Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tiga Kejanggalan Tambang Emas di Sangihe, Jangan Bilang Semua Oke

9 Juni 2021   06:12 Diperbarui: 9 Juni 2021   06:19 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca berita terkini seputar kegiatan pertambangan emas di Pulau Sangihe, kita semua sangat merasa prihatin. Bagaimana mungkin selama ini banyak kalangan, termasuk pemerintah dan aparat penegak hukum seolah menutup mata akan tragedi lingkungan ini?

Dilansir kompas 21 April 2021, lebih dari setengah kawasan Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, telah dinyatakan sebagai wilayah pertambangan emas milik sebuah perusahaan tambang. Gabungan 25 ormas di Kepulauan Sangihe menolak eksploitasi terhadap pulau mungil nan asri ini. PT tambang tersebut diberi hak menambang emas dan tembaga di enam kecamatan selama 33 tahun ke depan.

Dampak pertambangan bagi ekosistem Sangihe

Aneka media massa memberitakan dampak pertambangan emas bagi ekosistem Sangihe. Tambang emas yang wilayah kontraknya mencakup separuh Pulau Sangihe berpotensi merusak habitat asli  burung seriwang sangihe yang lazim dinamai oleh warga lokal sebagai manu' niu.

Seriwang sangihe yang terancam tambang emas | Dok Burung Indonesia
Seriwang sangihe yang terancam tambang emas | Dok Burung Indonesia
Seriwang sangihe sempat dinyatakan punah, sebelum ditemukan kembali keberadaannya sekitar 20 tahun silam. Di alam bebas, burung endemik khas Sangihe ini hanya tersisa 34 hingga 119 individu. Demikian hasil riset Survei Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia atau yang lebih popular sebagai Burung Indonesia pada 2014 lalu.

Tak hanya seriwang sangihe, ada pula sembilan ragam burung endemik lainnya yang habitatnya di kawasan hutan lindung Gunung Sahendaruman, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, yang juga ikut terancam pertambangan emas.

Karakteristik Sangihe sebagai pulau rawan gempa dan bencana membuat fasilitas pengolahan limbah berpotensi bocor. Jika kebocoran ini terjadi, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kerusakan ekologis yang ditimbulkannya.

Selain itu, area pertambangan emas dan tembaga sejatinya adalah kawasan di mana puluhan sungai berhulu. Menggali dan merusak tatanan alam di Sangihe berarti merusak sumber air bersih bagi manusia dan alam sekitar. 

Saya mengajak pembaca untuk menyimak pula dua tulisan reportase rekan penulis di Kompasiana mengenai keindahan dan potensi arkeologi Pulau Sangihe. Silakan baca Kum-kum Burung Si Burung Langka Sangihe dan Lebbing, Budaya Benda Peninggalan Purba di Sangihe. 

Dua reportase tersebut menegaskan bahwa Sangihe bisa dimanfaatkan secara lestari melalui wisata satwa dan wisata arkeologi, bukan melalui penambangan berskala besar yang akan merusak alam.

Aneka kejanggalan izin tambang emas dan tembaga di Sangihe

Jika kita teliti, ada aneka kejanggalan izin tambang emas dan tembaga di Sangihe ditilik dari peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Berikut ini adalah daftar rangkuman tiga keganjilan izin tambang di Sangihe:

Pertama, Sangihe sebagai pulau kecil semestinya tidak boleh ditambang

Menurut UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K), pulau kecil tidak boleh dijadikan area pertambangan. Luas Sangihe hanya 736,98 kilometer persegi. Luas ini bahkan tidak mencapai separuh dari 2.000 km persegi yang menjadi batas pengategorian pulau kecil.

Kedua, perusahaan tambang mendapat jatah waktu izin operasi di luar ketentuan

Perusahaan tambang mendapatkan izin langsung 33 tahun guna beroperasi di Sangihe. Padahal, kontrak karya hanya bisa diperpanjang dua kali 10 tahun menurut UU No 3/2020.
Artinya, izin operasi maksimal adalah 20 tahun saja, bukan 33 tahun. Sangat ganjil, bukan? Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

Ketiga, perusahaan tambang justru mendapat izin di kawasan yang patut dilestarikan

Dilansir kompas.com. perusahaan tambang justru mendapat izin operasional di kawasan yang patut dilestarikan ekosistemnya. Ada hewan-hewan endemik dan sumber air penting yang wajib dilindungi, juga sebagai pendorong turbin PLTA.

Bagaimana mungkin izin keluar tanpa mempertimbangkan kelestarian alam dan kemaslahatan warga?

Jangan bilang semua baik-baik saja

Ada humor satir tentang negeri kita tercinta ini yang bisa dirangkum dalam satu kalimat padat: "Alangkah lucunya negeri ini". Aturan-aturan hukum tetiba impoten di hadapan pihak-pihak tertentu. Ungkapan "hukum hanya tajam ke bawah" juga kerap menjadi fakta lapangan.

Di tengah tiga keganjilan izin tambang Sangihe yang mencolok mata dan mengusik nurani, janganlah bilang semua oke. 

Cukuplah bermain-main kata dan melempar tanggung jawab. Sekali pertambangan masif merusak keutuhan alam Sangihe, dampaknya akan membekas selamanya dan tidak dapat direstorasi kembali.

Kecuali jika Anda memiliki kantong ajaib ala Doraemon yang bisa mengeluarkan burung-burung endemik yang punah serta menyulap lubang tambang jadi sumur air jernih, janganlah mengusik alam bestari Sangihe. 

Salam lestari. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun