Mohon tunggu...
Bobby Triadi
Bobby Triadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis sambil tersenyum

Lahir di Medan, berkecimpung di dunia jurnalistik sejak tahun 1998 dan terakhir di TEMPO untuk wilayah Riau hingga Desember 2007.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menggunakan Hukum sebagai Senjata Politik

30 Mei 2014   20:58 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:56 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari Era Otoritarian ke Era Demokrasi Setengah Hati

Tahun 2004, Indonesia kembali dipimpin oleh kalangan militer, Jend TNI (Purn.) Susilo Bambang Yudhoyono yang memberikan dirinya label sebagai bapak demokrasi dengan partai yang didirikannya sendiri, Partai Demokrat.

Langgam kepemimpinan SBY tentu jauh berbeda dengan Jend. Besar TNI (Purn.) Soeharto yang diperkenalkan sebagai pemimpin yang otoriter. SBY lebih dikenal dari luar sebagai sosok yang lembut dan santun, seperti majalah yang baru terbit.

Hukum pun kembali seperti 'dikendalikan' oleh kekuasaan, yang mengkritik dan yang berseberangan dengan rezim kembali harus berhubungan dengan hukum.

Aktivis LSM Bendera menjadi korban pertama, Mustar Bonaventura dan Ferdinandus Semaun divonis 7 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang berkeyakinan jika keduanya telah mencemarkan nama baik Tim Sukses SBY-Boediono terkait pernyataan penerimaan aliran dana Bank Century.

Yang menjadi sejarah atas prestasi Presiden SBY adalah dengan dibentuknya tim advokasi pribadi - meski dalam prakteknya tertulis Tim Advokasi Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Keluarga - untuk mensomasi rakyatnya sendiri. Rakyat yang berseberangan dengan keinginan dan kebijakan rezim.

Korbannya adalah Sri Mulyono, aktivis Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) ini dituding telah melakukan pencemaran nama baik melalui tulisannya di kompasiana yang bertajuk "Anas: Kejarlah Daku, Kau Terungkap". Tak hanya Sri Mulyono, Rizal Ramli dan beberapa politisi lainnya juga turut disomasi.

Lalu ada juga Ma'mun Murod Al-barbasy yang disomasi Wamen Hukum dan HAM, Denny Indrayana karena dituding telah mencemarkan nama baiknya terkait ada pertemuan antara Denny, Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK) dan SBY di Cikeas beberapa hari sebelum penahanan Anas Urbaningrum.

Jauh sebelum Sri Mulyono dan Ma'mun Murod, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang kepemimpinanya disebut-sebut tidak diinginkan oleh SBY pun dihabisi dengan sadis.

Tentu masih segar diingatan kita, terpilihnya Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat pada Kongres 2010, membuat “pemilik” partai segera membentuk institusi Majelis Tinggi yang dapat membatasi atau membendung “kewenangan dan pengaruh” Anas di dalam partai.

Sepanjang 2011-2013, telunjuk diarahkan kepada Anas oleh media massa yang disetir pelaku politik besar untuk ramai-ramai menvonis Anas. Ada upaya membangun opini publik yang sangat serius untuk menciptakan sikap antipati masyarakat terhadap Anas, sekaligus mendesak KPK ke pojok ruangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun