Dari belasan pokok Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang telah disepakati sejumlah organisasi pers, ada dua yang hendak saya kutip di sini:
- Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
- Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.Â
Bagaimana dengan jurnalis warga?
Bagaimana dengan jurnalis warga yang menulis di blog dan situs pribadi? Apakah jurnalis warga juga terikat pada kode etik jurnalistik? Jawabannya tidak sederhana. Pada hemat saya, jawaban atas pertanyaan di atas dapat dibagi berdasarkan sudut pandang berbeda.Â
Pertama, dari sisi etika profesi, seorang jurnalis warga memang tidak terikat pada etika profesi para jurnalis "kantoran".Â
Kedua, dari sisi etika umum, seorang jurnalis warga tetap terikat pada etika umum, misalnya kesopanan, kesantunan, dan empati. Lebih-lebih, ia menulis untuk konsumsi publik. Lain halnya jika ia menulis buku harian yang ia baca sendiri saja.
Empati pada korban dan keluarganya
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kelima (KBBI V) menakrifkan 'empati' sebagai  'keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain'.
Sementara itu, kata kerja 'berempati' berarti 'melakukan (mempunyai) empati: apabila seseorang mampu memahami perasaan dan pikiran orang lain, berarti ia sudah mampu berempati.'
Nah, sudahkah jurnalis dan kita sebagai warga yang diam-diam juga berperan sebagai "jurnalis" berempati pada korban pemerkosaan dan keluarganya?