Hoaks atau berita bohong sudah jadi makanan kita sehari-hari. Zaman kiwari, hoaks bukan hanya soal politik dan kesehatan, tetapi sudah merembet ke hal-hal rohani.Â
Cukup mudah terpapar hoaks bertema rohani atau keagamaan ini. Cobalah bergabung dengan grup-grup rohani dan keagamaan di Facebook, Whatsapp, Telegram. Setidaknya saya yang bergabung dalam sejumlah grup rohani kristiani sudah melihat sendiri betapa maraknya hoaks rohani ini.
Contoh-contoh hoaks rohani
Ada banyak ragam hoaks rohani atau keagamaan yang saya jumpai. Sekali lagi ini dalam lingkup kekatolikan atau kristiani. Lingkup agama-agama lain tentu ada ragam lainnya.
1. Kalimat atau pernyataan tertentu yang disematkan pada tokoh agama padahal tokoh itu tidak pernah mengatakannya.
2. Kisah "mukjizat" yang tampak tidak meyakinkan dan cenderung narasinya dibuat-buat.
3. Foto "mukjizat" yang kelihatan sebagai rekayasa dan atau proses fotografi biasa saja.
4. Doa-doa yang diklaim ajaib dan ampuh, diikuti ancaman jika tidak diteruskan akan mendatangkan celaka.
5. Prediksi akhir zaman atau prediksi berisi ancaman bencana jika tidak melakukan olah rohani tertentu.
Contoh terbaru hoaks rohani adalah foto "mukjizat" Sakramen Maha Kudus yang "bersinar" di sebuah gereja di Amerika Serikat. Saya melakukan verifikasi ke halaman Facebook resmi gereja tersebut. Anehnya, tidak ada kehebohan apa pun di halaman Facebook gereja itu. Tidak ada satu pun media lokal maupun nasional AS yang meliputnya.
Logikanya, jika ada mukjizat, tentu setidaknya media lokal meliput dan komunitas itu sendiri yang jadi heboh. Yang terjadi, semua adem ayem saja di Amerika sana. Yang heboh malah orang Indonesia. Hehehe. Capek deh.
Sudah begitu, nama pejabat gerejani yang disebut dalam narasi tersebut ternyata keliru. Wah, kurang pintar nih yang buat hoaks. Coba baca dulu Wikipedia, pasti bisa mengarang hoaks yang lebih meyakinkan lagi. Hehehe.
Saya pun telah meminta pendapat dari penggiat fotografi. Salah satunya seorang penulis di Kompasiana ini. Beliau berpendapat, "sinar ajaib" itu bisa saja suatu pantulan atau sinar dari sumber cahaya di seputar gereja saat itu.Â
Lagipula, ada atau tidak "sinar ajaib" itu tidak mempengaruhi iman saya. Bagi yang mempercayainya sebagai "sinar ajaib", silakan saja. Saya sih tidak. Tentu setelah melakukan verifikasi seperti di atas.Â
Rasa "Berdosa" ketika tidak mengamini dan meneruskan
Salah satu keunikan hoaks rohani atau keagamaan adalah adanya semacam rasa "berdosa" atau bersalah ketika kita tidak mengamini dan meneruskannya.Â
Rupanya ini jamak terjadi juga pada kalangan orang-orang taat beragama dan juga cukup berpendidikan. Hal ini membuat pencegahan hoaks rohani semakin sulit.Â
Lantas, bagaimana cara menangkal hoaks rohani atau keagamaan semacam ini? Ada tiga cara:
Pertama, pemuka agama dan lembaga agama perlu memberi klarifikasi.
Kedua, edukasi literasi tentang hoaks rohani perlu digalakkan melalui khotbah, pengajaran, dan juga tulisan media seperti tulisan ini.
Ketiga, pakailah akal sehat dalam beragama.Â
Beragama dan berakal sehat
Beragama dan berakal sehat bukan dua hal yang bertentangan. Justru saling melengkapi. Bukankah Tuhan YME menciptakan akal agar kita gunakan untuk memilah mana yang benar dan mana yang salah?
Beragama tanpa akal sehat akan menjadikan orang fanatik sempit. Meyakini secara buta. Apa pun yang disajikan asalkan berbumbu agama lantas dipercaya. Padahal justru banyak penipu menggunakan agama sebagai sarana.Â
Jadi, marilah kita beriman dengan tetap berakal sehat. Jangan merasa berdosa ketika tidak mengamini dan meneruskan hoaks rohani yang sebenarnya sudah kita tahu dalam benak kita, tetapi sering tetap kita amini karena "takut berdosa".
Salam literasi. Salam edukasi.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI