Jawaban itu membuatku terdiam lama. Aku hentikan langkah kakiku. Kupandang rembulan yang lamat-lamat muncul di sela-sela pepohonan di seberang sungai.
"Nisa, engkau bagai rembulan yang bersinar lembut. Aku mengagumi kebaikan hatimu, Nis," tuturku.
"Ya, Nisa juga mengagumi kebaikan hati Mas. Nisa berharap, Mas Yohan mendapat pasangan yang tepat. Lagipula, Nisa ingin menemani ayah di hari tuanya. Desa ini juga memerlukan kehadiran Nisa. Soal jodoh, biarlah Yang Di Atas yang mengaturnya," ungkapnya.
Jawaban Nisa itu membuatku termenung sejenak. Kupikir, cintaku bertepuk sebelah tangan. Rupanya Nisa memendam perasaan yang senada denganku.
“Nisa, aku tak mau memaksamu untuk mencintaiku. Engkau sudah memilih sesuatu yang amat mulia. Seperti Ibu Teresa dari Kalkuta yang memilih untuk memperhatikan orang lain daripada memikirkan kepentingan sendiri,” kataku. "Oh, maaf, aku jadi ngelantur soal Ibu Teresa segala. Nisa tahu kan cerita Santa Teresa dari Kalkuta?" sambungku.
Nisa tak menjawab segera. Alih-alih kata-kata, muncul tetes air mata.
"Kenapa nangis begitu, Nis? Maaf, aku tak bermaksud membuatmu sedih," kataku.
"Bukan salah Mas Yohan. Nisa ingat Bunda yang wafat dua belas tahun silam. Ada satu hal yang belum dikatakan ayah waktu itu," kata Nisa.
"Apa itu?" selidikku ingin tahu.
Nisa kini lebih tenang. "Bundaku berpulang setelah dirawat di rumah sakit di Tarakan. Waktu itu dokter yang setia merawat Bundaku namanya dokter Lusia. Dokter Lusia rela membiayai sekolahku hingga aku lulus akademi perawat.
Suatu hari, Nisa diajak ke rumahnya. Ada lukisan wanita yang sedang melayani orang-orang gelandangan di India. Nisa tanya, siapa wanita itu. Dokter Lusia bilang, itu idolanya: Ibu Teresa dari Kalkuta. Sejak saat itu, Dokter Lusia sering cerita tentang Ibu Teresa padaku," kisah gadis bersahaja itu.