kubuat, lagi lagi ia menyeruak masuk ke dalam khayal yang lagi, baru kurajut untuk menghalau masa lalu yang absurd. Tiba tiba, lagi lagi, menarikku paksa ke dalam dunianya yang masih nyata ada di benaknya, yang mana sudah kuanggap sebagai dunia yang fantastis saja, tak lebih, tidak lagi urat nadiku, semangat hidupku.
'Bran, kapan kemarin itu ya... aku baca secuplik terbitan ilegal partai kita, sepertinya diedarkan oleh kawan kawan Jawa Tengah, mereka masih membuka kontak dengan kawan dari Trenggalek. Tahu apa yang membuatku senang? mereka masih menyimpan senjata! benar Bran, Senjata!'
'Jadi mereka menemukan sebuah gedung yang sepertinya sudah ditinggalkan tak terpakai, tadinya mereka hanya ingin beristirahat di tempat itu, tapi mereka tercengang menemukan di dalamnya.... senjata! sepertinya itu senjata senjata tua seperti Thompson M1A1, MG42, M1911 colt, Bazooka! , Bren gun, Mitraliur, dan entah apa lagi aku lupa. Kebetulan salah satu dari mereka, seingatku namanya... Fendi, ia mencantumkan namanya di terbitan itu, menjalin kontak dengan kawan CDB Jawa Tengah. Dan mengabarkan berita baik ini.'
Solihin. Pemuda yang berapi api, pemuda yang berani menerobos rentetan kerabin, tapi, dia tak tahu apa yang sedang dialaminya sekarang, ia tak tahu, dan siapapun juga yang bersemangat sepertinya tak tahu, masa apa yang sedang terjadi, masa depan sudah tak ada lagi, kalaupun ada, ia hanya seperti kentang yang direbus matang, tapi ketika dimakan... gampang sekali dilumat.
***
Aku memasukkan moncong pistol ke dalam mulut. Di sebelahku, Solihin, yang kugantung sebelumnya, dan sudah kulukai kulitnya, di atas perutnya, kubuat simbol palu arit. Lambang kejumawaan kami di masa lalu. Bagiku, baginya, Solihin, kubuat abadi, semangat tempurnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H