Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ingin Anak Tidak Merokok? Ayah dan Ibu Jangan Merokok!

17 Juni 2020   07:44 Diperbarui: 29 Juni 2020   19:30 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua orang tahu, merokok merugikan kesehatan. Meskipun coba disangkal dengan mengatakan, misalnya, ada perokok berat yang hidup lebih panjang daripada orang yang tidak merokok, tetap saja riset ilmiah membuktikan rokok memperpendek usia.

Dalam sebatang rokok, terdapat sekitar 4.000 zat kimia berbahaya. Beberapa zat berbahaya tersebut adalah: 1) amonia [pemicu asma] 2) benzene [pemicu kanker] 3) benzo[a]pyrene, pemicu kanker dan dapat merusak kesuburan.

Celakanya, hanya 25% zat kimia berbahaya itu masuk ke tubuh perokok, sementara 75% dihirup oleh orang di sekelilingnya (VIK Kompas Online Mei 2016).

Menurut laman Center of Disease Control and Prevention Amerika Serikat, merokok menyebabkan sekitar satu dari setiap lima kematian di AS setiap tahun. Merokok menyebabkan kematian dini. Harapan hidup perokok setidaknya 10 tahun lebih pendek daripada bukan perokok. 

Kabar baiknya, berhenti merokok sebelum usia 40 mengurangi sekitar 90% risiko kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan merokok. 

Dampak Merokok terhadap Keluarga (Miskin)

Selain dampak kesehatan, merokok membebani ekonomi keluarga di negeri kita. Data menunjukkan, kerugian ekonomi akibat pembelian rokok, kematian prematur, dan biaya berobat sebesar Rp 378,75 triliun (Balitbangkes 2013).

Alangkah mulianya jika uang sebesar itu digunakan untuk kepentingan yang lebih positif.

Ironinya, jumlah perokok aktif di Indonesia ternyata didominasi masyarakat miskin. Dari 141,44 juta jiwa perokok aktif, sekitar 84,84 juta jiwa dinyatakan Badan Pusat Statistik termasuk kategori keluarga miskin. 

Di kalangan keluarga miskin, jatah uang rokok sering kali mengurangi secara drastis jatah uang belanja pangan dan jatah uang sekolah anak. Bahkan, merokok menjadi pemicu malnutrisi pada balita di keluarga miskin (Umar Sholahudin 2015).

Indonesia Surga Perokok Remaja dan Anak

Menurut Buku Fakta Tembakau terbitan Tobacco Control and Support Center-IAKMI pada 2014, sebagian besar perokok usia ≥15 tahun tercatat mulai merokok pada usia anak dan remaja. Tren kenaikan signifikan tampak pada mereka yang mulai merokok pada usia anak dengan rentang 5-14 tahun. 

Pada tahun 1995, sebanyak 9,6 persen penduduk usia 5-14 tahun mulai mencoba merokok. Pada 2001, jumlah ini naik jadi 9,9 persen, kemudian makin meningkat hingga 19,2 persen pada 2010. Demikian dikutip media ini

Sejatinya, Indonesia punya aturan pembatasan iklan rokok dalam PP 109/2012. Antara lain, PP itu mengatur larangan menayangkan wujud rokok, menampilkan anak, remaja, wanita hamil, atau tokoh kartun. Selain itu, pariwara rokok juga wajib mencantumkan usia perokok adalah 18+.

Akan tetapi, banyak pengamat berpendapat, aturan itu tidak efektif mencegah masifnya iklan rokok yang pada akhirnya juga ditonton anak dan remaja. Betapa tidak, iklan rokok secara terselubung justru mudah ditemui dalam acara olahraga, musik, petualangan, dan aneka acara yang disukai remaja dan anak. 

Amat ironis, di Indonesia perusahaan rokok diizinkan menjadi sponsor acara olahraga dan pembinaan olahraga. Hal semacam ini mustahil tersua di negara maju. Di negara-negara maju itu, pembinaan olahraga boleh saja didukung sektor swasta, tapi bukan oleh perusahaan rokok. 

Disinyalir, sejak lama ada kongkalikong antara pengusaha rokok dan politikus di Indonesia. Jika ingin serius, DPR dan pemerintah semestinya membuat aturan larangan iklan rokok total dan aturan cukai rokok yang lebih efektif menurunkan minat orang membeli rokok.

Selain itu, mengurangi konsumen rokok di Indonesia memang dilematis bagi pemerintah dan negara. Pada tahun 2015 lalu, penerimaan dari sektor bea dan cukai, pajak daerah dan PPB dari tembakau dan rokok mencapai lebih dari Rp 170 triliun. 

Jika ingin "menutup" pabrik rokok, pemerintah memang perlu merancang antisipasi matang agar petani dan buruh rokok tidak menderita.  

Menghentikan Rokok dari Keluarga Sendiri

Menimbang faktor-faktor politik-ekonomi di atas, kiranya harapan untuk menghentikan kebiasaan merokok paling tepat dimulai dari keluarga sendiri. 

Jujur, penulis merasa bersalah karena belum berhasil membujuk anggota keluarga untuk tidak menjual rokok. Anggap saja, tulisan ini adalah upaya penulis untuk "menebus kesalahan" tersebut.

Orang tua yang bijaksana kiranya sepakat, merokok tidak bermanfaat. Di hati kecil para ayah dan ibu perokok sekalipun, kiranya kesadaran ini telah terpatri. 

Siapa ayah dan ibu yang ingin merugikan kesehatan anak-anak mereka? Ayah dan ibu perokok aktif pun kiranya tidak ingin putra-putri mengikuti jejak mereka sebagai perokok aktif. 

Dialog imajiner ini mungkin terjadi: "Nak, jangan ikut-ikutan merokok. Biar ayah saja!" nasihat sang ayah. Si anak cemberut. "Lo, ayah ini gimana, sih? Nyuruh anak gak merokok tapi ayah sendiri gak mau berhenti merokok!"

Ayah dan Ibu Kunci Hentikan Tradisi Merokok

Anak cenderung meniru orang tua yang merokok. Studi yang dirilis Journal of Pediatrics 2008 menunjukkan, 

jika orang tua merokok, kemungkinan anak remaja ikut menjadi perokok meningkat tiga kali lipat

Itulah mengapa, pada bungkus rokok di Eropa, ditulis peringatan: “Anak orang yang merokok cenderung akan merokok”. 

Tujuan kampanye ini adalah menyadarkan tanggung jawab orang tua untuk memutus mata rantai transfer kebiasaan merokok pada anak.

Pengalaman saya membuktikan hal ini. Saya adalah satu pria istimewa di Indonesia. Mengapa? 

Penelitian Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), Universitas Washington, menunjukkan bahwa jumlah pria perokok di Indonesia pada 2013 meningkat dan menempati peringkat kedua di dunia dengan 57%. 

Artinya, hampir 60 persen pria Indonesia adalah perokok aktif. Pria yang tidak merokok bisa dibilang sebagai pria istimewa. Iya, kan? Hehe.

Kedua almarhum kakek saya, seingat saya, bukan perokok aktif. Demikian pula ayah saya. Waktu kecil, saya hanya pernah menghisap rokok satu atau dua kali karena penasaran saja. 

Ternyata rasa asap rokok gak enak dan bikin sesak. Saya kapok. Apalagi di rumah, saya tidak pernah mendapat "contoh" dari orang tua dalam hal "keterampilan" merokok.

Kakek dan ayah saya sudah melakukan yang terbaik dalam hal tidak menjadi perokok aktif. Seisi rumah kami pun bebas dari risiko rokok bagi perokok aktif dan pasif.

Sekadar informasi, saya tahu ada bayi yang sakit paru-paru akibat terpapar asap rokok si ayah. Para ayah dan ibu sudah tahu, kan, bahwa asap rokok bisa melekat pada pakaian, sofa, dan perabot di rumah? 

Kesimpulan tulisan ini sederhana saja: Ingin anak tidak merokok? Ayah dan ibu jangan merokok!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun