Hamba merasa terhormat menerima jawaban dari Bu Meti Irmayanti, puan pemuisi dari Sulawesi Tenggara. Bu Meti ingin agar salah satu untaian permata aksaranya, yakni "Apa Yang Membuatmu Kelu" dibedah untuk kita ambil hikmahnya sembari memberi masukan untuk beliau.
Menyelami sebuah puisi itu tidak mudah. Di balik setiap pilihan kata, ada makna yang ingin disampaikan penulisnya. Lebih sulit lagi ketika kita berusaha memahami makna dan konteks sebuah puisi.
Untungnya, Bu Meti menganggit sebuah puisi yang memberikan cukup banyak petunjuk bagi pembacanya untuk memahami arti puisi ini. Ini suatu keunggulan.
Mengapa? Banyak pemuisi (pemula) terjebak dengan diksi yang terlalu kompleks dan aneh sehingga pembaca justru tersesat, tanpa bisa memetik hikmah.
Bedah bait pertama
Bagi saya, puisi ini adalah dialog antara "aku" dan "si penyair berpena pelangi". Ini tampak dalam baris pertama dan kedua:Â
Oh... apa yang membuatmu kelu, wahai penyair berpena pelangi,Â
menyendiri dan gelisah dengan helai kertas yang masih kosong?"
Bu Meti merinci karakter si penyair itu sebagai seorang yang berpena pelangi, sendiri, dan gelisah. Suatu kontradiksi. Ia punya pena sejuta warna, namun gelisah kala tak mampu menggurat satu pun aksara di atas kertas.Â
Baris ketiga dan keempat meneruskan tema baris pertama dan kedua:
pucuk-pucuk pinus telah layu dari padang,
dan tak ada lagi burung yang bernyanyi...
Kali ini Bu Meti memperluas tangkapan indera dengan melibatkan aspek auditif, yakni "tak ada lagi burung yang bernyanyi." Ini contoh puisi yang berhasil membawa pembaca untuk merasakan dengan aneka indera, bukan hanya mata saja.
Suasana sunyi sendiri si penyair berpena pelangi dipertegas dengan lukisan auditif ini. Mantap!Â
Bedah bait kedua
Dan aku ditemani sepotong jingga, masih tinggal disini
sendirian dan berkeliaran menunggu goresan penamu
meskipun dedaunan telah luruh dari dahan
dan burung-burung bangau telah menghilang
Bait kedua ini adalah deskripsi situasi "aku". Sedikit koreksi: penulisan disini seharusnya terpisah, meskipun pemuisi punya licentia poetica untuk tidak selalu menaati kaidah berbahasa standar.
Frasa sepotong jingga mengingatkan saya pada karya-karya Seno Gumira, yang antara lain adalah "Sepotong Senja untuk Pacarku". Mungkinkah Bu Meti terpengaruh Seno Gumira secara langsung atau tidak langsung?Â
Frasa dedaunan telah luruh sangat indah. Biasanya dedaunan gugur. Inilah keterampilan puitis Bu Meti. Ia menggunakan lukisan yang tidak jamak.Â
Makna bait kedua ini adalah penantian "aku" yang ternyata juga sendirian, persis seperti si penyair berpena pelangi. Ini bukti lain keterkaitan bait kedua dan pertama. Tidak semua penulis piawai menghubungkan bait dan paragraf. Bu Meti sudah berhasil!
Bedah bait ketiga
Sepi menggumam, malam merindu terpecah
dalam dadaku mengalun syahdu sepercik doa
menarik menari seluruh aku, menengadah
meski pintu telah terbuka, tapi aku enggan pergi
Bait ketiga ini adalah bait pamungkas yang menjadi akhir puisi. Bu Meti berhasil menyajikan dengan indah.Â
Frasa sepi menggumam adalah majas personifikasi. Pula malam merindu. Penggunaan dua majas personifikasi secara berurutan menambah intensitas personifikasi dalam baris ini.Â
Perhatikan frasa sepercik doa. Doa itu biasanya kata-kata, bukan percikan. Tetapi bagi pemuisi dari Sulawesi Tenggara, doa itu air yang menyejukkan kalbu. Dalam KBBI, percikan bermakna "titik-titik air dan sebagainya yang memercik".
Kebetulan saja, saya sedikit mengenal Bu Meti sehingga saya merasa cukup percaya diri mengaitkan puisi ini dengan kehidupan beliau.Â
Sebagai seorang muslimah, tentu Bu Meti akrab dengan keterkaitan antara air wudu dan ibadah salat lima waktu. Mungkin dari sinilah muncul frasa sepercik doa itu.Â
Dari tradisi keagamaan yang sama, tampaknya bersumber frasa menarik menari seluruh aku, menengadah. Mungkin yang dimaksud dengan menari seluruh aku ini adalah gerakan tubuh saat menjalankan salat. Ya, gerakan tubuh kala sembahyang ibarat sebuah tarian indah, bukan?
Meski puisi ini kiranya berlatar belakang tradisi keagamaan Islam, puisi ini nyatanya adalah bahasa universal nan indah bagi siapa pun pembacanya.Â
Termasuk saya, yang bukan seorang beragama Islam. Ya, puisi adalah bahasa cinta untuk seluruh makhluk Tuhan YME.
Sangat sering, pemuisi dan penyair menulis karya indah mengenai agama lain yang bukan agamanya! Saya yakin, pembaca bisa menyebutkan beberapa contoh.
Juga puisi religi tertentu bisa sangat menyentuh hati pemeluk agama dan kepercayaan lain. Jadi, jangan ragu membagikan puisi bertema atau berlatar belakang religi tertentu kepada pembaca umum.Â
Tentu dengan semangat toleransi dan dikemas dengan apik, seperti karya Bu Meti ini.Â
Salah satu puisi bersahaja hamba pun sejatinya berlatar Alkitab, namun kiranya berterima di hati pembaca umum. Silakan baca: Tuhan Memang Romantis.
Akhirulkalam
Saya, bukan pujangga, mencoba menulis balasan puisi Apa Yang Membuatmu Kelu (Meti Irmayanti) dengan sebaris puisi:
"Kepadamu, Puan Pualam"
Kepadamu, puan pualam perenda aksara di kelam malam
penyair berpena pelangi meniup serunai pengganti kalam
melantunkan mazmur-mazmur syukurÂ
mantra penenang jiwamu nan abadi dalam tafakur
***
Ruang Berbagi, 21 Februari 2022
Terima kasih dari lubuk hati untuk Bu Meti Irmayanti. Beliau setakat ini telah menganggit 379 karya di Kompasiana. Salah satu karya yang jadi Artikel Utama adalah Pipis di Celana Gara-Gara Pantun. Unik dan menarik!
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H