"Kok yang dapat Artikel Utama atau HL itu-itu saja sih? Mengapa artikel populer biasanya akun-akun tertentu saja? Kenapa sih ada keistimewaan untuk akun centang biru? Mengapa harus ada "kelas sosial" di Kompasiana."
Waduh, kalau diteruskan, litani keluhan di atas bisa tambah puanjang.
Sah-sah saja rekan-rekan dan juga pembaca umum mengemukakan aneka pendapat di atas. Tentu ada alasan tertentu (yang tidak selalu buruk), yang mendasari komentar-komentar di atas.
Tulisan ini saya anggit dengan tujuan baik, bukan karena mentang-mentang akun ini sudah centang biru. Pesan artikel ini akan sahaya haturkan di bagian akhir. Sebelum itu, mari kita ulik: Benarkah ada perbedaan perlakuan terhadap pemilik akun tertentu, khususnya akun centang biru?
Siapa dan Mengapa Akun Centang Hijau dan Biru?
Bagi pemula, sekilas perlu kita terangkan bahwa ada akun centang hijau dan biru Kompasiana. "Centang hijau ... mengartikan bahwa akun tersebut telah melengkapi administrasi berupa data diri pengguna dan dianggap valid."
Menurut FAQ Kompasiana, akun centang biru "secara khusus diberikan kepada Kompasianer yang telah memenuhi standar kualitas tertentu, di antaranya adalah: (a) Pakar, (b) Figur Publik, (c) Institusi Tepercaya, (d) Kompasianer yang secara konsisten menayangkan konten berkualitas. Kami menamakan ini sebagai "Validated User".
Sejatinya, Kompasiana adalah kekasih yang adil. Ia mencintai pemilik akun hijau dan biru dengan cinta yang sama. Ini dia empat buktinya:
1. Akun biru otomatis label pilihan tapi artikel tetap dibaca dulu oleh moderator
Sejak 1 Oktober 2019, Kompasiana memberlakukan otomatis “Pilihan” kepada setiap konten yang ditayangkan oleh Kompasianer akun biru.
"Wah, ini tidak adil! Kami yang centang hijau harus susah payah menulis dengan baik supaya bisa dapat label "pilihan" atau "artikel utama".
Hmm...sabar dulu. Semua artikel, juga yang ditulis penulis akun biru, tetap dibaca dulu oleh moderator Kompasiana. Jika dinilai tidak memenuhi mutu artikel pilihan, moderator akan segera mencabut label pilihan yang tadinya tersemat.
Saya pun mengalaminya. Sebuah artikel humor tetiba dicabut status pilihannya oleh Mbak Mimin yang cuantik. Oh, apa salahku, Mbak?
Ternyata, dugaan saya, jumlah kata terlalu minim sehingga tidak "masuk Pak Eko!" Mungkin juga karena ada pembaca yang bersumbu pendek dan malah marah di kolom komentar medsos Kompasiana. Padahal humor lho, kok marah sih?
2. Akun hijau sering juga dapat label Artikel Utama atau HL
Beberapa waktu lalu saya malah agak bingung karena satu dua artikel saya yang menurut saya bagus tidak membuat jatuh cinta Mbak Mimin pemberi label Artikel Utama.
Setelah saya amati, justru Kompasiana memberi peluang banyak bagi pemilik akun hijau untuk unjuk diri di jajaran peraih Artikel Utama. Tentu saja karena rekan-rekan pemilik akun hijau memiliki artikel yang bermutu tinggi.
Selain itu, pihak Kompasiana sendiri dalam sebuah blogshop menerangkan bahwa Kompasiana memberi peluang yang sama bagi siapa pun, bahkan akun tak bercentang, untuk masuk jajaran HL.
Kompasiana memberi label Artikel Utama terutama bagi konten dengan keunggulan berikut:
Reportase. Konten dalam bentuk laporan warga yang memuat isu aktual dan berdampak. Hal ini tak lepas dari komitmen Kompasiana dalam menggiatkan aktivitas citizen journalism.
