Apakah dengan menuliskan suatu berita pemerkosaan atau pelecehan seksual yang vulgar, sadis, dan sangat rinci, kita berempati pada korban dan keluarga korban?
"Tapi kan ini penting untuk edukasi warga agar tidak meniru kejahatan seksual?" atau "Tapi kan apa yang saya (atau kami) tulis ini sudah banyak diulas media arus utama dengan cara yang sama?" bisa jadi begitu reaksi yang muncul.
Menulis berita pemerkosaan dan kejahatan seksual memang tidak mudah. Bahkan wartawan pun masih ada yang kurang berempati pada korban dan keluarga korban.
Menjawab pernyataan pertama, apakah edukasi harus ditempuh dengan menjabarkan detail peristiwa sehingga pembaca yang tidak mengenal korban pun sampai merasa ngeri? Bayangkan, apa yang dirasakan keluarga korban kala membaca sajian berita semacam itu?
Menanggapi pernyataan kedua, apakah semua yang sudah ditulis orang (baca: media arus utama) harus kita ikuti? Bukankah seorang penulis memiliki kewajiban moral untuk menyaring informasi yang ia dapat dan menyajikan tulisan secara lebih humanis?
Berita kejahatan seksual harus dikemas bagaimana?
Lalu, berita pemerkosaan dan kejahatan seksual harus dikemas bagaimana? Saya bukan wartawan. Saya hanya warga biasa yang suka menulis.Â
Pada hemat saya, seorang penulis harus memperhitungkan hal-hal berikut:
1. Membayangkan diri jadi korban dan keluarga korban
Saat menulis, bayangkanlah diri jadi korban dan keluarga korban. Jika adik perempuan Anda mengalami peristiwa itu, bagaimana Anda akan menuliskan berita tersebut? Tentu dengan penuh empati, bukan?
2. Membayangkan diri jadi pembaca yang (juga bisa) labil