Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Petinggi Hamas Hidup Mewah dan PM Israel Dituduh Korupsi: Wajah Sejati Konflik Palestina-Israel

17 Mei 2021   13:26 Diperbarui: 17 Mei 2021   14:15 5408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadiri rapat kabinet khusus pada kesempatan Hari Yerusalem, di Yerusalem, Minggu, 9 Mei 2021.(AP PHOTO/AMIT SHABI) via kompas.com

"Religion is all good, but we are almost back to medieval times now, where we are obsessed with going into religious wars and electing our politicians based on their religious statements." (Lexi Alexander)

Menurut Lexi Alexander, semua agama baik. Sayangnya, kita nyaris kembali ke abad pertengahan, kala kita terobsesi pada perang (atas nama) agama dan memilih politikus berdasarkan "pernyataan suci keagamaan" mereka. 

Alexandra Mirai atau yang sering dikenal sebagai Lexi Alexander adalah wanita sutradara film dan televisi, seniman bela diri, dan aktris keturunan Palestina dan Jerman.

Saya tertarik memperdalam artikel saya yang mendapat perhatian luas: "Tiga Kesalahpahaman Sebagian Orang Indonesia tentang Konflik Palestina-Israel". Saya sarankan Anda menyimak tulisan itu, yang saya tulis dengan ketulusan dan netralitas sebagai akademisi.

Kali ini, kita akan mengulik bagaimana sejumlah petinggi Hamas (yang konon katanya membela Palestina) ternyata hidup mewah dan bagaimana Perdana Menteri Israel dituduh korupsi oleh warga Israel sendiri. 

Dua hal ini kiranya bisa memberikan gambaran bagaimana wajah sesungguhnya di balik konflik Palestina-Israel modern yang telah berlangsung puluhan tahun. 

Saya ajak Anda untuk membaca hingga tuntas agar mendapatkan gambaran seimbang dan kurang lebih menyeluruh mengenai sosok-sosok di balik konflik Israel dan Palestina ini. 

Oknum pemimpin Hamas hidup dalam kemewahan

Cobalah ketik di peramban (browser) Anda: "Hamas leaders live in luxury" atau "Hamas rich". Anda mungkin akan terkejut mendapati aneka berita dan ulasan mengenai oknum pemimpin Hamas yang hidup mewah sementara mayoritas rakyat Palestina menderita. 

Laman thearabweekly.com menulis pada 3 Februari 2021 sebuah artikel menarik yang saya sarikan berikut ini:

Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh terkenal dengan janjinya hidup sederhana (hanya makan minyak zaitun dan rumput kering) setelah dia memimpin kelompok Hamas meraih kemenangan dengan kampanye perjuangan bersenjata dan penghematan selama pemilu Palestina 2006.

Pemimpin Hamas Ismail Haniya memberikan pidato di Gaza City, Selasa (21/8/2018).(AFP/ANAS BABA) via kompas.com
Pemimpin Hamas Ismail Haniya memberikan pidato di Gaza City, Selasa (21/8/2018).(AFP/ANAS BABA) via kompas.com

Tapi Ismail Haniyeh telah meninggalkan Jalur Gaza yang miskin dan, bersama dengan beberapa pemimpin Hamas lainnya, hidup mewah di Turki dan Qatar. 

Pada pemilu pada musim semi ini, Hamas akan berjuang sebagai pihak yang tidak diunggulkan.

Masih harus dilihat apakah pemilihan yang diputuskan oleh Presiden Mahmoud Abbas benar-benar akan diadakan. Banyak hal tergantung pada apakah partai sekuler Fatah dan Hamas dapat mencapai kesepakatan untuk mengatasi perpecahan yang telah mencegah upaya mengadakan pemungutan suara.

Tapi jelas bahwa citra Hamas di antara banyak warga Palestina, bahkan yang pernah menjadi pendukung, telah memudar sejak 2007. Saat itu Hamas merebut Gaza dari pasukan Abbas dalam seminggu pertempuran jalanan berdarah.

Sejak itu, Hamas telah mendirikan "negara kuasi" sendiri dengan layanan sipil dan pasukan keamanannya sendiri. 

Ekonomi Gaza hancur oleh tiga perang dengan Israel dan blokade Israel-Mesir.

Para pemimpin Hamas yang naik pangkat ketika menjadi kelompok militan bawah tanah telah menukar pakaian jalanan dan sepeda motor mereka dengan baju setelan bisnis dan mobil mewah. Beberapa oknum petinggi Hamas, seperti Haniyeh, menginap di hotel mewah di Turki dan Qatar.

