Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Sindiran IDI Kacung WHO, Infodemik, dan Delegitimasi Ahli Medis Sejati

7 Agustus 2020   05:42 Diperbarui: 17 Agustus 2020   16:56 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangyar Twitter @WHO

Ikatan Dokter Indonesia cabang Bali melaporkan artis berinisial  IGAA atau yang lebih dikenal sebagai J atas dugaan pencemaran nama baik. Pasalnya, sang artis dalam sebuah unggahan media sosial menulis, "Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan Rumah Sakit dengan seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan (menjalani) tes Covid-19".

Dilansir dari Kompas.com, I Gede Putra Suteja, ketua IDI Bali merasa bahwa unggahan sang artis tersebut adalah penghinaan terhadap organisasi yang menjadi payung para dokter di Indonesia. Suteja ingin agar sang artis mempertanggungjawabkan kalimat tersebut di hadapan aparat penegak hukum. 

WHO Sering Diserang Warga(net)

Serangan warga(net) terhadap lembaga resmi yang menangani Covid-19 bukan barang baru. Badan Kesehatan Dunia atau WHO sudah sangat sering diserang warganet dengan aneka ragam ungkapan.

Simak unggahan terbaru WHO tentang pentingnya memakai masker dan mematuhi protokol anti-Covid-19 berikut ini:

WHO mengajak kita untuk mengikuti tantangan memakai masker demi melindungi orang terkasih dari virus corona baru. WHO sekali lagi mengajak warga dunia untuk menjaga jarak, rajin mencuci tangan, menjauhi kerumunan, dan menutup mulut dan hidung kala bersin dan batuk. 

"Lakukan semua!" seru WHO pada warganet sedunia.

Akan tetapi, nasihat medis itu disepelekan, bahkan dibuat bahan candaan oleh sebagian warganet. Sebagian kaum tak peduli bahaya Covid-19 ini bahkan mengemukakan argumentasi ngawur. 

Umumnya menuduh WHO melakukan konspirasi global. Seorang pengguna Twitter mencuit, WHO berkongsi dengan China untuk menutup-nutupi Covid-19.

Pengguna lain menuduh WHO sebagai lembaga penuh korupsi. Sayangnya, tanpa menyertakan bukti apa pun. Sementara itu, warganet lain menuduh bahwa WHO hanya mencari keuntungan dari pandemi. Lagi-lagi, tanpa argumentasi yang memadai.

Melawan Infodemik

Rene diResta yang bekerja pada the Stanford Internet Observatory di California memperingatkan bahaya proses delegitimasi lembaga dan ahli medis dalam konteks pandemi. 

Ia mengatakan, dalam krisis kesehatan global, informasi yang tidak akurat tidak hanya menyesatkan, tetapi juga bisa menjadi masalah hidup dan mati. Orang bisa meninggal jika tertipu untuk mulai menggunakan obat yang tidak terbukti, mengabaikan nasihat kesehatan, atau menolak vaksin virus corona jika tersedia.

Peperangan para ahli medis dan lembaga medis tepercaya bukan hanya melawan pandemi Covid-19, tetapi juga infodemik (infodemic). Infodemik menurut laman wiktionary memuat dua definisi:

Pertama, infodemik adalah  jumlah informasi yang terlalu berlebihan mengenai topik tertentu sehingga solusi justru makin sulit ditemukan.

Kedua, infodemik berarti penyebaran informasi palsu yang luas dan cepat. 

Infodemik di Indonesia

Gejala infodemik juga menjangkiti masyarakat Indonesia yang sebenarnya terbilang melek teknologi informasi. Kompas.com mencatat  jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 175,4 juta orang. Artinya, dari total 272,1 juta populasi penduduk Indonesia, sebesar 64 persennya telah terhubung dengan internet. 

Cukup buka aneka grup aplikasi perpesanan Anda untuk menemukan hoaks tentang corona. Mulai dari teori konspirasi, pendapat tolak masker dan vaksin, sampai viralnya profesor abal-abal dapat kita temukan dalam tumpukan infodemik di Indonesia.

Pesohor dan pemengaruh (influencer) media sosial di Indonesia pun tak semuanya cerdas memanfaatkan pengaruh mereka untuk kebaikan. Alih-alih membantu pemerintah dan ahli medis sejati, sebagian oknum pesohor dan pemengaruh justru memberi panggung bagi infodemik dan delegitimasi otoritas medis.

Ungkapan "IDI kacung WHO" atau "rumah sakit cuma cari untung" atau "corona konspirasi global" adalah contoh-contoh infodemik dan delegitimasi ahli medis sejati.

Dampak mengerikan dari delegitimasi ahli medis sejati adalah hilangnya kepatuhan warga terhadap nasihat dan protokol kesehatan anti-Covid-19. 

Apalagi, warga Indonesia terbilang sebagian belum memiliki kecerdasan bermedia (sosial). Sebagian warga Indonesia lebih percaya kata idola ketimbang kata dokter. Sebagian warga lebih suka membela youtuber dan influencer favorit ketimbang rendah hati menaati protokol kesehatan.

Wasana Kata

Pelaporan oleh IDI Bali patut kita apresiasi. Lepas dari hasil akhir proses hukum nanti, setidaknya pelaporan oleh Ikatan Dokter Indonesia cabang Provinsi Bali ini bisa jadi pengingat bagi kita semua untuk tidak menjadi penyebar infodemik dan delegitimasi ahli medis sejati.

Setop meremehkan Covid-19. Mari praktikkan nasihat para ahli dan lembaga-lembaga kesehatan serta pemerintahan tepercaya. Salah satu jalan keluar dari pandemi ini adalah kerendahan hati untuk menaati otoritas kesehatan resmi. Semoga!

Pojok baca: 1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun