Rumah menjadi "syarat" penting setiap keluarga untuk mewujudkan keberadaannya. Rumah bukan sekadar bangunan. Rumah adalah bagian integral dan eksistensial dari setiap insan dan keluarga.Â
Mereka yang sedang mempersiapkan diri untuk menikah tentu tak boleh melupakan pentingnya menyiapkan rumah yang layak demi masa depan keluarga baru. Adakala tinggal bersama di "pondok mertua" menciptakan konflik yang sama-sama tidak diinginkan. Belum lagi ketika buah hati bertambah.Â
Rumah sebagai identitas diri
Rumah menjadi bagian dari identitas diri kita. Bukankah setiap kali berjumpa kenalan baru, kita akan ditanya: "Rumahnya di mana?" atau "Tinggal di mana?"
Lazimnya jawaban kita pun akan mencerminkan kebanggaan atau rasa malu karena situasi rumah atau lingkungan tempat tinggal kita. Yang tinggal di perumahan mewah tentu akan menjawab dengan suara lantang. Yang tinggal di kawasan kumuh biasanya akan sedikit menyamarkan lokasi rumahnya.
Akan tetapi, masih bersyukur bila kita memiliki rumah. Dilansir laman unhabitat, lebih dari 1,8 miliar orang di seluruh dunia tidak memiliki perumahan yang layak. Setiap tahun 2 juta orang diusir secara paksa dari tempat tinggal mereka. Banyak orang diancam dengan penggusuran. Sekitar 150 juta orang di seluruh dunia kehilangan tempat tinggal.
Mereka yang belum dan tidak punya rumah layak huni
Cobalah kita tengok lingkungan sekitar kita. Kita yang tinggal di perkotaan nan padat tentu dengan mudah menjumpai orang-orang yang tidak punya rumah yang layak huni. Para pemulung, pengemis, buruh, dan orang-orang tersingkir lazimnya tidak memiliki rumah yang nyaman.
Akan tetapi, persoalan belum memiliki rumah layak huni rupanya menjadi permasalahan juga bagi orang-orang yang bukan termasuk kaum termiskin. Banyak orang dari kalangan menengah ke bawah belum memiliki rumah yang layak huni.
Ada data yang menarik tentang kaum muda Indonesia dan kepemilikan rumah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019 jumlah pemuda di tanah air kita sekitar 64,19 juta jiwa. Ini adalah seperempat dari keseluruhan warga Indonesia.Â
Sebanyak 44,47% pemuda-pemudi Indonesia tinggal di rumah tidak layak huni. Artinya, hampir separuh pemuda-pemudi Indonesia belum atau tidak memiliki rumah layak huni.Â
Inilah yang perlu kita lakukan
Dari sisi kenegaraan, pemerintah dan sektor swasta perlu memberikan layanan agar masyarakat dapat memiliki rumah yang layak. Pembangunan perumahan dengan harga terjangkau di kantong-kantong kemiskinan di tanah air wajib diwujudkan.Â
Kementerian PUPR pada tahun ini berencana membedah sekitar 200 ribu rumah agar menjadi layak huni. Anggaran yang disiapkan sebesar 4,3 triliun rupiah. Sejatinya anggaran untuk sektor perumahan rakyat harus lebih besar lagi.Â
Ditilik dari sisi warga, ada banyak cara untuk membantu diri sendiri dan orang miskin untuk mendapatkan rumah layak huni:
1. Menabung untuk memiliki rumah sendiri
Menabung sangat penting agar kita memiliki dana untuk membangun rumah sendiri. Rekan Luna Septalisa telah mengulas secara tuntas gejala pemborosan yang bisa dihindari dalam artikel bertajuk "Gajian Masih Lama, Udah Bokek Aja? Jangan-jangan Latte Factor Penyebabnya".
Cobalah prihatin dulu. Cukupkan diri dengan hal-hal yang esensial saja. Pengeluaran untuk hura-hura dikurangi. Tabung untuk membeli rumah.
Tunjukkan pada calon pasangan saldo tabungan, bukan cuma ajakan makan-makan.
Dijamin si dia akan bernyanyi: "Terpesona...aku terpesona...memandang saldomu yang banyak:)" Hehehehe.
2. Mempelajari penawaran rumah dan tanah dengan saksama
Adik-adik saya yang sudah berkeluarga pun sampai kini belum memiliki rumah sendiri. Mereka masih berjuang mendapatkan rumah yang sesuai dengan kemampuan ekonomi dan harapan hati.Â
Adik saya yang tinggal di sebuah kota di Jawa Barat berkisah, saat ini perlu hati-hati dan cermat memilih pengembang. Dia bilang, ada saja pengembang nakal. Konsumen sudah membayar uang muka, tetiba lokasi pembangunan perumahan diubah seenaknya pengembang sendiri.
Harga penawaran rumah dan tanah yang terkesan murah jangan sampai membuat kita terkecoh. Bisa jadi dalam pelaksanaannya, rumah dibangun di bawah standar spesifikasi dalam brosur. Karena itu pilih pengembang yang tepercaya. Selalu waspada dalam tiap keputusan membeli properti.
3. Menabung material pembangunan rumah
Jika menabung uang di bank dirasa kurang cocok karena nyatanya kita tergoda menarik dana untuk kepentingan kurang penting, menabung material pembangunan rumah bisa jadi solusi.
Ini dipraktikkan keluarga kami. Orang tua kami menabung material pembangunan rumah dengan membeli kayu, keramik, dan sebagainya secara bertahap.Â
Memang agak repot karena harus menyediakan tempat untuk menyimpan material. Akan tetapi, godaan untuk menggunakan dana tabungan rumah untuk hal lain bisa kita hindari.Â
Praktiknya begini: Hubungi toko bangunan tepercaya langganan Anda. Konsultasikan dengan mereka jumlah dan waktu pengiriman material bangunan ke "gudang" atau "lahan kosong". Semua bisa diatur asal ada perencanaan yang mantul. Termasuk sistem cicilan pembelian bahan bangunan.Â
4. Bergotong-royong bangun rumah
Cara keempat ini bisa diterapkan untuk membangun rumah untuk diri sendiri maupun untuk kaum miskin. Apalagi jika kita tinggal di kawasan perdesaan dengan sistem sosial komunal yang masih kuat. Biaya tukang bisa kita hemat. Mengajak kerabat, tetangga, dan sahabat untuk membangun rumah bisa jadi solusi.Â
Oh ya, ajak juga para mantan kekasih. Siapa tahu mau bantu Anda buatkan rumah:) Wkkk...
5. Membedah rumah
Sebenarnya tidak harus membangun rumah baru. Asalkan rumah lama masih layak untuk dibedah dan dimodifikasi agar layak huni, mengapa tidak?Â
Konsultasikan dengan arsitek atau tukang bangunan tepercaya. Susun anggaran dengan cermat.Â
Wasana kata
Sebenarnya saya masih mau bercerita (lagi) tentang "bedah rumah" yang kami (saya dan sahabat-sahabat pemerhati) lakukan bersama untuk kaum miskin di Kalimantan. Akan tetapi, jumlah kata sudah hampir 900. NKCLtR: Nanti kita cerita lagi tentang rumah. Home sweet home.Â
Bersyukurlah jika sudah punya rumah. Jika belum, berusahalah!
R.B, Februari 2021. Untuk adik-adikku, kaum miskin, dan siapa saja yang ingin punya rumah sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H