Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Algoritma Medsos Menjebak Kita dalam Echo Chamber yang Berbahaya

22 Maret 2021   11:25 Diperbarui: 22 Maret 2021   23:34 2511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Anda pengguna media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter

Jika iya, sadarkah Anda bahwa di balik media sosial itu ada algoritma yang bekerja untuk menggiring Anda pada konten, orang, dan grup tertentu. Khususnya, mengarahkan Anda pada yang Anda sukai?

Saya sudah membuktikan dan mengamati hal ini. Setiap kali saya memberi "like" pada konten tanaman hias di Instagram, semakin banyak tawaran konten tentang tanaman hias yang ditawarkan pada saya. 

Akun-akun yang dipajang untuk saya ikuti rupanya diatur oleh algoritma yang punya data berapa "like" dan berapa banyak waktu saya habiskan untuk menonton konten tertentu.

Media sosial berlomba untuk membuat kita nyaman dengan konten-konten yang menyenangkan hati. 

Semakin lama kita menghabiskan waktu, semakin baik bagi media sosial itu, yang memajang iklan penghasil uang.

Engagement atau "keterlibatan" adalah sasaran antara media sosial. Semakin melekat dan terlibat kita pada media sosial, semakin banyak waktu kita tersita untuk menikmati apa pun yang tersaji, termasuk iklan. 

Tentu saja kita sebagai pemirsa tidak terlalu keberatan menonton iklan pada konten yang memang kita sukai, bukan? Karena itu media sosial ingin kita semakin betah dan menghabiskan banyak waktu di "ruang maya" itu.

Echo Chamber sebagai dampak algoritma media sosial

Salah satu dampak algoritma media sosial adalah terciptanya echo chamber atau kamar gema.  

Secara singkat, echo chamber adalah ruang gema di mana seseorang menemukan ide-ide mereka didukung dan digaungkan oleh individu lain yang berpikiran sama. 

Pada tahun 1996, peneliti MIT Marshall Van Alstyne dan Erik Brynjolfsson memperingatkan kita tentang potensi bahaya ketika kita hanya berinteraksi dengan individu yang menganut nilai serupa.

"Pengguna internet dapat mencari interaksi dengan individu yang berpikiran sama yang memiliki nilai serupa, dan dengan demikian cenderung tidak mempercayai keputusan penting dari orang-orang yang menganut pandangan berbeda dari pandangan mereka sendiri.”

Sebuah studi tahun 2015 oleh PNAS menemukan bahwa misinformasi berkembang pesat secara daring karena pengguna “… berkumpul dalam komunitas yang diminati, yang menyebabkan penguatan dan mendorong bias konfirmasi, segregasi, dan polarisasi”. 

Ruang gema online ini dapat memperkuat penyebaran gagasan yang sesat dan bisa memberikan pembenaran terhadap berita bohong. 

Contoh paling mudah, Anda akan lebih cenderung meneruskan "berita" dan pendapat orang yang sepemikiran dengan Anda di grup medsos tertentu yang berdasarkan kesamaan minat.

Ruang gema atau echo chamber ini menjebak kita dalam lingkup orang-orang yang kurang lebih menyukai hal-hal yang sama. 

Echo chamber menjauhkan kita dari diskusi dengan orang-orang yang tidak sependapat.

Bahaya paling besar dari echo chamber adalah bahwa kita menjadi tidak peka dengan keberagaman pendapat. Echo chamber mejauhkan kita dari interaksi dengan orang-orang yang berseberangan gagasan.

Algoritma, echo chamber, dan radikalisasi

Dalam contoh di atas tentang algoritma yang menjebak saya dalam tawaran tanaman hias, saya mungkin tidak begitu dirugikan. 

Bagaimana jadinya jika saya memberi "like" pada konten kelompok garis keras dan konten negatif lainnya? 

Sayangnya, algoritma juga akan menawarkan semakin banyak konten serupa pada saya. 

Studi oleh Ines von Behr (2013) menemukan lima bahaya internet dalam kaitan dengan radikalisasi:

Pertama, internet menciptakan lebih banyak peluang untuk menjadi radikal. 

Kedua, internet bertindak sebagai echo chamber atau ruang gema, yaitu tempat di mana individu menemukan ide-ide mereka didukung dan digaungkan oleh individu lain yang berpikiran sama. 

Ketiga, internet mempercepat proses radikalisasi. 

Keempat, internet memungkinkan terjadinya radikalisasi tanpa kontak fisik dengan teroris yang berpikiran sama. 

Kelima, internet meningkatkan peluang swaradikalisasi (self radicalization).

Ilustrasi oleh Yeepod via popbela.com
Ilustrasi oleh Yeepod via popbela.com
Kisah-kisah swaradikalisasi telah juga terjadi di Indonesia. Beberapa pelaku dan simpatisan terorisme mendapat informasi dan dukungan untuk terlibat aksi terorisme karena terjebak dalam echo chamber aliran garis keras. 

Bayangkan diri Anda bergaul virtual dengan orang-orang yang tiap saat mengagungkan jalan kekerasan untuk meraih tujuan yang seolah "kehendak ilahi". Algoritma media sosial menggiring Anda untuk menemukan akun-akun dan konten yang bertema kekerasan atas nama agama. 

Tentu menjadi sulit untuk keluar dari echo chamber itu, kecuali ada intervensi dari pihak luar atau kehendak diri yang luar biasa untuk lepas darinya.

Hal ini diperparah dengan lambannya media sosial dan aparat keamanan siber untuk menangani konten-konten berbahaya. 

Saya sendiri mengalami, laporan-laporan saya ke sebuah media sosial mengenai konten negatif ditanggapi sangat lamban. Apalagi di tengah pandemi ini, saat pegawai kurasi konten medsos juga terpaksa bekerja dari rumah.

Kiat mewaspadai echo chamber

Sejatinya echo chamber tak melulu soal media sosial. Echo chamber juga bisa terjadi di dunia nyata, saat kita cenderung merasa nyaman dan bergaul hanya dengan lingkaran orang-orang yang sepemikiran dan satu identitas dengan kita.

Inilah aneka kiat mewaspadai echo chamber:

1. Memperluas pertemanan dengan beragam orang yang tidak selalu satu gagasan dan identitas primordial (SARA)
Jangan hanya berkawan dengan orang yang seagama, sealiran penafsiran, sesuku, sepemikiran, satu profesi, sekelompok hobi, satu apa saja dengan Anda. 

Kita beruntung hidup di Indonesia, negara bhineka ini. Manfaatkanlah keuntungan ini untuk memperluas pertemanan dengan beragam insan dan kelompok.

2. Mengakses beragam media, bukan hanya media-media yang mendukung gagasan kita saja
Di negara mana pun, juga di Indonesia, media tidaklah selalu netral. Di balik media, ada pemilik media yang mendikte berita-berita yang boleh ditulis. 

Jika Anda pendukung pemerintah atau kelompok sosial tertentu, jangan cuma membaca media pro pemerintah atau pro kelompok tertentu itu. Baca juga "media oposisi" untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai opini tandingan. 

Inilah prinsip "covering both sides" atau merangkum pendapat dua pihak agar kita memiliki pandangan seimbang sebelum memutuskan atau menilai. 

(Media) pemerintah tidak selalu benar. (Media) oposisi pun tidak selalu buruk. Kita sebagai pembaca berita perlu memahami kedua argumentasi, baik dari pemerintah maupun oposisi. 

3. Kritis terhadap sajian medsos dan algoritma media sosial
Di media sosial, sejatinya ada opsi juga untuk "melihat konten jenis ini lebih jarang" (see less often). Hanya saja, kita sering menerima begitu saja konten yang disajika oleh algoritma media sosial. 

Kita seharusnya lebih kritis terhadap sajian medsos dan algoritma media sosial. Cobalah sejenak menilai diri: apakah aku sudah terjebak dalam echo chamber algoritma media sosial, tetapi tidak menyadarinya?

Mengapa konten dan akun yang aku ikuti hanya yang aku sukai dan aku setujui saja gagasannya? Mengapa aku tidak tertarik memahami pendapat orang (akun) lain yang tidak sepemikiran dan tidak satu identitas (primordial) denganku?

Salam cerdas dan salam literasi. Dari saya yang masih terjebak echo chamber ^_^.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun