Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Air Mata untuk Suami Tercinta

12 Agustus 2020   10:42 Diperbarui: 12 Agustus 2020   12:25 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Raung suara ambulans tak lagi membuat hatiku cemas. Setelah dua minggu mendampingi suamiku tercinta, aku telah terbiasa dengan hiruk pikuk dan aroma khas rumah sakit di pinggiran ibu kota itu.

Pagi itu wajah suamiku masih kuyu. Tak banyak perubahan setelah ia jatuh pingsan sehabis mandi sore dua minggu lalu. Usia kepala enam dan komplikasi aneka penyakit membawa suamiku tercinta kini hanya berbaring lemah tanpa daya. Ia belum juga siuman.

Aku usap lembut pipinya. "Pa, kita doa pagi dulu ya. Aku tahu, Papa bisa dengar suaraku."

Aku lantas berdoa, "Tuhan, kasihanilah kami. Terima kasih atas hari baru yang Engkau anugerahkan pada kami. Sembuhkanlah suamiku, ya Tuhan. Berkatilah semua dokter dan perawat yang setia mengusahakan kesembuhannya. Amin."

Demikianlah doa pagiku untuk suamiku tercinta. Singkat dan bersahaja, namun selalu basah dengan air mata. 

**

"Ibu Eliza, selamat pagi." Sapaan lembut itu sedikit mengejutkanku. Rupanya, suara dokter Santi.

"Dok, tumben pagi-pagi sudah tiba. Ada apa?" tanyaku.

"Maaf ya, Bu Eliza, saya sengaja datang lebih pagi untuk membuktikan sesuatu," jawab sang dokter.

"Membuktikan apa, Dok?" selidikku.

"Membuktikan perkataan para perawat tentang Ibu. Kata mereka, Bu Eliza sangat sayang pada suami. Tekun mengajak berdoa bersama di pagi dan malam hari. Ternyata benar. Tadi saya intip dari balik kaca."

Aku tersipu malu. "Ah, dokter Santi bisa aja. Cuma doa biasa seorang istri."

Dokter Santi memeriksa sejenak kondisi si pria gagah yang kini terkulai lemah. Tidak ada sepatah kata pun dikatakannya soal keadaan pasiennya.

Aku sadar, apa arti diamnya sang dokter beberapa hari terakhir saat memeriksa suamiku. Tidak ada perkembangan positif yang bisa dikatakan dokter yang lebih muda sekitar dua puluh tahun dariku itu.

"Bu Eliza, boleh saya cerita soal suami saya," tanya dokter Santi setelah usai membubuhkan catatan singkat di mapnya.

"Tentu boleh, Dok. Saya dengan senang hati mendengarkan," jawabku.

"Begini, Bu Eliza. Suami saya kok sebulan ini aneh. Ketika makan malam bersama saya dan anak, sepertinya tidak nyaman. Setelah makan, langsung sibuk di kamar kerjanya.

Padahal, setahu saya, gegara corona ini, banyak klien batalkan order rancangan bangunan. Saya curiga, dia sebenarnya sedang asyik chat dengan wanita lain. Karena itu, akhir-akhir ini saya diamkan suami saya," tutur dokter Santi.

Aku terdiam sejenak. Aku tak menyangka, dokter Santi yang selalu ceria itu rupanya menyimpan beban di hati.

"Ya, namanya hidup berumah tangga ada gelombang-gelombangnya, Dok. Coba ajak suami bicara baik-baik. Jangan malah diem-dieman begitu.

Tanya pada suami, sedang ada masalah apa. Belum tentu suami tergoda wanita lain. Apa ada sikap dan tindakan Dokter yang membuat suami sakit hati? Juga sebaliknya. Mungkin dalam bahtera rumah tangga, kita sering tidak sadar telah melukai hati pasangan hidup," nasihatku.

"Benar juga, ya Bu. Mungkin saya yang terlalu curiga. Saya akan coba lakukan nasihat Ibu. O ya, Bu Eliza punya putra-putri?"

Aku menghela napas panjang. "Putri tunggal kami sedikit lebih muda dari Dokter. Tapi karena suatu hal, dia dan suaminya menjauh dari kami. Sekarang mereka tinggal di Sulawesi Utara," tuturnya.

"Oh, maaf Bu Eliza. Bukan maksud saya membuat Ibu harus mengingat pengalaman kurang membahagiakan itu."

Aku tersenyum. "Tidak apa-apa, Dok. Pahit manis kehidupan begitu adanya. Yang penting kita sebagai keluarga tetap saling mendoakan dan mengasihi, apa pun yang terjadi."

Dokter Santi mengangguk. Dengan santun ia mohon diri,"Saya akan visit lima hari lagi. Kebetulan ada undangan dari kerabat di Sumatera. Dokter Teddy  akan sementara gantikan saya."

**

Hari-hari berganti dengan cepat. Kondisi suamiku tercinta tak jua membaik. Bahkan, makin buruk.

Dokter Teddy berkata, secara medis sudah tidak ada lagi harapan sembuh bagi suamiku. Karena itu, aku makin khusyuk berdoa di sisi suamiku yang makin lemah tanpa daya. 

Tetiba seorang perawat muncul. "Ibu Eliza maaf. Ini ada telepon dari Dokter Santi." Aku segera menerima panggilan dari jauh itu.

"Bu Eliza, pertama-tama saya berterima kasih pada Ibu. Saya sudah bicara hati ke hati dengan suami saya. Kami sepakat untuk saling memperbaiki diri.

Lalu, Dokter Teddy juga sudah mengontak saya soal kondisi suami Ibu. Kami sebagai tenaga medis hanya bisa melakukan apa yang kami mampu. Doa saya untuk keluarga Ibu."

Aku sesaat terdiam, tak mampu berkata-kata. "Terima kasih, Dok. Biarlah kehendak Tuhan yang terjadi."

Baru saja aku akhiri panggilan telepon, detak jantung suamiku makin lemah. Sang perawat bergegas memanggil dokter jaga. Sementara itu, dengan tangan tengadah, aku berdoa.

"Ya Tuhan, kasihanilah suamiku. Ampunilah dosa-dosanya. Aku yakin, di saat terakhir hidupnya, ia masih mendengar doa-doa dan ajakan tobat dariku.

Tak aku ingat lagi segala pengkhianatannya padaku. Sudah kumaafkan dia. Kepada kerahiman-Mu kupasrahkan suamiku."

Detak jantung suamiku makin jarang. Akan tetapi, wajahnya yang tadinya penuh beban berubah jadi lebih damai.

Hatiku damai kala melihat mukjizat terjadi pada detik-detik akhir hayat suamiku yang selalu kucintai, apa pun yang terjadi.

Air mataku kembali mengalir deras. Kali ini bukan lagi air mata duka, tapi air mata bahagia.

***

NB: Pernah dimuat di sebuah majalah kerohanian dengan nama pena. 

Bila ada kesamaan nama tokoh dan peristiwa, kebetulan belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun