Mengikuti perkembangan kasus buronan Djoko Tjandra, kita dibuat terkejut dengan sejumlah fakta dan dugaan baru. Djoko Tjandra diburu aparat penegak hukum Indonesia karena ia terjerat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan hak tagih (cessie) Bank Bali. Kerugian negara dalam kasus tahun 1999 itu sebesar Rp 970 miliar.
Setelah bertahun-tahun lolos dari aparat, sang buron kelas kakap berhasil ditangkap. Tak jauh-jauh amat. Dia ditangkap di negeri jiran Malaysia. Sebelumnya, Djoko Tjandra dikabarkan sempat melarikan diri ke Papua Nugini.
Bagaimana mungkin buron kakap ini bisa tak terdeteksi radar penegak hukum kita? Rupanya, ia diduga kuat menyuap sejumlah oknum aparat untuk melancarkan pelariannya.
Ia bahkan disinyalir menggelontorkan uang rasuah agar statusnya sebagai buronan dalam daftar red notice Interpol bisa dihapus. Â Dua jenderal Polri yakni (mantan) Kadiv Hubinter Polri dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia telah dikenai hukuman pelanggaran etika.Â
Selain dua jenderal itu, ternyata masih ada nama-nama aparat hukum lain yang diduga melindungi Djoko Tjandra. Salah satunya adalah (mantan) jaksa cantik, Pinangki Sirna Malasari.
Jaksa yang juga istri seorang anggota Polri ini diduga telah menerima suap sebesar 500 ribu dolar AS atau setara sekitar 7 miliar rupiah. Ia dikabarkan berkali-kali bepergian ke luar negeri.
Penelusuran aparat penegak hukum yang dikutip aneka media menyebutkan, sang mantan jaksa pernah dua kali terbang ke Kuala Lumpur, Malaysia. Diduga kuat untuk menemui Djoko Tjandra.
Operasi Plastik
Yang tak kalah mengejutkan, Pinangki ternyata pernah menjalani operasi plastik di Amerika Serikat. Ini terbukti dari fotonya dengan dr Andrew Jacono yang membuka praktik bedah plastik di New York.
Dalam foto itu, dokter Jacono tersenyum lebar di samping Pinangki yang tampak berbaring dengan kondisi hidung diperban.
Dilansir Tribunnews, tergantung dari jenis operasinya, operasi plastik bisa menelan biaya hingga miliaran rupiah. Sebagai pembanding, Nikita Mirzani pernah menjalani operasi plastik dengan biaya Rp 1,1 miliar di Korea Selatan.Â
Korupsi dan Gejala Narsisistik
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, mantan jaksa cantik Pinangki pada  2019 mendaku berharta 6,8 miliar rupiah. Jumlah ini tentu di luar kewajaran penghasilan seorang jaksa. Pula penghasilan istri seorang perwira Polri.
Pinangki dilaporkan selama ini bergaya hidup glamor bak selebritas dan pesohor. Liburan ke luar negeri berkali-kali, mungkin sampai lupa urusan kantor.
Jika kelak terbukti bersalah, apa yang terjadi pada mantan jaksa ini kiranya adalah contoh terkini hubungan antara korupsi dan gejala narsisistik. Gejala narsisistik ditandai dengan kehausan pengidapnya untuk dipuji dan diakui, termasuk diakui ketampanan atau kecantikannya.
Dikutip dari laman psychologytoday, seorang pengidap narsisisme lazimnya menunjukkan enam gejala berikut ini:
1. Sering berbohong dan berlebihan
Pengidap gejala narsisisme cenderung suka berbohong. Ia juga suka berlebihan untuk menunjukkan keunggulannya di hadapan orang lain.
2. Sering menyangkal kelemahan diri dan agresif membela diri
3. Sering memiliki gambaran diri yang palsu
Pengidap narsisisme sering membangun citra diri "saya lebih dari kalian semua". Sayangnya, ini ditempuh juga dengan cara-cara yang tidak luhur.
4. Sering melanggar aturan dan hukum
5. Senang melukai orang lain
6. Gemar memanipulasi orang lain demi kepentingan diri.
Narsisistik dan Maraknya Media Sosial
Aneka studi terkini mencoba menelaah hubungan antara maraknya narsisime akibat maraknya media sosial. W. Keith Campbell dalam The Narcissistic Epidemic: Living in the Age of Entitlement menulis bahwa orang menggunakan media sosial tampil sebagai "orang penting dan istimewa". Â
Jika dahulu ada ungkapan "Saya berpikir maka saya ada" (Rene Descartes), kini kiranya wajar ada ungkapan "Saya posting maka saya ada". Keberadaan diri seseorang kini diukur dengan apa yang ia unggah di media sosialnya.
Orang mengejar "like" dan pujian warganet dengan menampilkan unggahan yang wah, glamor, dan memukau. Dalam pergaulan sosial, orang juga berlomba untuk tampil serbacantik, serbatampan, dan serbaelegan.
Hikmah untuk Penegak Hukum Indonesia
Apa hikmah kasus dugaan sang jaksa cantik operasi plastik dengan hasil rasuah ini? Â Ada potensi korupsi kala penegak hukum juga terjangkit gejala narsisistik sampai menghalalkan segala cara untuk tampil serbamewah, termasuk di media sosialnya.Â
Sebaiknya para penegak hukum di negeri kita perlu dibekali juga dengan pembinaan dan pendampingan psikologis agar mampu mewaspadai narsisisme. Hal serupa berlaku bagi para politikus dan pejabat tinggi.Â
Sejatinya, masih banyak pejabat dan aparat yang hidupnya bersahaja. Para insan jujur ini memilih untuk mencukupkan diri dengan gaji yang halal. Di media sosial, mereka tak suka pamer kekayaan dan pelesiran.Â
Alih-alih operasi plastik, mereka sumbang orang miskin yang perlu menjalani operasi mendesak. Alih-alih unggah foto cantik, mereka unggah foto gerakan dan ajakan peduli di tengah pandemi. Misalnya, dengan menyediakan ruang "iklan" bagi UMKM terdampak pandemi di medsos mereka.Â
Ah, seandainya petinggi Kemenkumham, Polri, serta lembaga-lembaga lain membaca coretan ini, mungkin bisa digagas protokol antikorupsi dan antinarsistik bagi para abdi negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H