Mohon tunggu...
Bobby Triadi
Bobby Triadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis sambil tersenyum

Lahir di Medan, berkecimpung di dunia jurnalistik sejak tahun 1998 dan terakhir di TEMPO untuk wilayah Riau hingga Desember 2007.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menggunakan Hukum sebagai Senjata Politik

30 Mei 2014   20:58 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:56 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan pernah pula dilupakan insiden-insiden purwarupa yang mengantarkan Anas sebagai tersangka.

Ada hasil survei SMRC tanggal 3 Februari 2013, yang membuat petinggi Partai Demokrat kesurupan massal. Sehari kemudian SBY, bak seorang penguasa jagad, memberikan respon “meminta” KPK menuntaskan “kasus” AU: “Kalau memang dinyatakan salah, kita terima memang salah. Kalau tidak salah, kita pingin tahu kalau itu tidak salah,” Sebuah permintaan yang tidak lazim karena hingga detik itu Anas bukanlah terdakwa. Sebuah intervensi politik yang nyata.

Empat hari kemudian, SBY selaku Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, kembali membuat move politik, mengambil alih kewenangan Anas sebagai Ketua Umum. Terdapat dua hal menarik yang mendahului, mengiringi, dan menyertai move SBY ini:

Pertama, adanya draf sprindik KPK tentang status Anas yang bocor (dibocorkan) sebelum adanya gelar perkara, yang terjadi sesaat sebelum pidato SBY, seperti hendak memberi jawaban atas permintaan SBY. SBY meminta, KPK memberi.

Kasus pembocoran ini tidak pernah diungkapkan sejelas-jelasnya, karena ternyata Ketua KPK Abraham Samad tidak pernah bersedia memberikan HP nya untuk diketahui isinya, terkait pembocoran tersebut.

Untuk ukuran KPK, sangat tidak wajar lembaga yang banyak dipuja itu ternyata ikut belepotan dalam kasus Anas. Faktanya, Anas baru menjadi tersangka KPK 2 (dua) minggu setelah kejadian-kejadian aneh tersebut.

Kedua, semua pelaku politik paham bahwa penetapan tersangka Anas terjadi menjelang penetapan Daftar Calon Sementara Legislatif (DCS) untuk Pemilu 2014, yang merupakan tahap paling menentukan dalam arah komposisi partai 5 tahun ke depan. Jelasnya, dengan status tersangka, Anas tidak mungkin lagi menandatangai DCS Caleg Demokrat. Semuanya telah diatur rapi, waktu dan momentumnya.

Sungguh menarik melihat kejadian-kejadian “kebetulan” yang datang beruntun menimpa Anas saat itu. Mungkin kita perlu mengingat kembali ucapan mantan Presiden AS, Franklin D. Roosevelt: “Dalam politik tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, anda dapat bertaruh hal itu pasti direncanakan.”

Setelah Anas ditahan 10 Januari 2014, praktis ia menjadi tawanan politik rezim. Dapat diamati setiap kali ia bersuara keras terhadap sang penguasa, maka KPK akan menambahi atau memberatkan pasal-pasal yang menjeratnya. Seperti ketika KPK menerapkan pasal TPPU kepada Anas, yang jauh panggang dari api. Juga mengada-ada danlebay, seperti dalam penyitaan baju-baju batik milik Anas. Apa yang dicari-cari KPK, dan apa yang dicari-cari Cikeas, kita sama-sama paham.

Dari Demokrasi ke Kriminalisasi Politik

Langgam demokrasi tidak mungkin mengakomodasi istilah tahanan politik, karena kebebasan bersuara dan berkumpul, serta menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik, dijamin oleh konstitusi. Namun sistem ini masih dihuni oleh orang-orang yang kurang lebih sama dengan era terdahulu, terutama dalam memandang perbedaan sikap politik, dan menyikapi lawan politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun