Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Annisa dan Bayang-bayang Ibu Teresa

10 November 2020   12:00 Diperbarui: 10 November 2020   12:03 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari freepik.com/azerbaijan_stockers

Banjir dari hulu membuat kapal kayu yang kunaiki berjalan lambat. Kata temanku, rute Tarakan ke Long Beruh biasanya empat jam. Kali ini molor dua jam. Tak mengapa. 

Beda dengan suasana ibu kota yang harus serba tepat waktu, suasana Borneo jauh lebih santai. Lebih tepatnya, mengalir saja seperti sungai. Itulah mengapa aku sama sekali tak menyesal meski harus meninggalkan pekerjaan awalku di kota metropolitan. Penghasilanku memang besar. Terang saja, pasien-pasienku dari kalangan atas. 

Setelah dua tahun bergelimang materi, aku mulai bertanya pada diriku sendiri: inikah satu-satunya yang kucari sebagai dokter? Ternyata tidak. Aku ingin mengabdikan ilmuku untuk mengobati orang-orang miskin. Karena itu, begitu mendengar adanya lowongan dokter di pedalaman Borneo, aku segera mendaftarkan diri.

Sampai juga aku di dermaga Long Beruh. “Selamat datang, Dokter Yohanes,” sapa seorang gadis berjilbab. 

Kuarahkan pandanganku padanya. “Kalau tidak keliru, ini Mbak Annisa, ya”, sahutku. “Iya, Dok. Panggil saja saya Nisa,” jawabnya.

 “Oke. Kalau tidak di hadapan pasien, panggil saya Mas Yohan saja. Jangan panggil saya Dok,” kataku. Nisa tersenyum simpul.

Nisa mengantarku ke rumah dinas dokter di samping puskesmas. “Maaf, Dok. Kemarin kamar sudah saya rapikan, tapi belum bersih benar. Kalau Dokter perlu sesuatu, datang saja ke pondok saya,” katanya sambil menunjuk rumah panggung di ujung jalan kampung. 

*

Hari pertamaku benar-benar melelahkan. Pasien datang silih berganti. Maklumlah, sudah dua bulan dokter pendahuluku pergi. Dia tak tahan hidup di pelosok, begitu kata Nisa. Selepas sang dokter pergi, tinggallah Nisa seorang diri merawat pasien dengan peralatan seadanya.

Yang membuatku kagum, Nisa tak banyak mengeluh. Dengan tulus, dia mengobati pasien yang sebagian besar orang bersahaja. 

Tak canggung ia menyentuh pasien yang kelihatan kumal. Entah mengapa, saat melihat Nisa merawat pasien, mendadak aku ingat pada Ibu Teresa dari Kalkuta, santa idolaku.

Ya, Nisa mirip Ibu Teresa yang cinta pada orang-orang sakit yang dianggap sampah jalanan di Kalkuta. 

*

“Dok, kita makan siang dulu.” Suara Nisa membuyarkan lamunanku. 

"Lho, kan sudah saya bilang. Kalau tidak di depan pasien, panggil saya saya Mas," kataku. Nisa yang seumuran adikku itu tersenyum. 

"Baiklah. Mas Yohan. Kita ke pondok saya. Ada ayah saya di sana. Tadi pagi saya masak sayur pakis dan ikan patin. Mari,” ajaknya. Bergegaslah kami ke rumah di ujung jalan.

"Assalamualaikum, Ayah," kata Nisa. "Waalaikumsalam," sahut pria renta dari dalam rumah. 

Nisa tak menunggu ayahnya membukakan pintu. Dia sendiri yang membuka pintu rumah. Aku ikut masuk ke dalam. Kulihat pria renta itu, ayah Nisa, terbaring lemah di tempat tidurnya. 

"Salam, Pak. Saya Yohan, dokter baru di puskesmas sini," kataku memperkenalkan diri.

 "Nak Yohan, salam. Saya Pak Umar. Maaf saya tidak bisa duduk. Bisanya baring saja," katanya dengan suara lirih.

"Tidak apa-apa, Pak. Bapak sudah lama hanya bisa berbaring begini?" selidikku. 

"Iya, Nak Yohan. Sudah hampir enam bulan. Setelah jatuh terpeleset di dermaga jadinya begini," kata pria itu. "Untung ada Nisa, anak bungsu yang jadi perawat. Kalau tidak, pasti repot. Ibunya Nisa sudah meninggal dua belas tahun lalu. Anak pertama kami merantau ke Malaysia," lanjutnya.

"Iya, Mas Yohan. Beginilah keadaan ayah dan keluarga kami. Kami hanya berdua saja di pondok ini. Kalau genteng bocor, saya yang perbaiki. Perempuan tapi kadang harus kerjakan pekerjaan laki-laki," tutur Nisa.

Aku terdiam sejenak. Tak tahu harus berkata apa. Dalam hatiku, bertambah kekagumanku akan sosok Annisa. Gadis berbudi luhur yang berbakti pada ayah tercinta.

*

Semakin lama, aku makin merasa cocok bekerja sama dengan Annisa di puskesmas desa. Tanpa aku minta, dia mengerjakan bagian tugasnya sebagai perawat. Ini membuat pekerjaan yang berat terasa lebih ringan.

Suatu senja, sepulang kerja, aku dan Nisa berjalan menyusuri tepian sungai. 

“Nisa, ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu," kataku memecah ketenangan senja di tepi sungai kala itu.

"Jujur. Sejak hari pertama aku melihatmu, ada perasaan khusus di hatiku tentangmu," tuturku.

Nisa tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang. 

"Emm..terima kasih atas kejujuran Mas Yohan. Sebenarnya Nisa juga menyimpan perasaan yang sama. Hanya...," jawabnya tanpa menyelesaikan kalimat.

"Hanya apa, Nisa? Katakan saja. Aku siap mendengar jawaban apa pun juga," desakku.

"Hanya saja...kita beda, Mas," jawabnya jujur.

Jawaban itu membuatku terdiam lama. Aku hentikan langkah kakiku. Kupandang rembulan yang lamat-lamat muncul di sela-sela pepohonan di seberang sungai. 

"Nisa, engkau bagai rembulan yang bersinar lembut. Aku mengagumi kebaikan hatimu, Nis," tuturku.

"Ya, Nisa juga mengagumi kebaikan hati Mas. Nisa berharap, Mas Yohan mendapat pasangan yang tepat. Lagipula, Nisa ingin menemani ayah di hari tuanya. Desa ini juga memerlukan kehadiran Nisa. Soal jodoh, biarlah Yang Di Atas yang mengaturnya," ungkapnya.

Jawaban Nisa itu membuatku termenung sejenak. Kupikir, cintaku bertepuk sebelah tangan. Rupanya Nisa memendam perasaan yang senada denganku. 

“Nisa, aku tak mau memaksamu untuk mencintaiku. Engkau sudah memilih sesuatu yang amat mulia. Seperti Ibu Teresa dari Kalkuta yang memilih untuk memperhatikan orang lain daripada memikirkan kepentingan sendiri,” kataku. "Oh, maaf, aku jadi ngelantur soal Ibu Teresa segala. Nisa tahu kan cerita Santa Teresa dari Kalkuta?" sambungku.

Nisa tak menjawab segera. Alih-alih kata-kata, muncul tetes air mata. 

"Kenapa nangis begitu, Nis? Maaf, aku tak bermaksud membuatmu sedih," kataku.

"Bukan salah Mas Yohan. Nisa ingat Bunda yang wafat dua belas tahun silam. Ada satu hal yang belum dikatakan ayah waktu itu," kata Nisa.

"Apa itu?" selidikku ingin tahu.

Nisa kini lebih tenang. "Bundaku berpulang setelah dirawat di rumah sakit di Tarakan. Waktu itu dokter yang setia merawat Bundaku namanya dokter Lusia. Dokter Lusia rela membiayai sekolahku hingga aku lulus akademi perawat. 

Suatu hari, Nisa diajak ke rumahnya. Ada lukisan wanita yang sedang melayani orang-orang gelandangan di India. Nisa tanya, siapa wanita itu. Dokter Lusia bilang, itu idolanya: Ibu Teresa dari Kalkuta. Sejak saat itu, Dokter Lusia sering cerita tentang Ibu Teresa padaku," kisah gadis bersahaja itu.

Aku terhenyak. Ternyata Nisa mendengar tentang Ibu Teresa bukan cuma sekilas saja.

"Nisa berdoa agar Mas menemukan wanita  yang pantas bersanding dengan Mas. Seorang wanita berhati mulia,” kata Nisa.

Tak terasa, mataku mendadak sembab. Hari makin gelap, namun rembulan makin terang bersinar. Sungai Long Beruh yang mengalir tenang memantulkan terang sang Dewi Malam.

Kupandang Annisa yang tampak makin anggun disinari purnama. Entah bagaimana, aku merasa menemukan bayang-bayang Ibu Teresa dalam dirinya. 

***

November 2020. Kisah fiksi belaka. Kemiripan kebetulan semata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun