Saya pun (sempat) merasakan euforia jadi penulis kanal politik. Tulisan laris manis tanjung kimpul! K-Rewards tinggi. Jumlah views (tayangan) meningkat tajam dalam hitungan detik.Â
Beda halnya kala saya mengulas soal bahasa (seperti juga Pak Khrisna, Pak Nursalam, dan Mas Rifan) atau saat menulis polisi. Eh, puisi. Tuh kan udah ngantuks.Â
Saya pernah berusaha mewakili rekan-rekan penulis fiksi dengan artikel ini: Jalan Sunyi Penulis Fiksi. Dalam artikel itu, saya menulis:Â
"Alih-alih artikel (maaf sekali lagi-politik penuh intrik) yang heboh tapi minim data, karya fiksi pilihan nan penuh hikmah kehidupan perlu diberi ruang." Sila baca artikel saya untuk memahami keseluruhan argumentasi.
Kini, perkenankan saya secara ngawur berusaha mewakili kegelisahan dan isi hati para penulis non-politik di Kompasiana. Penting dicatat, ini pendapat saya pribadi setelah berdiskusi dengan sejumlah kecil rekan.
Penulis Non-Politik (Cenderung) Kering K-Rewards
Pertama-tama, K-Rewards sendiri sudah jadi kontroversi. Saya sih senang-senang saja ada K-Rewards. Menulis untuk berbagi kebaikan dan juga dapat (sedikit) imbalan material, mengapa tidak?Â
Nah, mari kita bahas perolehan K-Rewards. Kecuali bahwa sedang dapat momentum, sangat jarang penulis non-politik menduduki posisi teratas klasifikasi K-Rewards bulanan.Â
Okelah, artikel unik semacam Menikah Sesuai Zonasi (97 ribu tayangan) atau Mulai 2019, Ini SIM Baru yang Berlaku (447 ribu tayangan) memang dapat K-Rewards yang banyak. Akan tetapi, jujur saja, tulisan politik memang lebih laris dibaca dan mendapat K-Rewards yang banyak.Â
Masalahnya, tidak semua kompasianer bisa, mau, dan boleh menulis politik (misal, terkait status sebagai abdi negara). Jadi, tidak mudah juga meraih keterbacaan tinggi jika Anda bukan (dan tidak bisa jadi) penulis politik.
Tulisan Politik Minim Kualitas?