Ya, Nisa mirip Ibu Teresa yang cinta pada orang-orang sakit yang dianggap sampah jalanan di Kalkuta.
*
“Dok, kita makan siang dulu.” Suara Nisa membuyarkan lamunanku.
"Lho, kan sudah saya bilang. Kalau tidak di depan pasien, panggil saya saya Mas," kataku. Nisa yang seumuran adikku itu tersenyum.
"Baiklah. Mas Yohan. Kita ke pondok saya. Ada ayah saya di sana. Tadi pagi saya masak sayur pakis dan ikan patin. Mari,” ajaknya. Bergegaslah kami ke rumah di ujung jalan.
"Assalamualaikum, Ayah," kata Nisa. "Waalaikumsalam," sahut pria renta dari dalam rumah.
Nisa tak menunggu ayahnya membukakan pintu. Dia sendiri yang membuka pintu rumah. Aku ikut masuk ke dalam. Kulihat pria renta itu, ayah Nisa, terbaring lemah di tempat tidurnya.
"Salam, Pak. Saya Yohan, dokter baru di puskesmas sini," kataku memperkenalkan diri.
"Nak Yohan, salam. Saya Pak Umar. Maaf saya tidak bisa duduk. Bisanya baring saja," katanya dengan suara lirih.
"Tidak apa-apa, Pak. Bapak sudah lama hanya bisa berbaring begini?" selidikku.
"Iya, Nak Yohan. Sudah hampir enam bulan. Setelah jatuh terpeleset di dermaga jadinya begini," kata pria itu. "Untung ada Nisa, anak bungsu yang jadi perawat. Kalau tidak, pasti repot. Ibunya Nisa sudah meninggal dua belas tahun lalu. Anak pertama kami merantau ke Malaysia," lanjutnya.