Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Saat Mengabarkan Berita Kematian Seseorang, Sebaiknya Jangan Lakukan 4 Hal Ini

22 Desember 2021   14:26 Diperbarui: 23 Desember 2021   10:44 1817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebaiknya jangan lakukan 4 hal ini saat mengabarkan berita kematian-Photo by Rhodi Lopez on Unsplash

Aku ingin hidup seribu tahun lagi. Demikian kata Chairil Anwar dalam puisi "Aku". Akan tetapi, manusia mustahil hidup seribu tahun. Apalagi orang Indonesia yang rerata harapan hidupnya pada tahun 2025 "hanya" mencapai 73,7 tahun menurut Bappenas. Sebagai perbandingan, warga Jerman memiliki harapan hidup mencapai 82,67 tahun pada periode yang sama.

Setiap orang akan meninggal. Nah, saat harus mengabarkan berita kematian seseorang, sebaiknya jangan lakukan 4 hal ini. Apa saja 4 kesalahan yang perlu kita hindari saat mengabarkan kematian seseorang? Adakah etika mengabarkan berita duka?

Pertama, tergesa-gesa mengabarkan kematian seseorang tanpa verifikasi

Berita kematian memang sangat menyentuh perasaan kita sehingga kita jadi kurang menggunakan rasio. Tak jarang, kita meneruskan begitu saja berita kematian seseorang yang kita dapat di grup medsos atau dari orang lain, tanpa memverifikasi dahulu.

Kita jadi malu ketika ternyata orang yang kita beritakan wafat ternyata masih sehat. Bahkan, kesalahan ini bisa merusak relasi kita dengan pribadi dan keluarga yang bersangkutan.

Cara paling aman adalah meneruskan berita kematian setelah kita mendapatkan kepastian minimal dari dua sumber/dua orang yang bisa dipercaya. Kecuali kalau memang kita menjadi saksi mata kematian seseorang. Itupun ada kemungkinan terjadi mati suri dan atau salah diagnosis dokter- yang meski langka, bisa saja terjadi. 

Jika yang dikabarkan meninggal itu tokoh publik, cek dulu di media tepercaya seperti Kompas.com. Salah memberitakan kematian tokoh publik bisa membuat kita, maaf, tampak kurang terdidik dalam literasi media. 

Belum lagi jika kekeliruan kita itu menyinggung perasaan fan base artis atau tokoh publik terkait. Wah, gawat. Jemari warganet bisa lebih kejam dari pembunuhan. 

Cara terbaik adalah dengan menyertakan utas (link) berita media tentang kematian artis atau tokoh publik tersebut. 

Kedua, kurang cermat dengan nama yang sama tapi orangnya beda

Cukup sering terjadi, beberapa kenalan kita punya nama yang sama. Misalnya saja, kita punya dua teman bernama Sidia Sudahwafat. Nah, tiba-tiba kita dapat kabar dari seseorang bahwa Sidia Sudahwafat baru saja meninggal. 

Kita mengira, Sidia Sudahwafat itu teman SMP kita. Padahal yang meninggal itu Sidia Sudahwafat yang lain. Wah, kacau kan. Karena itu kita perlu cermat memastikan mana yang sudah meninggal dari beberapa orang yang namanya sama. 

Jujur, tanpa menyinggung siapa pun, cukup banyak orang Indonesia yang bernama "pasaran". Nah, cara terbaik untuk memastikan adalah dengan meminta juga foto orang yang dikabarkan meninggal. Atau, merinci informasi agar jelas siapa orang yang dimaksud. 

Ketiga, menelepon kontak dengan telepon almarhum

Beberapa waktu lalu seorang sahabat kehilangan ayah tercintanya. Berita lelayu ayahnya segera menyebar. Tidak ada yang salah sampai ketika sahabat ini beberapa hari setelah wafatnya ayahnya, menghubungi sebagian (besar) kontak yang ada di handphone almarhum ayahnya dengan cara menelepon.

Bayangkan, apa reaksi para penerima telepon yang tiba-tiba melihat nama penelepon di layar itu orang yang sudah meninggal dunia beberapa hari lalu. Apalagi ketika menerima telepon di malam hari atau saat sendirian. 

Wah, ada yang bergidik ngeri dan tidak berani menerima panggilan telepon itu. Ada juga yang curiga bahwa si penelepon adalah penipu yang sudah mengambil alih nomor almarhum. 

Tujuan sahabat ini tentu baik, yaitu memastikan kenalan almarhum ayahnya tahu bahwa ayahnya sudah meninggal. Mungkin juga menanyakan, apakah masih ada utang-piutang dengan almarhum. 

Masalahnya adalah cara yang dia pilih untuk mengabarkan berita kematian itu, yaitu dengan cara menelepon.

Padahal, bisa saja dengan menulis pesan dan atau merekam pesan suara (voice note) dengan keterangan: pesan ini ditulis NN, kerabat almarhum. Atau, berita lelayu dalam bentuk foto/dokumen. 

Keempat, mengumbar informasi pribadi yang sensitif

Tidak jarang kita secara tidak sadar mengumbar informasi pribadi yang sensitif mengenai orang yang meninggal dunia. Yang paling fatal adalah menyebarkan kartu identitas almarhum(ah) dan bahkan foto orang meninggal tanpa sensor dan tanpa izin. Ini cenderung terjadi kala ada kecelakaan dan bencana. 

Sebenarnya hanya pihak berwajib yang boleh menyebarkan informasi berupa data pribadi (orang yang meninggal) itu. Itupun ada tata caranya, tidak sembarangan saja. 

Informasi medis adalah hak privasi seseorang, juga yang sudah meninggal - Photo by National Cancer Institute on Unsplash
Informasi medis adalah hak privasi seseorang, juga yang sudah meninggal - Photo by National Cancer Institute on Unsplash

Sebagian warga Indonesia juga belum memahami bahwa informasi medis adalah hak privasi seseorang, juga yang sudah meninggal. Tidak patut kita menyebarkan informasi pribadi almarhum(ah) terkait penyakitnya, yang bisa saja adalah hal sensitif. 

Kecuali bahwa informasi itu kita sampaikan seizin keluarga almarhum(ah) atau karena sudah menjadi pengetahuan umum (misal kematian artis atau karena bencana/kecelakaan yang diberitakan media). 

Saya pun ketika mendapat berita duka (orang yang tidak sungguh dekat) tidak lantas terlalu ingin tahu dengan bertanya, "Meninggal karena sakit apa ya?" 

Kerabat dan sahabat yang berduka tidak perlu kita bebani dengan pertanyaan kepo semacam itu. 

Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung siapa pun yang mungkin pernah melakukan kesalahan atau mengalami kesalahpahaman saat memberitakan berita lelayu. 

Salam hangat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun