Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Reportase Kompasianer Lawan Arus Jakartasentrisme Media

14 November 2020   12:46 Diperbarui: 15 November 2020   15:56 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reportase kiprah suster laurentina pembela buruh migran - dokpri

Mengapa saya membaca artikel-artikel di Kompasiana? Apa yang menarik dan unik di Kompasiana dibanding media arus utama? Mengapa memilih jadi penulis Kompasiana?

Jawaban atas rentetan pertanyaan di atas bisa sangat beragam. Salah satu jawaban adalah bahwa saya dan pembaca menyukai reportase jurnalisme warga ala rekan-rekan kompasianer, yang melawan arus jakartasentrisme media.

Jakartasentrisme media arus utama

Wah, apa pula itu jakartasentrisme media arus utama (mainstream)? Sebenarnya gejala ini sudah cukup lama disadari penggiat dan pengamat media arus utama.  

Pada 2014, Remotivi merilis hasil penelitian dengan tajuk "Melipat Indonesia dalam Berita Televisi: Kritik atas Sentralisasi Penyiaran."

Muhamad Heychael & Kunto Adi Wibowo dkk antara lain menulis, sistem penyiaran di Indonesia bersifat sentralistis. Sepuluh stasiun televisi swasta besar yang memiliki hak siar nasional berada di Jakarta dan melakukan siaran dari Jakarta. 

Liputan media massa besar di tanah air kita hanya berkutat pada wilayah Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. Akibatnya, peliputan daerah jadi hal langka. 

Dampak lain adalah meluasnya budaya metropolitan ke aneka pelosok tanah air tanpa permisi. Sinetron dengan latar belakang keluarga menengah ke atas merajai layar-layar televisi. Akibatnya, penonton dicekoki gambaran yang kurang-lebih tunggal: keluarga ala metropolitan.

Pesona budaya dan dinamika daerah-daerah di Indonesia menjadi tersisihkan akibat minimnya peliputan media arus utama. 

Kiranya apa yang terjadi di ranah pertelevisian juga terjadi di ranah media cetak, baik cetak maupun daring. Gejala jakartasentrisme juga terjadi karena nyatanya pembahasan media massa lebih berkisar pada kejadian yang terjadi di ibu kota Jakarta dan kota-kota sekelilingnya.

Pengamatan dari Google Tren

Ada alat sederhana untuk melihat tren yang sedang diikuti pembaca atau warganet Indonesia setiap harinya. Tanpa bermaksud mendukung promosi peramban tertentu, saya sajikan pengamatan dari Google Trends Indonesia tanggal 12/11/2020 dini hari WIB.

Tren berita yang laris dibaca adalah tentang Stray Kids, Portugal, True Beauty Drama, JKT48, dan Agnez Mo.

Tidak ada satu pun berita daerah yang jadi tren. Bahkan berita dari cabang daerah sebuah jaringan berita ternama Indonesia justru menampilkan tren kekoreaan. Suatu ironi.

Kompasianer lawan jakartasentrisme media arus utama

Di Kompasiana, para penulis yang disebut kompasianer masih cukup giat menulis reportase warga yang melawan jakartasentrisme media arus utama Indonesia.

Rekan kita Maria Ayu, belum lama ini menulis artikel bertajuk "Peran Jurnalisme Warga Kompasiana sebagai Wadah Opini Isu Lokal" (sila klik). Maria Ayu mengadakan wawancara dengan sejumlah kompasianer yang dikenal sebagai penulis reportase warga.

Berdasarkan jumlah artikel dalam bulan September 2020, Maria Ayu menyajikan data jumlah artikel bertema lokal dibanding total artikel sebagai berikut:

Marahalim Siagian  7 dari 18 artikel, Felix Tani 2 dari 26 artikel, I Ketut Suweca 6 dari 27, Fauji Yamin 4 dari 10 artikel, Neno Anderias Salukh 2 dari 7, Reba Lomeh (Guido) 8 dari 16, Gregorius Nyaming 5 dari 7. 

Catatan saya, pengamatan ini akan menjadi lebih akurat jika sampel diperbanyak. Akan tetapi, penelitian sederhana rekan Maria Ayu membuktikan, sebagian kompasianer masih cukup setia menulis reportase isu lokal.

Di luar nama-nama yang telah disebutkan di atas, tentu ada banyak nama kompasianer lain yang sesekali atau cukup rutin mengulas isu lokal. Bukan hanya soal politik lokal, namun juga kuliner, adat, dan peristiwa aktual di penjuru tanah air. Juga lewat karya fiksi bercorak lokal.

Kompasianer sebagai aset dan pemengaruh lokal

Baru-baru ini saya menulis artikel ulasan potensi bahaya letusan gunung Merapi. Ketika artikel itu ditayangkan dan dikomentari seorang rekan komunitas kompasianer Jogjakarta (K-Jog), saya baru tersadar bahwa kompasianer adalah aset dan pemengaruh (influencer) lokal.

Seandainya terjadi bencana alam di wilayah tertentu, (komunitas) kompasianer bisa menjadi aset berharga bagi banyak pihak yang ingin berbuat kebaikan. 

Di luar situasi bencana, kompasianer juga sangat berperan sebagai aset dan pemengaruh lokal. Saya masih ingat betul tulisan rekan Hendra Wardana yang berjudul "Bagaimana Jika Artikelmu di Kompasiana Memakan "Korban" dan "Berdampak Buruk"?" 

Tulisan itu antara lain memuat bagaimana dampak kritik yang disampaikan di Kompasiana bisa menjadi pemantik perbaikan layanan publik dan swasta di daerah.

Saya kutip paragraf menarik anggitan Hendra Wardhana ini: "Setiap kali menulis blog, entah itu berupa berita, laporan, cerita perjalanan, atau sekadar opini, tujuannya saya hanya satu, yakni menghadirkan kebaikan. Kalaupun isinya tentang kejadian kurang baik, semangat yang melatari penulisannya tetap bertumpu pada keinginan untuk mendorong perbaikan."

Saya dan Anda kiranya sangat sepakat dengan pendapat di atas. Kiranya kita juga perlu menyepakati (kembali) fitrah kita sebagai kompasianer. Kita adalah aset dan juga pemengaruh lokal (dan nasional, bahkan mondial) melalui tulisan-tulisan yang kita tayangkan di Kompasiana.

Pertanyaan untuk kita renungkan: selama ini tulisan-tulisan kita apakah sudah juga mencerminkan kepedulian sebagai warga yang baik? 

Jika kita membuka mata hati kita, ada banyak persoalan di lingkungan sekitar yang bisa kita angkat dalam tulisan.

Mungkin kita tidak punya solusi. Akan tetapi, dengan meliput permasalahan atau gejala itu dan menayangkannya di Kompasiana, siapa tahu akan ada gagasan solutif yang muncul. Siapa tahu lembaga terkait akhirnya menanggapi tulisan kita dengan aksi nyata.

Mari kita menulis dan mengapresiasi reportase warga rekan-rekan kompasianer. 

Syukurlah, setakat ini ulasan tema lokal masih kita temukan di Kompasiana. Ada juga cukup banyak ulasan tokoh-tokoh inspiratif dari daerah. Merekalah pahlawan-pahlawan lokal yang perlu diviralkan. Terus terang, inilah salah satu alasan saya dan Anda membaca dan menulis di Kompasiana. 

Semoga Kompasiana semakin menjadi rumah jurnalis warga penyuara kekayaan budaya dan keprihatinan warga daerah-daerah seantero tanah air.

Salam untuk rekan-rekan kompasianer, pahlawan literasi isu lokal sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun