Bulan Oktober menjadi bulan istimewa bagi saya. Tepat setahun lalu, artikel saya dimuat di rubrik bahasa harian Kompas cetak.Â
Tulisan itu bukanlah tulisan pertama yang saya kirimkan ke surat kabar idola sejak remaja. Sebelumnya, saya telah mencoba peruntungan dengan mengirimkan beberapa naskah opini.Â
Hasilnya? Cintaku selalu ditolak. Sakitnya tuh di sini, sayang!
Ternyata, salah saya sendiri. Konon, opini Kompas adalah artikel yang sering dibaca dan dijadikan rujukan oleh banyak orang, termasuk para pembuat kebijakan publik di negeri kita.
Karena itu, hanya opini aktual serta opini yang ditulis penulis berbobot saja yang mendapat prioritas Kompas cetak. Lantas, bagaimana nasib "penulis biasa-biasa saja" seperti saya?Â
Dari Opini ke Rubrik Bahasa
Karena kalah bersaing di rubrik opini Kompas, saya alihkan perhatian ke rubrik bahasa Kompas. Saya tidak sedang mengatakan bahwa mutu rubrik bahasa Kompas lebih rendah dari rubrik opini.Â
Buktinya, anggitan para munsyi (ahli bahasa) dan praktisi bahasa tingkat nasional serta internasional sering tampil di rubrik bahasa Kompas.
Apakah saya bisa bersaing dengan para ahli yang sering menulis artikel rubrik bahasa Kompas? Jujur, pertanyaan ini sempat juga muncul di benak saya sebelum mengirim artikel pertama saya.
Ternyata Bukan Ahli Bahasa Pun Bisa!
Saya bukan ahli bahasa. Â Saya hanyalah warga biasa yang berusaha mencintai bahasa persatuan kita.
Bahasa Indonesia indah dan unik. Sebagian (besar) kosakatanya berasal dari aneka bahasa asing dan daerah. Bahasa Indonesia menyerap kata-kata serapan dari bahasa Sanskerta, Pali, Hindi, Tamil, Persia, Arab, Cina, Portugis, Belanda, Jepang, Inggris, Tagalog, dan sebagainya.
Bermodal nekat, saya tulis artikel bertajuk "Boneka (Bukan) dari India". Artikel ini pada intinya mengetengahkan kata-kata serapan dari bahasa Portugis. Saya sangat bahagia ketika mengetahui bahwa anggitan saya dimuat di rubrik bahasa Kompas.id.
Pada hemat saya, Kompas cetak, khususnya rubrik bahasa, sangat terbuka menerima artikel karya warga biasa. Tentu saja, artikel bermutu yang memenuhi kriteria redaksi. Â
Bagaimana Kiat agar Naskah Dimuat Kompas?
Setelah artikel pertama tayang di Kompas, saya semakin bersemangat mengulas tema-tema kebahasaan sesuai sudut pandang warga biasa. Saya bersyukur pada Tuhan. Kompas memuat sejumlah tulisan sederhana saya.
Artikel kedua saya bertajuk "Kucing dan Pus". Dapat dibaca pelanggan Kompas digital di utas ini.
1) Cermati panjang artikelÂ
Pengamatan saya, panjang artikel bahasa Kompas sekitar 3.170-3.340 karakter dengan spasi (character with space). Sila gunakan fitur penghitung karakter untuk memeriksa panjang artikel Anda.
Saran saya, kirimkanlah artikel sesuai rata-rata panjang artikel yang sudah dimuat di rubrik (bahasa) Kompas. Jangan terlalu pendek atau panjang.Â
2) Pelajari pustaka dan tren dengan saksama
Meskipun bukan ahli bahasa, warga biasa seperti saya (dan Anda) pun bisa menulis artikel berbobot. Caranya adalah dengan mempelajari pustaka terkait topik secara saksama. Juga dengan mengasah pengamatan akan tren kebahasaan.
Sumber penulisan tersedia secara gratis di belantara internet. Hanya saja, perlu keahlian untuk mengolahnya. Kita sebagai penulis warga pun perlu mengasah kemampuan kita dalam berbahasa asing agar mampu memahami pustaka rujukan.
3) Sajikan artikel bernas
Tidak mungkin Kompas dan koran lain menyajikan artikel yang panjang dan bertele-tele. Tidak ada ruang! Karena itu, kemas gagasan dalam artikel bernas, padat, informatif, dan memuat kebaruan.Â
4) Adakan swasunting
Tugas penulis belum usai ketika artikel selesai diketik. Lakukan swasunting. Baca berkali-kali untuk memperbaiki kekeliruan. Jangan sampai ada saltik (salah ketik) yang mengganggu.Â
5) Meminta masukan dari rekan
Sebaiknya kita meminta masukan dari rekan-rekan agar naskah kita makin baik. Umpama, saya meminta pendapat rekan yang bisa berbahasa Ambon untuk mempercantik artikel pertama saya.Â
Seorang penulis perlu menjadi insan yang rendah hati. Ia harus selalu belajar meningkatkan kemampuan diri. Ia tak malu bertanya agar tak tersesat di rimba raya.
6) Nekat tapi terukur
Kiat pamungkas, seorang penulis perlu memiliki sikap "nekat tapi terukur".
Kita tak pernah tahu sebelum kita mencoba.Â
Jangan minder. Nekat saja. Tulis saja sesuai kemampuan terbaik Anda.
Sebelum mencoba mengirim naskah ke media nasional, cobalah dulu ke media lokal. Sebelum jadi penulis Kompas, jadilah penulis Kompasiana. Cobalah menulis artikel topik-topik pilihan, misalnya "Kiat Berkomunitas" dan "Pajak Mobil Baru".
Inilah yang saya namakan "nekat tapi terukur". Bertahap dulu. Belajar dulu. Jangan tergesa-gesa ingin meraih bintang jika meraih dahan pisang saja belum bisa.
Seorang penulis dibentuk. Oleh apa? Latihan terus-menerus.
Ngeblog di Kompasiana adalah latihan yang baik bagi penulis pemula dan penulis biasa-biasa saja seperti saya. Terima kasih, Kompasiana dan rekan-rekan penulis.
Pesan sponsor: Silakan simak aneka kiat menulis yang telah saya bagikan di Kompasiana ini. Jangan lupa baca karya para ahli dan cendekiawan sungguhan yang jadi penulis di Kompasiana. Salam takzim.
Ditulis dengan penuh cinta, 4 Oktober 2020. R.B.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H