5. Senang melukai orang lain
6. Gemar memanipulasi orang lain demi kepentingan diri.
Narsisistik dan Maraknya Media Sosial
Aneka studi terkini mencoba menelaah hubungan antara maraknya narsisime akibat maraknya media sosial. W. Keith Campbell dalam The Narcissistic Epidemic: Living in the Age of Entitlement menulis bahwa orang menggunakan media sosial tampil sebagai "orang penting dan istimewa". Â
Jika dahulu ada ungkapan "Saya berpikir maka saya ada" (Rene Descartes), kini kiranya wajar ada ungkapan "Saya posting maka saya ada". Keberadaan diri seseorang kini diukur dengan apa yang ia unggah di media sosialnya.
Orang mengejar "like" dan pujian warganet dengan menampilkan unggahan yang wah, glamor, dan memukau. Dalam pergaulan sosial, orang juga berlomba untuk tampil serbacantik, serbatampan, dan serbaelegan.
Hikmah untuk Penegak Hukum Indonesia
Apa hikmah kasus dugaan sang jaksa cantik operasi plastik dengan hasil rasuah ini? Â Ada potensi korupsi kala penegak hukum juga terjangkit gejala narsisistik sampai menghalalkan segala cara untuk tampil serbamewah, termasuk di media sosialnya.Â
Sebaiknya para penegak hukum di negeri kita perlu dibekali juga dengan pembinaan dan pendampingan psikologis agar mampu mewaspadai narsisisme. Hal serupa berlaku bagi para politikus dan pejabat tinggi.Â
Sejatinya, masih banyak pejabat dan aparat yang hidupnya bersahaja. Para insan jujur ini memilih untuk mencukupkan diri dengan gaji yang halal. Di media sosial, mereka tak suka pamer kekayaan dan pelesiran.Â
Alih-alih operasi plastik, mereka sumbang orang miskin yang perlu menjalani operasi mendesak. Alih-alih unggah foto cantik, mereka unggah foto gerakan dan ajakan peduli di tengah pandemi. Misalnya, dengan menyediakan ruang "iklan" bagi UMKM terdampak pandemi di medsos mereka.Â