Mereka meninggalkan pejabat berpangkat lebih rendah dan warga Palestina biasa untuk berurusan dengan konsekuensi dari kebijakan mereka.

"Setiap tahun, situasinya berubah dari buruk menjadi lebih buruk," kata Youssef Ahmed, yang bekerja di warung makan di pasar timur Kota Gaza. 

"Orang tidak punya uang untuk membeli barang-barang dasar."

Meski begitu, meski warga Gaza menggerutu sendirian dalam hati. Mereka jarang berbicara menentang Hamas, yang biasanya tidak suka dikritik.

Ahmed mengatakan dia menyalahkan "semua orang" : Hamas, Israel dan Otoritas Palestina yang dipimpin Abbas. Namun menurutnya, sebagai penguasa, Hamas memiliki tanggung jawab khusus.

Haniyeh, yang menjadi perdana menteri Palestina setelah pemilu 2006 dan sekarang menjadi pemimpin umum Hamas, meninggalkan Gaza pada 2019. Ia menyebutnya sebagai kunjungan ke luar negeri untuk sementara. Sampai kini, Haniyeh belum kembali.

Sebuah video baru-baru ini yang muncul di media sosial menunjukkan Haniyeh bermain sepak bola di bawah gedung pencakar langit kaca Qatar. Jauh dari Kamp Pengungsi Pantai di Kota Gaza, tempat ia dilahirkan dan tempat rumah keluarganya. 

Video lain dari hari Senin menunjukkan dia dalam setelan khusus yang dikelilingi oleh pengawal dan disambut oleh pejabat Qatar di acara karpet merah.

Sementara itu, di Gaza, warga Palestina bergulat dengan 50% pengangguran, seringnya pemadaman listrik dan air leding yang tercemar.

Penderitaan ini sebagian besar karena blokade, yang menurut Israel diperlukan untuk mencegah Hamas mengimpor senjata. Israel dan sebagian besar negara Barat menganggap Hamas sebagai kelompok teroris karena telah melakukan sejumlah serangan selama bertahun-tahun, termasuk pemboman bunuh diri, yang menewaskan ratusan warga sipil Israel. 

Perselisihan berkepanjangan antara Hamas dan Otoritas Palestina Abbas atas penyediaan bantuan dan layanan ke Gaza telah memperburuk keadaan.

Sementara itu, Hamas menyalahkan penderitaan warga Gaza pada PA (Palestinian Authority), Israel, dan komunitas internasional.

"Ada kesadaran populer bahwa penderitaan itu bukan kesalahan Hamas, dan pihak eksternal ingin merusak demokrasi," kata juru bicara Hamas, Hazem Qassem. Dia mengatakan Hamas masih memiliki dukungan populer "besar" dan akan memenangkan pemilihan mendatang.

Dia menambahkan bahwa anggota Hamas di Gaza juga menderita akibat perang, isolasi, dan keruntuhan ekonomi.

Meski demikian, penderitaan tidak terbagi secara merata.

Qatar telah mengirimkan bantuan ratusan juta dolar ke Gaza dalam beberapa tahun terakhir untuk menopang gencatan senjata tidak resmi. Uang itu telah memungkinkan pemerintah yang dikelola Hamas untuk membayar pegawai sipilnya. 

Hamas juga mengenakan pajak atas impor, ekspor, bisnis, dan tembakau yang dibenci oleh banyak orang Palestina biasa karena menambah penderitaan mereka. 

Pasukan keamanan Hamas dengan keras menindak protes terhadap tindakan tersebut.

Ada contoh lain ketidakadilan di Gaza. "Jalur cepat" melalui penyeberangan Rafah dengan Mesir (satu-satunya cara bagi sebagian besar warga Gaza untuk masuk dan keluar dari wilayah tersebut) tersedia bagi mereka yang dapat membayar mahal atau memiliki koneksi dengan pejabat Mesir. 

Dalam beberapa bulan terakhir, tiga putra Haniyeh telah muncul dalam daftar, yang dipublikasikan oleh kementerian dalam negeri yang dikelola Hamas. Wisatawan lain harus melalui proses perizinan yang panjang.

Ahmed Yousef, mantan penasihat Haniyeh yang telah pindah ke Istanbul, mengakui Hamas telah gagal mencapai cita-cita yang dianutnya.

Akram Atallah, kolumnis lama untuk surat kabar Al-Ayyam yang berbasis di Tepi Barat yang pindah dari Gaza ke London pada 2019, mengatakan Hamas telah mencoba menggunakan "dualitas" sebagai pemerintah dan kelompok militan untuk keuntungannya. 

Ketika disalahkan karena tidak memberikan layanan dasar, Hamas mengklaim sebagai kelompok perlawanan. Ketika dikritik karena memberlakukan pajak, Hamas mengatakan bahwa itu adalah pemerintahan yang sah.

Hamas mungkin masih berhasil dalam pemilu apa pun, hanya karena pesaing utamanya, Fatah, memiliki catatan kegagalan yang lebih parah. 

Para petinggi Fatah umumnya dipandang sebagai individu-individu korup. Mereka lebih tertarik untuk menikmati keuntungan dari status VIP dengan Israel daripada memajukan perjuangan untuk menjadi negara bagian.

Jajak pendapat bulan Desember yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina menemukan, dukungan untuk Hamas hampir mendekati 38% untuk Hamas, dan 34% untuk Fatah. 

Akan tetapi, survei ini memperkirakan bahwa Haniyeh akan dengan mudah mengalahkan Abbas dalam pemilihan presiden. Penelitian itu mensurvei 1.270 warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza, dengan margin kesalahan 3 persen.

Dengan asumsi pemilihan diadakan, "sepertinya (Fatah dan Hamas) akan mendominasi parlemen berikutnya, tetapi tidak ada yang akan memiliki mayoritas," kata Khalil Shikaki, kepala pusat survei tersebut.

Atallah, sang jurnalis, mengatakan bahwa Hamas masih dapat menarik "emosi rakyat", tetapi pengaruh yang dulu dimiliki Hamas atas banyak orang telah memudar.

"Hamas...sudah terbongkar," katanya. "Orang-orang biasa Palestina mengetahui bahwa para pemimpin Hamas hidup jauh lebih baik daripada mereka."

PM Israel Benyamin Netanyahu dituduh korupsi oleh rakyat sendiri

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadiri rapat kabinet khusus pada kesempatan Hari Yerusalem, di Yerusalem, Minggu, 9 Mei 2021.(AP PHOTO/AMIT SHABI) via kompas.com
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadiri rapat kabinet khusus pada kesempatan Hari Yerusalem, di Yerusalem, Minggu, 9 Mei 2021.(AP PHOTO/AMIT SHABI) via kompas.com
Di sisi lain, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dituduh korupsi oleh rakyat sendiri. Tak tanggung-tanggung, Netanyahu menhadapi tiga tuduhan kasus megakorupsi sekaligus.

Netanyahu telah didakwa dalam tiga kasus, yang dikenal sebagai kasus 1.000, 2.000, dan 4.000:

Kasus 1.000 - Penipuan dan pelanggaran kepercayaan. Netanyahu dituduh menerima hadiah - terutama cerutu dan botol sampanye - dari pengusaha kaya yang meminta kemudahan.

Kasus 2.000 - Penipuan dan pelanggaran kepercayaan. Netanyahu dituduh menawarkan untuk membantu meningkatkan sirkulasi surat kabar Israel Yediot Ahronot dengan imbalan liputan positif tentang dirinya.

Kasus 4.000 - Penyuapan, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan. Sebagai PM dan menteri komunikasi pada saat dugaan pelanggaran tersebut, Netanyahu dituduh mempromosikan keputusan peraturan yang menguntungkan Shaul Elovitch, pemegang saham pengendali di raksasa telekomunikasi Israel Bezeq, dengan imbalan liputan positif oleh situs berita Walla.

Netanyahu telah membantah semua tuduhan terhadapnya. Ia mencap tuduhan-tuduhan itu sebagai tuduhan palsu oleh lawan politiknya. Netanyahu telah berjanji untuk membersihkan namanya.

Pada awal April lalu, saksi pertama dalam persidangan korupsi Benjamin Netanyahu mengatakan dia diberitahu untuk membuat agar berita negatif tentang PM Israel itu "menghilang".

Mantan CEO Walla, Ilan Yeshua bersaksi bahwa dia juga diperintahkan oleh pemilik situs berita, Shaul Elovitch, untuk membuat konten berita yang menyerang saingan Netanyahu.

Jaksa penuntut mengatakan Netanyahu membuat keputusan regulasi senilai ratusan juta dolar kepada Elovitch dengan imbalan liputan yang menguntungkan Netanyahu. 

Sikap kritis warga Indonesia dalam menyikapi konflik Israel-Palestina

Saya sekali lagi mengajak saudara-saudariku sebangsa dan setanah air Indonesia untuk bersikap kritis dalam menyikapi konflik Palestina-Israel. Mari kita menelaah konflik ini secara berimbang dengan akal sehat kita.

Saya dan Anda adalah insan beragama dan cinta damai. Kita sama-sama membenci kekerasan, siapa pun yang melakukannya. Kita juga patut meragukan ketika ada pihak-pihak yang melakukan kekerasan atas nama agama.

Benarkah kekerasan bersenjata dan berdarah itu harus dilakukan sebagai upaya terakhir atau upaya untuk membela diri secara sah (legitimate self defence)? Adakah udang di balik batu atau kepentingan tersembunyi di balik konflik Israel-Palestina?

Rasa-rasanya, apa yang sedang terjadi di Tanah Suci (konflik Palestina-Israel) bukan murni konflik agama meskipun sentimen agama didengungkan oleh pihak dan media massa tertentu. 

Pernahkah kita, orang Indonesia, bertanya secara kritis:

- Jika Palestina dikatakan miskin, dari mana (Hamas) mendapatkan dana untuk membeli roket-roket itu? Mengapa oknum pemimpin Hamas tinggal di hotel mewah di luar negeri? 

- Bagaimana orang bisa mengatakan Israel sebagai negara beragama Yahudi murni sementara faktanya, sensus penduduk Israel 2019 mencatat, 74,2% orang Israel beragama Yahudi, 17,8% orang Israel beragama Islam, dan 2,0% Kristen? Bahkan beberapa tentara Israel adalah pemeluk agama Islam (baca artikel saya terdahulu).

- Bagaimana orang bisa mengatakan Palestina sebagai "negara Islam murni" sementara faktanya, 93% orang Palestina adalah Muslim dan sekitar 6% beragama Kristen dan Katolik? 

- Bagaimana bisa orang menyimpulkan bahwa konflik Israel dan Palestina adalah "murni konflik agama" jika nyatanya ada kepentingan politis para petinggi Palestina dan Israel? 

Anggota kelompok ortodoks Yahudi, Neturei Karta memprotes pendudukan Israel atas Palestina- Peter Muliggan lisensi CC 2.0
Anggota kelompok ortodoks Yahudi, Neturei Karta memprotes pendudukan Israel atas Palestina- Peter Muliggan lisensi CC 2.0
Duel Kepentingan Hamas dan Netanyahu dalam konflik Israel-Palestina 2021

Silakan baca analisis menarik yang ditayangkan Kompas.com dengan tajuk "Duel Kepentingan Hamas dan Netanyahu dalam Konflik Israel-Palestina 2021". Saya sarikan beberapa pokok penting dalam artikel tersebut: 

Analis menilai, Hamas dan Israel sama-sama memiliki kepentingan masing-masing dalam bentrokan terbaru di Palestina 2021. Hamas sebagai penguasa Jalur Gaza bertujuan menjadi standar de facto perjuangan Palestina, memanfaatkan kepemimpinan Otoritas Palestina yang melemah. 

Dalam unjuk kekuatannya, Hamas telah meluncurkan sekitar 2.300 roket ke Israel sejak Senin (10/5/2021), yang mencakup Tel Aviv di utara sampai bandara Ramon di selatan. 

Sementara itu Israel menyerang Palestina untuk memanfaatkan momen guna melenyapkan semua pengaruh Hamas di Gaza dengan menyerang infrastrukturnya, kata para analis.

Wasana kata, saya menilai bahwa pendidikan sejarah dalam kurikulum Indonesia wajib menelaah pula akar konflik Palestina-Israel agar warga Indonesia paham apa yang sebenarnya terjadi.

Saya mahfum, tak semua sependapat dengan uraian saya ini. Silakan saja. Saya hanya berbagi apa yang saya pahami dari sudut pandang senetral mungkin sebagai akademisi muda. 

Salam persaudaraan. Kita beruntung hidup dalam naungan NKRI ber-Pancasila dan bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika. Mari kita rawat persatuan kita. 

Kita berharap, tak jatuh makin banyak korban sipil tak bersalah di Tanah Suci yang juga baru saja merayakan Idulfitri 2021. Saya memanfaatkan momen ini juga untuk memohon maaf lahir dan batin kepada rekan penulis dan pembaca sekalian. 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun