Hari-hari ini beredar kabar yang menghebohkan dunia pendidikan Indonesia. Tak tanggung-tanggung, tujuh guru besar Universitas Hasanuddin mundur.
Dalam surat pengunduran diri yang tersebar luas di media sosial dan akhirnya juga di media massa, alasan pengunduran diri tujuh guru besar tersebut adalah karena merasa martabat mereka dilecehkan dengan tuntutan oknum pengurus kampus untuk meluluskan seorang mahasiswa "titipan".
Dilansir tribunnews, tujuh Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unhas ramai-ramai mengundurkan diri dari program studi jenjang S3.
Tujuh guru besar Unhas yang mundur dari prodi S3 FEB itu adalah Prof Dr Mahlia Muis, Prof Dr Muhammad Asdar, Prof Dr Haris Maupa, Prof Dr Cepi Pahlevi, Prof Dr Siti Haerani, Prof Dr Idayanti Nursyamsi, dan Prof Dr Idrus Taba.
Tujuh Guru Besar Unhas itu mengeluhkan intervensi oknum pengurus kampus yang memaksa mereka meluluskan seorang mahasiswa yang sama sekali tidak layak lulus.
Betapa tidak, mahasiswa yang konon adalah pejabat tersebut tidak pernah masuk kuliah dan tidak pernah mengerjakan tugas. Anehnya, justru oknum pengurus kampus meminta pada para dosen agar meluluskan mahasiswa bermasalah tersebut.
Upaya pertahankan martabat pendidikan Indonesia
Mundurnya tujuh guru besar FEB Unhas ini adalah sebuah upaya mempertahankan martabat pendidikan di Indonesia tercinta. Kita tahu, sejak lama rendahnya mutu pendidikan Indonesia menjadi sorotan.
Menurut edurank.org, dua universitas teratas Indonesia, yakni Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada ternyata hanya berada di peringkat 92 dan 122 di Asia.Â
Lebih miris lagi, kedua universitas papan atas Indonesia itu hanya berada pada posisi 568 dan 694 di dunia.Â
Pemeringkatan oleh edurank ini cukup sahih karena edurank menilai berdasarkan reputasi, kinerja penelitian, dan dampak alumni. Lembaga ini memproses 843 ribu kutipan yang diterima oleh 446 ribu publikasi yang dibuat oleh 562 universitas di Indonesia, mengukur popularitas 517 alumni yang diakui, dan memanfaatkan database tautan terbesar yang tersedia untuk menghitung keunggulan non-akademik tiap universitas.
Jika dua universitas ternama Indonesia saja masih berada di peringkat 500-an dan bahkan (nyaris) 700-an dunia, bisa kita bayangkan berapa peringkat universitas lain di negeri kita ini.
Universitas dan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia memang masih kalah jauh dibandingkan kampus di sejumlah negara tetangga, terutama Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Itu baru soal peringkat akademik saja, belum menyangkut transparansi penyelenggaraan pendidikan yang jujur, aman, dan adil.Â
Cukup sering kita mendengar terjadinya kasus skandal pelecehan seksual oleh dosen dan staf universitas di Indonesia. Yang muncul dalam berita dan yang dilaporkan ke penegak hukum hanya sebagian kecil saja dari fenomena gunung es yang terjadi.
Tambah lagi, perilaku koruptif dan manipulatif yang merongrong martabat pendidikan (tinggi) kita. Termasuk apa yang diduga kuat terjadi di Unhas.
Ada saja universitas di Indonesia yang mengobral gelar kepada pejabat dengan dalih gelar doktor kehormatan (honoris causa), meski sejatinya dampak kiprah yang bersangkutan belumlah kuat.
Ada saja universitas di Indonesia yang menawarkan "jalan tol" bagi mereka yang mampu dan berkuasa untuk meraih gelar akademik dengan mudah.
Potret buram pendidikan Indonesia
Ungkapan "orang miskin dilarang sekolah dan kuliah" benar-benar menjadi kenyataan di sejumlah kasus. Inilah potret buram pendidikan kita, yang harus kita akui dan kita benahi.
Seharusnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Riset Indonesia beserta seluruh pemangku kepentingan mengadakan evaluasi menyeluruh terhadap mutu pendidikan (tinggi) kita.Â
Jangan puas hanya dengan akreditasi "cek borang" yang justru membebani tenaga pendidik secara berlebihan di bidang administrasi. Jangan puas dengan jumlah guru besar, gelar akademik, dan prestasi "abal-abal" di penerbitan karya ilmiah.Â
Semestinya ada tim gagas ide (think tank), sistem pelaporan, dan aturan yang solid di bawah kementerian untuk menyelamatkan nasib pendidikan Indonesia yang ironinya masih dirongrong oknum oportunis dan rakus.Â
Semoga. Salam edukasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H