Novelty. Memberikan ide/gagasan/ulasan yang segar atau memiliki nilai kebaruan. Tidak hanya sekadar menulis ulang dari berbagai sumber.
Mendalam (komprehensif). Konten yang memiliki kedalaman ulasan, disertai dengan bukti-bukti yang memadai akan menjadi nilai tambah.
Kepakaran. Memiliki kemampuan dalam menganalisa atau membahas suatu isu sesuai kepakaran pembuat konten.
Khusus FIKSI: Inspiratif, Aktual (terkait isu terkini), Berlatar Sosio-Kultural/Historis (Mimesis), Katarsis.
Tidak ada keterangan bahwa akun biru mendapat prioritas Artikel Utama. Bahwa pada waktu tertentu semua artikel HL dan terpopuler diisi akun biru adalah kebetulan semata.
3. Akun biru bisa tetap dapat kartu kuning dan merah
Jangan dikira akun biru itu bebas jungkir-balik. Kalau kontennya atau fotonya melanggar aturan, ya tetap dapat kartu kuning dan merah dari Mimin nan Ketje.
Saya beberapa waktu lalu juga diberi kartu kuning karena dianggap nakal memakai foto orang tanpa izin. Padahal saya merasa sudah beri kredit pada pemilik foto, eh ternyata si pemilik foto itu bukan kreator asli foto. Ya saya kena getahnya juga.
4. Akun biru tidak dapat keistimewaan dalam K-Rewards dan Lomba Blog
Sering terjadi, peraih K-Rewards diisi akun hijau yang produktif dan artikelnya bagus sehingga banyak dibaca dan mendatangkan rupiah bagi Kompasiana dan Kompasianer.
Juga dalam lomba blog, tidak ada tempat istimewa bagi pemilik akun biru. Bahkan pernah terjadi, pendatang baru menjadi jawara lomba. Ini sah-sah saja. Sepanjang sesuai aturan lomba (syarat memiliki akun Kompasiana), ya ok.
Saya sendiri juga pernah juara tiga dalam sebuah lomba blog di Kompasiana, kala akun masih hijau segar. Bukan sombong, ini untuk semangati pemilik akun hijau :)
Pesan pada Rekan Akun Hijau
Hijau melukiskan produktivitas dan kreativitas. Mirip daun hijau yang rajin melakukan fotosintesis. Itulah kiranya harapan Kompasiana dan rekan Kompasianer bagi pemilik akun hijau.
Tetaplah produktif dan kreatif dalam menulis!
Saya tidak tahu persis, mengapa saya dapat centang biru. Dugaan saya karena coretan sederhana saya dipandang memenuhi salah satu dari aneka syarat di atas. Juga karena upaya (tidak selalu berhasil) saya menjadi warga yang baik di Kompasiana. Membaca, memberi vote dan komentar, membalas komentar, dan membuat tulisan bermanfaat.
Konsistensi dan keterbukaan untuk selalu belajar memerbaiki mutu tulisan
kiranya adalah koentji.
Saya paham, keberadaan kita di Kompasiana bukan untuk mencari warna centang akun, tetapi untuk aneka tujuan mulia. Akan tetapi, tidak ada salahnya juga kita mengapresiasi adanya sistem centang hijau dan biru ini.
Tentu saja, sistem ini tidak selalu berterima di hati semua Kompasianer. Wajar saja. Kita demokratis:)
Apakah salah kerinduan hati mendapat centang biru? Pada hemat saya, tidak salah sepanjang dilakukan dengan jujur dan dengan niat mulia.
Ibarat Olimpiade, tidak salah kan mengejar medali penanda prestasi? Bukan medalinya yang penting, tetapi simbol ketekunan dalam berbagi kebaikan melalui tulisan.
Saya banyak mendapat inspirasi dari rekan-rekan semua: entah hijau atau biru. Terima kasih.
Akhirulkalam, di penghujung Juni ini saya pamit. Versi Ria Ricis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H