Dalam kehidupan sehari-hari, kita tentu menjumpai aneka insan dengan pilihan hidup masing-masing. Pilihan itu kiranya telah diambil berdasarkan suara hati. Banyak hal dipertimbangkan: ajaran agama, situasi keluarga, ekonomi, dan kesehatan.
Umumya, seorang dewasa akan mencari pasangan hidup guna membangun keluarga bahagia. Meneruskan keturunan. Dalam konteks ajaran agama dan tradisi budaya tertentu, menikah bahkan dipandang sebagai bagian dari ibadah dan norma sosial.
Akan tetapi, nyatanya melajang adalah juga pilihan hidup yang membahagiakan menurut pandangan kelompok dan insan tertentu.
Jika kita kurang membuka wawasan, mungkin saja kita lantas menilai satu-satunya pilihan hidup untuk semua manusia adalah dengan menikah. Nyatanya, di dunia ini ada banyak tradisi agama dan budaya yang tidak selalu memandang pernikahan sebagai suatu kewajiban.
Hidup melajang sebagai pilihan hidup
Sejatinya pandangan mengenai hidup melajang sebagai pilihan hidup sudah ada sejak lama dalam aneka budaya dan peradaban. Tidak selalu terkait dengan agama dan kepercayaan.
Filsuf Stoic Epictetus (55 - sekitar 135 M), misalnya, berpendapat bahwa filsuf yang ideal tidak menikah karena tugasnya akan lebih baik dijalani tanpa harus sibuk mengurusi keluarga.
Selibat atau hidup tidak menikah juga merupakan praktik penting dalam Jainisme di India. Semua biksu Jain bersumpah untuk menghindari hubungan seksual. Kaum awam didorong untuk tidak lagi melakukan hubungan seksual setelah kelahiran seorang putra.
Agama Buddha dimulai sebagai tatanan selibat di India yang didedikasikan untuk pencapaian pencerahan melalui pengendalian nafsu.
Saat Buddhisme menjadi agama yang dikenal di penjuru dunia, variasi muncul. Di Asia Tenggara, kebanyakan pria muda Buddhis hanya menghabiskan satu tahun hidup melajang. Di Tibet, biksu Tantra menikah.
Dalam agama Katolik, misalnya, menikah adalah suatu hal yang dianggap sangat luhur. Akan tetapi, hidup melajang untuk melayani Tuhan secara penuh (selibat) seperti yang dijalani oleh para biarawan, biarawati, dan pastor Katolik (ritus Barat) juga dipandang sebagai pilihan hidup yang mulia.
Demikian pula, pilihan untuk hidup melajang sebagai seorang Katolik yang baik di tengah masyarakat sangat dihargai sebagai hal yang patut dipuji. Karena itu, ada orang Katolik yang menikah, selibat sebagai biarawan/biarawati dan pastor, dan ada pula yang hidup melajang sebagai umat awam.
Kisah seorang wanita lajang
Saya mengenal seorang wanita lajang yang memang menjadikan hidup tidak menikah sebagai pilihan hidupnya. Ia berusia sekitar 3o tahun saat saya bersua dengannya di sebuah panti asuhan putri.
Tina, sebut saja demikian, membaktikan hidupnya untuk menjadi pengasuh anak-anak yatim piatu dan anak-anak miskin di panti itu. Ia dengan sabar merawat anak-anak yang bukan darah dagingnya sendiri.
Beberapa waktu lalu saya kembali menghubungi Tina untuk menanyakan kabarnya. Ia mengatakan, ia sudah tidak bekerja di panti asuhan putri. Akan tetapi, ia pindah ke asrama sekolah untuk menjadi ibu asrama.
Gaji yang tak seberapa bukan penghalang baginya untuk mendedikasikan hidupnya bagi dunia pendidikan. Ia bahagia sebagai wanita lajang.
Kisah seorang pria lajang
Kebetulan saya juga mengenal seorang pria yang terbilang ganteng. (Saya lebih ganteng sedikit, dong ^_^). Ia dahulu bekerja di sebuah restoran ternama. Penghasilannya lumayan.
Ketika menginjak usia 35, Alfa (nama fiktif) belum juga tampak berencana menikah. Sebagian kerabat berupaya membantunya menemukan wanita sebagai calon istrinya. Bahkan sudah dijodoh-jodohkan.
Akan tetapi, Alfa menolak dengan halus bujukan dan "perjodohan" itu. Alfa kini tinggal di kampung halamannya sebagai wiraswastawan yang berkecukupan.
Beberapa orang berkomentar, "Duh, sayang sekali, ya. Ganteng-ganteng tapi tidak punya istri." Meski demikian, Alfa tampak bahagia dengan pilihan hidupnya untuk tidak menikah dan menikmati hidup sebagai seorang lajang.
Hidup tidak menikah atau melajang menurut sejumlah riset
Bella DePaulo Ph.D. menulis, dalam beberapa penelitian, orang lajang seumur hidup cenderung lebih sehat daripada orang lain (yang menikah). Penelitian tersebut mencakup riset terhadap lebih dari 11.000 orang Kanada; risiko kanker lebih dari 33.000 orang Italia; dan riset di Amerika Serikat tentang kesehatan dan kesejahteraan.
Ilmuwan sosial banyak mempelajari pernikahan dan orang yang menikah. Orang lajang seumur hidup kebanyakan diabaikan, kecuali sebagai kelompok pembanding dalam studi pernikahan. Inilah bias riset ilmiah terhadap kaum yang tidak menikah atau kaum lajang.
Sementara itu, ada pula riset yang menunjukkan bahwa rasa bahagia orang-orang yang menikah juga mengalami penurunan. Riset Malgorzata Mikucka dari Universitas Mannheim menunjukkan bahwa rasa bahagia atas pernikahan mengalami penurunan menurut responden pria dari 87 negara selama kurun waktu 29 tahun.
Wasana kata
Pernikahan dan hidup melajang kiranya adalah dua pilihan hidup yang secara netral setara. Kita mengalami dan mengamati sendiri, bahwa tidak ada jaminan seseorang pasti bahagia ketika ia menikah atau sebaliknya, ketika melajang.
Banyak pula orang yang telah menikah kemudian memutuskan untuk tidak menikah lagi ketika suami atau istrinya meninggal dunia. Ada pula yang akhirnya bercerai dan atau berpisah dengan pasangannya.
Sebaliknya, ada pula orang yang sempat hidup melajang (dengan alasan keagamaan maupun bukan), kemudian berubah pikiran dan akhirnya menikah.
Kebahagiaan seseorang dipengaruhi oleh aneka faktor dari dalam maupun luar dirinya. Kiranya setiap orang perlu kita bantu (bukan kita paksa) untuk memilih suatu pilihan hidup yang nyatanya (akan) ia jalani dengan segala konsekuensinya.
Apa yang menurut kita membahagiakan bisa jadi suatu penderitaan bagi orang yang menjalaninya.
Sebagai penutup, saya berharap agar para pembaca menemukan pilihan hidup yang terbaik dalam konteks hidup Anda sekalian. Jika ingin menikah, semoga Anda dipertemukan oleh Tuhan YME dengan belahan jiwa Anda yang kini entah sedang terselip di mana.
Jika ingin hidup membujang (melajang), semoga Anda bahagia dan membahagiakan banyak orang. Salam JoJoBa: Jomlo-Jomlo Bahagia :)
Perkenankan saya kutip anggitan menarik ini:
“Bisa berbahagia nyatanya belum tentu didapatkan dari "digenapi" orang lain. Bahagia harus datang dari diri sendiri. Tidak memiliki pasangan tidak menjadikan dunia berakhir. Dunia berjalan semestinya.”
(Almira Bastari, Ganjil-Genap terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2020)
- Tulisan ini hanya untuk dimuat di Kompasiana. Silakan bagikan dalam bentuk artikel Kompasiana-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H