Mohon tunggu...
Bob Martokoesoemo
Bob Martokoesoemo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Konsep yang abstrak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Mengalir Darah

2 Mei 2012   01:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:51 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti tak dialiri darah, wajahnya pucat seketika, seperti ada tali tambang yang mengerat di lehernya, tak mampu menarik napas untuk mengisi leher dan kepalanya dengan mengedarkan arus darah pembantu hidup. Ia jatuh terduduk dari kursi tempatnya duduk. Beberapa saat ia berbincang denganku, beberapa menit kemudian dari saat itu kutinju muka dan segenap pemikiran bebalnya, perasaannya yang dingin, tak kuat menahan sarafnya yang lemah, tetapi fisiknya masih mampu menutupi saraf yang sebenarnya sudah tak dapat menolerir berbagai peristiwa tegang yang banyak dilaluinya, diselesaikannya. Baru setelah matanya terpejam menahan sakit dengan wajah yang putih semua, memucat, hidungnya seperti mati rasa, akhirnya mengeluarkan darah yang cukup kental, lagi merah.

'Enak kan? enak ya Hin? bagaimana, kau mau lagi? kau bangsat! coro!' Aku menuju ke arahnya, mengepalkan tanganku, sempat juga terpikir mengambil kursi yang dipakainya duduk tadi dan menghantam itu kepala bodohnya.

Pemuda itu, Akhmad Solihin. asalnya dari Trenggalek. Usianya 20 tahun, 3 tahun lebih muda dariku. Aktif di Pemuda Rakyat dari 3 tahun lalu ketika lulus sekolah menengah.

'Stop Bran! beginikah perlakuanmu terhadap kawanmu dari jauh?! aku cuma sounding mengenai rencana kawan kawan Trenggalek yang masih hidup, masih sisa, untuk mengangkat senjata lagi yang masih berjejer rapi di sudut gudang itu, memang kita tak tahu itu gudang dan itu senjata milik siapa, tapi bisa kita manfaatkan untuk.....' . Sebelum itu aku sudah menghantam lagi kepalanya, pukulanku bersarang di pelipisnya. Dan ia terjerembab, memucat, cukup beberapa menit. Dan muncrat darah dari pelipisnya.

Aku Sobran, buruh dari daerah Tarik-Sidoarjo. Aku mengenal Solihin 2 tahun lalu, ketika organisasi kami mengadakan rakornas DPW pemuda rakyat di Surabaya. Ketika itu ia mewakili cabang Trenggalek. Suaranya cukup lantang memprotes kebijakan pusat yang mengekor pada pimpinan elit nasional di Jakarta. Aku ditarik sebagai panitia waktu itu, dan ketika istirahat sehabis makan siang, mau merokok di dekat danau, Solihin juga merokok disitu rupanya. Disitulah kami berkenalan.
Melihat Solihin terjerembab, aku tergoda untuk menghantamnya lagi dan lagi. Muka muka seperti dia ini pantas untuk dihantam, guna mencairkan kepalanya dari keras jargon usang "Revolusi!'. Revolusi yang kami sembah dan setiap hari kami beri sesajen agar ia senantiasa membakar sanubari kami sudah mati. Sekarang tahun 1967, masa perburuan. Kami diburu buru hingga, kalau bisa, sampai ke lubang kubur yang sudah kami masuki. Mengambil mayat kami dan menggantungnya bersama mayat revolusi yang sudah membusuk. Tapi Solihin masih bersikeras mengangkat senjata, waktu ia tadi mau mengucapkan 'Revolusi" sudah kuhantam pelipisnya duluan. Kepalanya harus dibersihkan dari darah revolusinya yang sudah kotor. Kuakui, sudah tercemar, bahkan beberapa kawan sudah bisa menganalisis bahwa revolusi ini telah tercemar, tak ada lagi revolusi, cuma tinggal jargon revolusi. Pada 1965, revolusi ketahuan telah mengidap kanker serius
'Apa mau kau bilang?! revolusi, hah! buang jauh jauh tai kucing yang kau simpan di kepalamu itu dan lihatlah kenyataan sekarang, bahkan kita tak tahu sekarang kita ada dimana! dan dimana kau lihat gudang itu, apakah itu nyata atau kau hanya berhalusinasi, jawab Hin! ' aku betul betul sudah meradang padanya.

***
Ketika itu, 1965, pada awal bulan, sampai dua bulan selanjutnya kotaku masih cukup tenteram, maksudnya kami belum sepenuhnya percaya pada peristiwa yang terjadi di Jakarta itu, memang pernah kami dengar tetapi sayup sayup dan kupikir hanya intrik belaka. Demikian kukatakan di konferensi partai yang diadakan untuk menyikapi kabar tentang peristiwa pembunuhan 7 jenderal di Jakarta, agar semuanya tetap tenang sampai turun pernyataan sikap  dari komite sentral (tai). Tensi politik tak memanas di kota kami, musuh musuh partai kami, Masjumi, maupun angkatan darat tak banyak cingcong atau berusaha mengonfrontir terhadap kami. Hingga suatu hari, tanggal 16 Desember 1965. Kamidin, sekretaris Seksi Comite kabupaten Sidoarjo, ditangkap gerombolan massa bertopeng saat sedang makan di warung nasi, siang hari yang tenang. Keesokan harinya, mayatnya tergeletak di depan kantor Seksi Comite kabupaten Sidoarjo. Mulai momen itu, ketenteraman di tempat kami terganggu, bhatara kala datang untuk menginjakkan kakinya di dalam liang ketenangan kami. Kader kader kocar kacir, organisasi hancur berantakan tak terurus, berkas berkas penting tercecer tak jelas. Kantor Pemuda Rakyat yang pertama tama diserang gerombolan massa yang menembaki dari luar. Sudiro, kawanku, sekaligus ketua cabang Tarik-Sidoarjo. Diseret keluar setelah baku tembak dengan massa, bahunya tertembak dan ia roboh. Waktu itu aku sedang berada di lantai dua dan akan turun untuk membantu kawan kawan di lantai satu, kulihat Sudiro roboh dan aku ingin memapahnya.

' Tinggalkan aku, Bran. Bawa pistolmu dan angkat kaki dari sini. Ini bukan salah kita, ini salah revolusi yang goblog itu.' Keadaannya sudah semakin mencemaskan. 'Bran pergilah kau ke barat, siapa tau kau bisa bertemu kawan kawan disana, Slamet, Donklo, Sufendi, sudah kuperintahkan lari duluan, mereka membawa hasil konferensi kita kemarin, susul saja mereka!'. Sambil matanya membelalak, kemudian Sudiro mendorongku sampai aku terjatuh jauh, aku meludahinya dan kabur lewat jendela belakang yang kacanya sudah pecah berantakan. Aku tak langsung pergi jauh dari situ, tapi bersembunyi dulu di sesemakan 500 meter dari kantor. Kemudian kontak senjata berhenti, aku lihat mereka masuk ke dalam kantor, mencari apakah ada yang masih tersisa hidup. Menembakkan pistol pada badan kawan kawanku yang tergeletak untuk memastikan mereka sudah mati. Aku merasa geram, tapi sekaligus puas,  mendapat tontonan segar di tengah adegan peperangan dan aku terangsang melihat belasan kawanku ditembaki. Dan mereka menemukan tubuh Sudiro, ia masih hidup tapi tak ditembak seperti kawan kawan lain. Mereka menyeret keluar Sudiro dengan menarik kakinya. Setelah itu gelap. Aku tak melihat lagi Sudiro. Aku berjalan ke arah barat, seperti disarankan Sudiro.

***

Sudah bulan ke 5 aku bertempat dalam gubuk di tengah hutan bakau di daerah Kedung Peluk ini. Semenjak peristiwa penyerangan kantor organisasiku, aku terus saja berjalan, pikiranku tak takut apalagi badanku, ditambah lagi aku juga masih membawa pistol untuk berjaga jaga. Sungguh ramai sekali situasi sekarang, golongan golongan yang kami namakan kontrarevolusioner mengamuk di seantero negeri, akhirnya kampungku juga tak pelak terkena badai. Pabrikku bahkan dibakar karena disinyalir banyak anggota SOBSI yang berkerumun. Baiklah, mereka kontrarevolusioner, tapi kini kuanggap mereka revolusioner karena mereka menumpas pejuang pejuang revolusi yang usang, yang mengutak atik revolusi itu sampai nasib kami, kader kader, seperti sekarang ini. Revolusi itu juga sering dilakukan ketika pengganyangan pengganyangan terjadi waktu organisasi dan partai kami masih berjaya jayanya, seragam loreng dan topi baret kotak kotak menjadi atribut yang ditakuti di daerah tempat kami menancapkan kuku. Matahari sama panasnya dengan pergerakan kami mengganyang musuh musuh rakyat, seringkali dengan cara yang melecehkan. Sampai disitu pola pikir serta metodeku semakin jauh dari praktek umum dan teori organisasi dan partai dan junjungan besar komunisme Marx dan Lenin. Aku banyak berbicara di forum forum partai selaku ketua departemen agitasi dan propaganda agar melunakkan pelaksanaan garis partai kita yang 'keras' , seperti angin kotor yang berlalu, berlalu juga suaraku di kuping kawan kawan. Maklumlah mereka sedang gencar gencarnya memanaskan suhu politik tanah air, khususnya daerah mereka sendiri. Kini kemana para corong hidup itu? bersembunyi bersama bangkai babi hutan? bah! kalau saja aku mempunyai kegiatan pengalih perhatian, apa mungkin yang total dapat menyedot seluruh perhatianku maka sudah kutinggalkan itu jabatan ketua departemen agitasi dan propaganda, lebih baik aku jadi opas pos daripada menjalankan mesin partai yang sudah berkarat lagi bobrok!

***

Dan selama berjalan 4 hari aku tidak banyak menemui kesulitan yang berarti, semua bisa selesai kuancam dengan pistol , yang di dalamnya cuma tersisa satu peluru, kalau mendesak bisa kupakai untuk menembak kepalaku sendiri. Atau kepala Solihin, sempat aku ingin berbuat itu pada suatu malam melihatnya mengetuk ngetuk jendela gubuk,

'Tolonggg sayaa,, kamu Sobran kan di dalamm... tolong aku bran, aku lapar, aku haus, aku mau masukk brannn' rintihnya.

Tadinya aku tak akan menghiraukan, walau aku juga tak takut, tapi demi mendengar namaku dipanggil penasaranku terbit juga siapa gerangan manusia di luar. Kubuka pintu dan ia langsung masuk, tubuhya kotor sekali, campuran darah dan debu dari jalanan, sekujur badan basah dan, busana yang melekat tinggal sepotong celana pendek hitam. Ia telanjang dada dan telanjang kaki, aku tak mengenalinya.

'Siapa kau? kau kelihatan kacau sekali aku sampai tak mengenalimu, kawan' tanyaku.

'Kau sungguh lupa aku Bran? kawanmu sedang susah begini dan kau bisa melupakannya? aku tak heran.' peduli setan, pikirku.

'Sudah, cepat katakan siapa kau,' aku mengeluarkan pistol yang kuselipkan di celana, 'atau kau merasakan ini' , ancamku.

'Baik kalau begitu, main senjata kau pada kawan sendiri, aku Akhmad Solihin, Pemuda Rakyat dari Trenggalek, kita bertemu di rakornas Surabaya 2 tahun lalu.'

Aku menerawang sejenak, apa betul aku pernah mengenal anak ini, seandainya betul bagaimana ia dapat mengenalku? peristiwa beberapa hari ini agak membuat memoriku berlesatan.

'Lalu bagaimana kau dapat mengetahui aku berada disini?'

'2 hari lalu aku mencapai Sidoarjo dari tempatku, beberapa kali aku berganti identitas di tempat tempat yang aku singgahi, maklum aku banyak beragitasi propaganda di trenggalek, hampir semua orang pernah mengenaliku. Minimal melihatku berpidato, kawan kawan muda baik yang komunis atau bukan juga banyak berkawan denganku, ternyata banyak diantara mereka juga menjadi coro, bersedia menjadi antek angkatan darat demi menyelamatkan diri, huh dasar coro!'

'Lalu, untuk apa kau ke Sidoarjo? apa kawan kawan masih tersisa disana?' aku tak menyelipkan pistolku, tetap kubiarkan siaga di tanganku.

'Ya, aku mencari kawan Sudiro di kantor Seksi Comite, kantor itu sudah menjadi kuburan orang orang cina sekarang, apa kau juga sempat kesitu, Bran?'

'Bodoh kau, jelas saja, aku terjebak disitu, kantor bertahan kebetulan kami masih punya simpanan senjata dari jaman perang. Sudiro mati.'

'Sudiro?! jelas jelas aku bertemu dengannya, wah ia sudah lebih gemuk sekarang, bersih pula penampilannya, pakai seragam hijau, gagah sekali. Begitulah seharusnya seorang pimpinan, hehehe. '

Ia terkekeh dan hampir saja aku menekan pelatuk ini, namun aku masih bisa menjawab,

'Jadi Sudiro masih hidup? aku lihat terakhir ia dibawa keluar oleh AD, bagaimana ia bisa sampai hidup? menjadi coro, begitu?'

'Tidak Bran, Sudiro bukan coro, hanya ia lebih hijau sekarang, pikirannya masih revolusioner karena ia bilang ia memakai seragam karena persoalan taktis. Ya, aku mengakui setiap pimpinan itu mempunyai maksud dan tujuan baik!'

'Begitu ya? baik, mending kau membersihkan dirimu dulu dan aku akan cari makanan di hutan. Oh satu lagi, apa Sudiro memberitahumu aku berada disini, seingatku ia hanya menyuruhku pergi ke barat, apa kau bertemu Slamet atau yang lainnya?'

'Ya, akupun coba coba menuju barat menurut Sudiro, aku tak menemui Slamet ataupun yang lain, memang ada 2 gubuk kecil lain begitu kulihat di dalam ada mayat mayat, dan dua pistol di sebelah mereka, bunuh diri sepertinya. Namun aku tak tahu siapa mereka, kader yang putus asa.'

'Lebih baik dibandingkan kader yang masih tinggal tapi menjual kepalanya sendiri, masih lebih revolusioner mereka yang mengakhiri kehidupannya sendiri, mungkin kau beranggapan mereka menyerah terhadap dialektika kehidupan, tapi mereka mengerti mereka juga punya kuasa terhadap urat nadinya sendiri, melihat kenyataan yang berbanding terbalik dengan kebudayaan komunis yang dilekatkan pada mereka!'

Di dalam gubuk ada lampu petromaks kecil yang nyalanya bagaikan nyawa yang sekarat, karena itu aku tak bisa melihat wajah Solihin tapi aku masih mampu mengamati gerak geriknya. Solihin berdiri melepas celananya yang lengket dan berbau amis darah, bersiap untuk membersihkan diri.

'Oh ya Hin, dari gubuk kau tuju arah selatan, tidak jauh ada sumber air yang masih bersih, kau bisa berendam disitu. Nih sabun colek, pakailah, daripada tak ada sama sekali.' imbuhku.

***

Sudah gelap di luar, senja berganti menjadi nuansa hitam yang cukup pekat disini. Aku dan Solihin keluar mencari hewan moluska sebagai pengisi perut malam hari. Solihin mulai berceloteh kembali tentang masalah organisasi dan partai, aku sangat muak, tapi emosi masih berada dalam jarak kendali. Kau mau berkoar apa lagi Hin?

Air di bawah kami terlihat mengkilap terkena sapuan rembulan yang gamang , di atas sana apakah akan terjadi seperti di bawah, di bumi yang kusinari ketika kegelapan muncul?

Sementara aku terbuai memperhatikan gerak alam ini, Solihin terus berbicara, hampir sayup sayup karena posisinya tak di dekatku persis, ada 200 meter. Ada kayu yang teronggok, sepertinya kayu ini masih cukup keras kalau kalau aku memerlukan menghantam kepala Solihin, jika ia tak henti berbicara. Sedang asyik mencungkil cungkil remah tanah di balik bebatuan siapa tau siput kecil ada bersembunyi di baliknya, baguslah, setidaknya harus beginilah cara hidupku , aku tak keberatan walau harus begini bertahun tahun. Aku saja, sendirian, ditemani lelap gelap alam ini, aku tak ingin ada cahaya yang menganggu tenteramku, disini aku bisa membangun cangkang sendiri, apalah, atau untuk apa sajalah, hidup seperti ini sungguh, jika kita benar benar menghayati, sangat nyaman. Sampailah aku dikejutkan pada suara renyah Solihin, renyah sekaligus ingin sekali kuremuk, lagi lagi ia menganggu teduh yang sedang kubuat, lagi lagi ia menyeruak masuk ke dalam khayal yang lagi, baru kurajut untuk menghalau masa lalu yang absurd. Tiba tiba, lagi lagi, menarikku paksa ke dalam dunianya yang masih nyata ada di benaknya, yang mana sudah kuanggap sebagai dunia yang fantastis saja, tak lebih, tidak lagi urat nadiku, semangat hidupku.

'Bran, kapan kemarin itu ya... aku baca secuplik terbitan ilegal partai kita, sepertinya diedarkan oleh kawan kawan Jawa Tengah, mereka masih membuka kontak dengan kawan dari Trenggalek. Tahu apa yang membuatku senang? mereka masih menyimpan senjata! benar Bran, Senjata!'

'Jadi mereka menemukan sebuah gedung yang sepertinya sudah ditinggalkan tak terpakai, tadinya mereka hanya ingin beristirahat di tempat itu, tapi mereka tercengang menemukan di dalamnya.... senjata! sepertinya itu senjata senjata tua seperti Thompson M1A1, MG42, M1911 colt, Bazooka! , Bren gun, Mitraliur, dan entah apa lagi aku lupa. Kebetulan salah satu dari mereka, seingatku namanya... Fendi, ia mencantumkan namanya di terbitan itu, menjalin kontak dengan kawan CDB Jawa Tengah. Dan mengabarkan berita baik ini.'
Solihin. Pemuda yang berapi api, pemuda yang berani menerobos rentetan kerabin, tapi, dia tak tahu apa yang sedang dialaminya sekarang, ia tak tahu, dan siapapun juga yang bersemangat sepertinya tak tahu, masa apa yang sedang terjadi, masa depan sudah tak ada lagi, kalaupun ada, ia hanya seperti kentang yang direbus matang, tapi ketika dimakan... gampang sekali dilumat.

***

Aku memasukkan moncong pistol ke dalam mulut. Di sebelahku, Solihin, yang kugantung sebelumnya, dan sudah kulukai kulitnya, di atas perutnya, kubuat simbol palu arit. Lambang kejumawaan kami di masa lalu. Bagiku, baginya, Solihin, kubuat abadi, semangat tempurnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun