Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Surat Cinta agar Kompasiana Makin Ramah pada Penulis (Non) Politik

5 Oktober 2020   10:28 Diperbarui: 5 Oktober 2020   10:28 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi surat cinta dari unsplash.com

Kompasiana sayang, 

Awalnya, engkau adalah persinggahan bagi jurnalis Kompas yang ingin ngeblog. Kini engkau telah menjelma jadi pelabuhan hati bagi ribuan, bahkan jutaan warga yang jadi penulis dan pembaca.

Aku ingat, salah satu  hal yang membuatku jatuh hati padamu adalah adanya artikel jurnalisme warga yang memesona. 

Tanpa bermaksud mengecilkan penulis lain, boleh, ya aku kutip beberapa nama penulis jurnalisme warga yang sempat aku kenal. 

Waktu itu aku melihat reportase Mbah Ukik tentang pesona desa. Juga membaca laporan dari lapangan karya Ibu Leya Cattleya. 

Para penulis yang (pernah) jadi perantau seperti Bapak Tjiptadinata Effendi-Ibu Roselina, Ibu Gaganawati Stegmann, Ibu Hennie Triana, ibu Visca, Mas Lupin The Third, rekan Gobin Gd, Tareq Albana, dan masih banyak lagi -ikut meramaikan dengan tulisan reportase luar negeri.

Penulis (aktif) saat ini pun banyak yang setia atau kadang menulis isu lokal. Sebut saja Ibu Suprihati, Pak Kartika Eka H,  Pak Djulianto Susantio, Guido Arisso, Neno Anderias Salukh, Fauji Yamin, Teopilus Tarigan, Perof Felix Tani, rekan Gregorius Nyaming, Marahalim Siagian, I Ketut Suweca, dan masih banyak lagi.

Jika harus aku buat senarai semua penulis reportase warga di Kompasiana, semua kitab di dunia ini tidak akan cukup!

Jadi, jika nama Anda belum masuk dalam daftar pendekku, jangan marah. Lagipula aku ini mengetik sambil menahan kantuk ^_^.

Penulis Politik Meraja di Rumah Jurnalisme Warga?

Emang salah, ya, jadi penulis politik di Kompasiana? Kalau Anda penulis kanal politik, jangan marah dulu. Jelek-jelek begini, saya juga ikut nimbrung di kanal politik. Semua rekan penulis politik adalah rekan "seprofesi" saya juga. 

Saya pun (sempat) merasakan euforia jadi penulis kanal politik. Tulisan laris manis tanjung kimpul! K-Rewards tinggi. Jumlah views (tayangan) meningkat tajam dalam hitungan detik. 

Beda halnya kala saya mengulas soal bahasa (seperti juga Pak Khrisna, Pak Nursalam, dan Mas Rifan) atau saat menulis polisi. Eh, puisi. Tuh kan udah ngantuks. 

Saya pernah berusaha mewakili rekan-rekan penulis fiksi dengan artikel ini: Jalan Sunyi Penulis Fiksi. Dalam artikel itu, saya menulis: 

"Alih-alih artikel (maaf sekali lagi-politik penuh intrik) yang heboh tapi minim data, karya fiksi pilihan nan penuh hikmah kehidupan perlu diberi ruang." Sila baca artikel saya untuk memahami keseluruhan argumentasi.

Kini, perkenankan saya secara ngawur berusaha mewakili kegelisahan dan isi hati para penulis non-politik di Kompasiana. Penting dicatat, ini pendapat saya pribadi setelah berdiskusi dengan sejumlah kecil rekan.

Penulis Non-Politik (Cenderung) Kering K-Rewards

Pertama-tama, K-Rewards sendiri sudah jadi kontroversi. Saya sih senang-senang saja ada K-Rewards. Menulis untuk berbagi kebaikan dan juga dapat (sedikit) imbalan material, mengapa tidak? 

Nah, mari kita bahas perolehan K-Rewards. Kecuali bahwa sedang dapat momentum, sangat jarang penulis non-politik menduduki posisi teratas klasifikasi K-Rewards bulanan. 

Okelah, artikel unik semacam Menikah Sesuai Zonasi (97 ribu tayangan) atau Mulai 2019, Ini SIM Baru yang Berlaku  (447 ribu tayangan) memang dapat K-Rewards yang banyak. Akan tetapi, jujur saja, tulisan politik memang lebih laris dibaca dan mendapat K-Rewards yang banyak. 

Masalahnya, tidak semua kompasianer bisa, mau, dan boleh menulis politik (misal, terkait status sebagai abdi negara). Jadi, tidak mudah juga meraih keterbacaan tinggi jika Anda bukan (dan tidak bisa jadi) penulis politik.

Tulisan Politik Minim Kualitas?

Hmm..sekali lagi jangan naik pitam. Tidak semua penulis kanal politik adalah penulis yang abal-abal seperti saya kala mengulas politik. 

Beberapa penulis cukup dan sangat piawai juga merangkai argumentasi dalam menanggapi isu politik. Akan tetapi, seperti pengamatan tajam Perof Felix Tani, beberapa artikel politik masih berupa pengulangan berita media arus utama dan atau ulasan yang kurang mendalam.

Pada hemat saya, beberapa juga adalah argumentum ad hominem yang menyerang sosok, bukan kebijakan publik tokoh politik . Celakanya, jujur nih, kadang admin Kompasiana meloloskan dan memberi label pilihan pada artikel dengan judul bombastis, memuat serangan pribadi, dan minim ulasan mendalam.

Kompasiana Kapitalis?

Waduh...makin ke bawah kok surat cinta ini jadi makin sadis, sih? Sabar. Sebagai unit usaha Kompas Gramedia, tentu saja Kompasiana perlu penghasilan. Admin Kompasiana yang bekerja keras (secara bergiliran) selama 24 jam tentu perlu apresiasi berupa gaji.

Bayangkan, berapa banyak  duit yang digelontorkan Kompasiana untuk memelihara peladen (server), menggaji mimin kece, dan memberi K-rewards dan dana komunitas? 

Jadi, wajar saja Kompasiana cari untung. Karena itu, admin Kompasiana memajang artikel aktual dan menarik di kolom terpopuler. 

Menjadi dilema ketika artikel yang dipajang itu sejatinya secara kualitas pas-pasan. Termasuk, artikel politik. Saya sendiri mengakui, kualitas artikel politik saya juga masih rendah.

Usulan Penuh Cinta 

1. Adakan pelatihan penulisan artikel politik

Jika dirasa rata-rata mutu tulisan artikel politik masih semenjana, kiranya perlu diadakan pelatihan penulisan artikel politik. Undang para pakar. Adakan secara berkala. Libatkan kami, penulis warga yang sebenarnya haus belajar cara menulis (politik) yang baik. 

Kompasiana perlu memberi juga semacam masukan berkala bagi setiap penulis aktif, termasuk kanal politik. Berilah masukan: apa yang perlu kami benahi? Sentuhan personal ini yang saya rasa belum dioptimalkan oleh Kompasiana. Padahal, kompasianer (aktif) adalah aset utama yang rindu disapa dan didampingi.

2. Perketat dan seragamkan kriteria label pilihan

Jujur, sebagian (kecil) kompasianer merasa bahwa masih ada kekaburan dalam kriteria label pilihan. Terutama di bidang politik. 

Saya dan teman-teman kompasianer sangat paham, tak mudah jadi admin Kompasiana. Tak mudah pula menilai artikel dalam waktu sangat singkat (dua menit?).  Tidak mudah pula menilai suatu artikel bertema sensitif, seperti artikel politik dan hukum.  

Kita semua manusia, tempat salah dan lupa. Hanya saja, tolong perketat dan seragamkan kriteria label pilihan.

Saya pun pernah mengalami pencabutan label pada artikel politik, tetapi setelah mengajukan banding, label pilihan itu dikembalikan. Ini bukti bahwa Kompasiana sejatinya terbuka berdialog, asal kompasianer juga berkepala dingin.

3. Bantu kompasianer mendapatkan pembaca  

Duhai Kompasiana, masak sih tega melihat artikel reportase warga hanya dibaca kurang dari seratus orang? 

Menulis artikel reportase warga itu sulit dan menghabiskan dana serta waktu yang tidak sedikit. Coba bayangkan, berapa juta harus dihabiskan reporter Kompas (atau Kompasiana) untuk meliput tradisi lokal di pelosok Indonesia?

Banyak penulis Kompasiana setia menulis reportase warga meski tidak dapat atau hanya dapat sedikit K-rewards. 

Seorang penulis senior bahkan terus merugi secara finansial, hanya demi menulis rutin untuk Kompasiana. Beliau tidak menulis di kanal politik yang memang (selalu) ramai dikerubuti pembaca.

Pengalaman saya membuktikan, keterbacaan makin tinggi kala artikel kita rajin dibagikan. Juga melalui grup aplikasi perpesanan semacam WhatsApp dan Telegram. 

Sebuah perusahaan konon mewajibkan semua karyawan grup usahanya untuk hanya membeli minuman ringan produksi grup itu. 

Nah, bukankah Kompasiana adalah bagian dari grup Kompas Gramedia? Berapa ribu karyawan KKG yang bisa dijaring sebagai pembaca artikel Kompasiana? Belum lagi keluarga karyawan KKG.

Yang saya bayangkan, Kompasiana sejatinya sangat bisa meningkatkan keterbacaan tulisan di Kompasiana, terutama hasil reportase warga, dengan menggandeng sumber daya KKG.

Yang saya harapkan, jika saja KKG membuat kampanye "Ayo, Baca Kompasiana!" dan mengirimkan artikel terpilih kepada (seluruh) penggawa dan karyawan KKG melalui senarai surel (mailing list) atau grup medsos/WA/Telegram, tidak akan ada lagi kisah tragis sebuah artikel bagus yang hanya dibaca sedikit sekali orang.

Lanjutkan pula blogshop tentang cara mempercantik dan mempromosikan konten. Aktifkan komunitas-komunitas yang telah ada sebagai wadah penambah semangat menulis dan jumlah tayangan. Dorong kompasianer untuk terus berjejaring.

Maafkan aku, Kompasiana, jika aku mengusikmu. Aku memang lancang. Akan tetapi, sebenarnya aku sayang. 

Rekan-rekan, silakan curhat di kolom komentar. Semoga surat cinta ini jadi surat cinta kita, bukan saya saja, untuk Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun