Aku menghela napas panjang. "Putri tunggal kami sedikit lebih muda dari Dokter. Tapi karena suatu hal, dia dan suaminya menjauh dari kami. Sekarang mereka tinggal di Sulawesi Utara," tuturnya.
"Oh, maaf Bu Eliza. Bukan maksud saya membuat Ibu harus mengingat pengalaman kurang membahagiakan itu."
Aku tersenyum. "Tidak apa-apa, Dok. Pahit manis kehidupan begitu adanya. Yang penting kita sebagai keluarga tetap saling mendoakan dan mengasihi, apa pun yang terjadi."
Dokter Santi mengangguk. Dengan santun ia mohon diri,"Saya akan visit lima hari lagi. Kebetulan ada undangan dari kerabat di Sumatera. Dokter Teddy  akan sementara gantikan saya."
**
Hari-hari berganti dengan cepat. Kondisi suamiku tercinta tak jua membaik. Bahkan, makin buruk.
Dokter Teddy berkata, secara medis sudah tidak ada lagi harapan sembuh bagi suamiku. Karena itu, aku makin khusyuk berdoa di sisi suamiku yang makin lemah tanpa daya.Â
Tetiba seorang perawat muncul. "Ibu Eliza maaf. Ini ada telepon dari Dokter Santi." Aku segera menerima panggilan dari jauh itu.
"Bu Eliza, pertama-tama saya berterima kasih pada Ibu. Saya sudah bicara hati ke hati dengan suami saya. Kami sepakat untuk saling memperbaiki diri.
Lalu, Dokter Teddy juga sudah mengontak saya soal kondisi suami Ibu. Kami sebagai tenaga medis hanya bisa melakukan apa yang kami mampu. Doa saya untuk keluarga Ibu."
Aku sesaat terdiam, tak mampu berkata-kata. "Terima kasih, Dok. Biarlah kehendak Tuhan yang terjadi."