Saya sendiri mengalami, laporan-laporan saya ke sebuah media sosial mengenai konten negatif ditanggapi sangat lamban. Apalagi di tengah pandemi ini, saat pegawai kurasi konten medsos juga terpaksa bekerja dari rumah.
Kiat mewaspadai echo chamber
Sejatinya echo chamber tak melulu soal media sosial. Echo chamber juga bisa terjadi di dunia nyata, saat kita cenderung merasa nyaman dan bergaul hanya dengan lingkaran orang-orang yang sepemikiran dan satu identitas dengan kita.
Inilah aneka kiat mewaspadai echo chamber:
1. Memperluas pertemanan dengan beragam orang yang tidak selalu satu gagasan dan identitas primordial (SARA)
Jangan hanya berkawan dengan orang yang seagama, sealiran penafsiran, sesuku, sepemikiran, satu profesi, sekelompok hobi, satu apa saja dengan Anda.Â
Kita beruntung hidup di Indonesia, negara bhineka ini. Manfaatkanlah keuntungan ini untuk memperluas pertemanan dengan beragam insan dan kelompok.
2. Mengakses beragam media, bukan hanya media-media yang mendukung gagasan kita saja
Di negara mana pun, juga di Indonesia, media tidaklah selalu netral. Di balik media, ada pemilik media yang mendikte berita-berita yang boleh ditulis.Â
Jika Anda pendukung pemerintah atau kelompok sosial tertentu, jangan cuma membaca media pro pemerintah atau pro kelompok tertentu itu. Baca juga "media oposisi" untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai opini tandingan.Â
Inilah prinsip "covering both sides" atau merangkum pendapat dua pihak agar kita memiliki pandangan seimbang sebelum memutuskan atau menilai.Â
(Media) pemerintah tidak selalu benar. (Media) oposisi pun tidak selalu buruk. Kita sebagai pembaca berita perlu memahami kedua argumentasi, baik dari pemerintah maupun oposisi.Â
3. Kritis terhadap sajian medsos dan algoritma media sosial
Di media sosial, sejatinya ada opsi juga untuk "melihat konten jenis ini lebih jarang" (see less often). Hanya saja, kita sering menerima begitu saja konten yang disajika oleh algoritma media sosial.Â