Mohon tunggu...
Bobby Triadi
Bobby Triadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis sambil tersenyum

Lahir di Medan, berkecimpung di dunia jurnalistik sejak tahun 1998 dan terakhir di TEMPO untuk wilayah Riau hingga Desember 2007.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menggunakan Hukum sebagai Senjata Politik

30 Mei 2014   20:58 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:56 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_326467" align="aligncenter" width="419" caption="illustrasi (rimanews.com)"][/caption]

Hukum tak ubahnya sama dengan politik, memerlukan strategi dan skenario untuk memperoleh kemenangan. Hukum juga butuh strategi dan skenario, untuk menetapkan orang yang bersalah menjadi tidak bersalah atau yang tidak bersalah menjadi tidak bersalah. Maaf kalau saya salah secara teori, tapi secara prakteknya hal tersebut sudah menjadi sebuah hal biasa saja terjadi.

Untuk itu, penegak hukum butuh menyusun skenario dengan merangkul dan mencoba mempengaruhi saksi-saksi agar mau ikut serta dalam proses penyusunan dan penulisan skenario sebuah sandiwara hukum. Mengumpulkan bukti-bukti, baik itu terkait atau dikait-kaitkan. Namun, yang namanya skenario sebuah sandiwara manusia tak selalu berjalan sempurna. Itulah yang kita kenal dengan kata kalah dan menang dipengadilan.

Dalam hukum, bisa saja yang salah menjadi menang dan bisa juga yang tidak bersalah menjadi kalah. Dalam hal ini, posisi hakim hanya sehelai rambut dibelah tujuh dengan kata dosa. Timbangan hukum dengan gampangnya oleng ke kiri atau pun oleng ke kanan, posisi hukum untuk keadilan sangat sulit didapatkan.

Demikianlah gambaran singkat, bahwa hukum sangat rentan dipergunakan sebagai senjata yang dipergunakan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan.

Hukum Sebagai Senjata Politik Kekuasaan

Di era Orde Baru, hukum dipergunakan oleh kekuasaan untuk membungkam setiap orang yang berani berdiri berseberangan dengan sikap politik pemerintahan yang sedang berkuasa. Pasal subversif dijadikan senjata untuk menghakimi orang-orang yang memiliki pemahaman berbeda dengan penguasa, dianggap membahayakan dan juga musuh negara. Hasilnya, ratusan orang dibui dengan label Tahanan Politik (Tapol) oleh pengadilan yang tunduk kepada keinginan penguasa.

Ketika pemerintahan Orde Baru runtuh dan kekuasaan berpindah tangan ke pemerintahan warga sipil, Presiden B.J. Habibie, semua Tapol dan Napol pun dibebaskan dipenghujung tahun 1998. Sejak saat itu, istilah Tapol pun sudah menjadi kenangan masa lalu yang kelam.

Tapi benarkah saat ini sudah tidak ada lagi Tapol? Benarkah tidak ada lagi orang yang harus meringkuk di tahanan akibat berbeda pandangan atau berseberangan politik dengan mereka yang berkuasa?

Istilah Tapol mungkin saja telah usang, dan pasal subversif pun secara formal sudah dianggap tidak lagi ada di era yang penuh kebebasan seperti sekarang ini. Era Demokrasi, era yang bebas berbicara dan berpendapat tanpa lagi takut diberi gelar musuh negara.

Sejak Indonesia dipimpin kembali oleh kalangan sipil, sejak Habibie hingga Megawaty Soekarnoputri, netralitas hukum nyaris tidak tersentuh oleh campur tangan kekuasaan. Penguasa yang menggunakan hukum untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya.

Dari Era Otoritarian ke Era Demokrasi Setengah Hati

Tahun 2004, Indonesia kembali dipimpin oleh kalangan militer, Jend TNI (Purn.) Susilo Bambang Yudhoyono yang memberikan dirinya label sebagai bapak demokrasi dengan partai yang didirikannya sendiri, Partai Demokrat.

Langgam kepemimpinan SBY tentu jauh berbeda dengan Jend. Besar TNI (Purn.) Soeharto yang diperkenalkan sebagai pemimpin yang otoriter. SBY lebih dikenal dari luar sebagai sosok yang lembut dan santun, seperti majalah yang baru terbit.

Hukum pun kembali seperti 'dikendalikan' oleh kekuasaan, yang mengkritik dan yang berseberangan dengan rezim kembali harus berhubungan dengan hukum.

Aktivis LSM Bendera menjadi korban pertama, Mustar Bonaventura dan Ferdinandus Semaun divonis 7 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang berkeyakinan jika keduanya telah mencemarkan nama baik Tim Sukses SBY-Boediono terkait pernyataan penerimaan aliran dana Bank Century.

Yang menjadi sejarah atas prestasi Presiden SBY adalah dengan dibentuknya tim advokasi pribadi - meski dalam prakteknya tertulis Tim Advokasi Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Keluarga - untuk mensomasi rakyatnya sendiri. Rakyat yang berseberangan dengan keinginan dan kebijakan rezim.

Korbannya adalah Sri Mulyono, aktivis Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) ini dituding telah melakukan pencemaran nama baik melalui tulisannya di kompasiana yang bertajuk "Anas: Kejarlah Daku, Kau Terungkap". Tak hanya Sri Mulyono, Rizal Ramli dan beberapa politisi lainnya juga turut disomasi.

Lalu ada juga Ma'mun Murod Al-barbasy yang disomasi Wamen Hukum dan HAM, Denny Indrayana karena dituding telah mencemarkan nama baiknya terkait ada pertemuan antara Denny, Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK) dan SBY di Cikeas beberapa hari sebelum penahanan Anas Urbaningrum.

Jauh sebelum Sri Mulyono dan Ma'mun Murod, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang kepemimpinanya disebut-sebut tidak diinginkan oleh SBY pun dihabisi dengan sadis.

Tentu masih segar diingatan kita, terpilihnya Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat pada Kongres 2010, membuat “pemilik” partai segera membentuk institusi Majelis Tinggi yang dapat membatasi atau membendung “kewenangan dan pengaruh” Anas di dalam partai.

Sepanjang 2011-2013, telunjuk diarahkan kepada Anas oleh media massa yang disetir pelaku politik besar untuk ramai-ramai menvonis Anas. Ada upaya membangun opini publik yang sangat serius untuk menciptakan sikap antipati masyarakat terhadap Anas, sekaligus mendesak KPK ke pojok ruangan.

Jangan pernah pula dilupakan insiden-insiden purwarupa yang mengantarkan Anas sebagai tersangka.

Ada hasil survei SMRC tanggal 3 Februari 2013, yang membuat petinggi Partai Demokrat kesurupan massal. Sehari kemudian SBY, bak seorang penguasa jagad, memberikan respon “meminta” KPK menuntaskan “kasus” AU: “Kalau memang dinyatakan salah, kita terima memang salah. Kalau tidak salah, kita pingin tahu kalau itu tidak salah,” Sebuah permintaan yang tidak lazim karena hingga detik itu Anas bukanlah terdakwa. Sebuah intervensi politik yang nyata.

Empat hari kemudian, SBY selaku Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, kembali membuat move politik, mengambil alih kewenangan Anas sebagai Ketua Umum. Terdapat dua hal menarik yang mendahului, mengiringi, dan menyertai move SBY ini:

Pertama, adanya draf sprindik KPK tentang status Anas yang bocor (dibocorkan) sebelum adanya gelar perkara, yang terjadi sesaat sebelum pidato SBY, seperti hendak memberi jawaban atas permintaan SBY. SBY meminta, KPK memberi.

Kasus pembocoran ini tidak pernah diungkapkan sejelas-jelasnya, karena ternyata Ketua KPK Abraham Samad tidak pernah bersedia memberikan HP nya untuk diketahui isinya, terkait pembocoran tersebut.

Untuk ukuran KPK, sangat tidak wajar lembaga yang banyak dipuja itu ternyata ikut belepotan dalam kasus Anas. Faktanya, Anas baru menjadi tersangka KPK 2 (dua) minggu setelah kejadian-kejadian aneh tersebut.

Kedua, semua pelaku politik paham bahwa penetapan tersangka Anas terjadi menjelang penetapan Daftar Calon Sementara Legislatif (DCS) untuk Pemilu 2014, yang merupakan tahap paling menentukan dalam arah komposisi partai 5 tahun ke depan. Jelasnya, dengan status tersangka, Anas tidak mungkin lagi menandatangai DCS Caleg Demokrat. Semuanya telah diatur rapi, waktu dan momentumnya.

Sungguh menarik melihat kejadian-kejadian “kebetulan” yang datang beruntun menimpa Anas saat itu. Mungkin kita perlu mengingat kembali ucapan mantan Presiden AS, Franklin D. Roosevelt: “Dalam politik tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, anda dapat bertaruh hal itu pasti direncanakan.”

Setelah Anas ditahan 10 Januari 2014, praktis ia menjadi tawanan politik rezim. Dapat diamati setiap kali ia bersuara keras terhadap sang penguasa, maka KPK akan menambahi atau memberatkan pasal-pasal yang menjeratnya. Seperti ketika KPK menerapkan pasal TPPU kepada Anas, yang jauh panggang dari api. Juga mengada-ada danlebay, seperti dalam penyitaan baju-baju batik milik Anas. Apa yang dicari-cari KPK, dan apa yang dicari-cari Cikeas, kita sama-sama paham.

Dari Demokrasi ke Kriminalisasi Politik

Langgam demokrasi tidak mungkin mengakomodasi istilah tahanan politik, karena kebebasan bersuara dan berkumpul, serta menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik, dijamin oleh konstitusi. Namun sistem ini masih dihuni oleh orang-orang yang kurang lebih sama dengan era terdahulu, terutama dalam memandang perbedaan sikap politik, dan menyikapi lawan politik.

Lalu penguasa-penguasa berjiwa kerdil pun mencari jalan yang lain, mencari-cari kesalahan lawan politiknya, bila perlu hingga ke ujung langit. Ketika lawan politiknya telah menyandang gelar terdakwa kasus pidana, maka lapanglah jalan politik di hadapannya. Soal ini bukan lagi rahasia dinegeri ini.

Kampanye anti korupsi dan memerangi koruptor, menjadi senjata baru bagi penguasa kerdil untuk membungkam lawan-lawan politiknya. Tentu kita harus fair, tidak semua politisi penyandang gelar terdakwa tindak pidana korupsi adalah produk kriminalisasi politik. Sebagian besar malah benar-benar koruptor yang layak dimajukan ke pengadilan. Tetapi ada juga yang benar telah menjadi korban kriminalisasi politik, dan ke arah inilah tulisan ini bermaksud.

Syarat seorang politisi masuk dalam kategori korban kriminalisasi politik, di antaranya adalah adanya ekspektasi dan rivalitas politik yang saling bersinggungan, ada intervensi politik tingkat tinggi, dan adanya upaya menjadikan seseorang sebagai target yang harus kena, melalui usaha mencari-cari kesalahan yang tidak sepadan dengan postur kasus itu sendiri.

Dengan menyandang gelar terdakwa tindak pidana korupsi, seorang subyek politik telah mati langkah. Publik—yang diharu biru oleh kampanye anti korupsi—mencemooh dan menjauhinya, basis politiknya hancur, karir politiknya dikubur hidup-hidup. Apa yang dialami politisi penyandang gelar terdakwa tindak pidana korupsi jauh lebih berat dari tapol di masa lalu. Kriminalisasi politik adalah cara yang lebih canggih dan jauh lebih efektif untuk membunuh lawan-lawan politik.

Mengapa disebut kriminalisasi? Karena motif utama pembidiknya adalah penghilangan lawan politik. Pasal-pasal pidana yang dikenakan dapat dicari-cari. Hukum sibuk mencari-cari dan mengabaikan temuan di depan mata, karena tidak relevan dengan syarat politiknya. Kriminalisasi politik dan tahanan politik dilahirkan oleh ibu yang sama. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun